Mohon tunggu...
Maria Kristi
Maria Kristi Mohon Tunggu... Dokter - .

Ibu empat orang anak yang menggunakan Kompasiana untuk belajar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sore Menegangkan di Tepian Hutan

21 November 2018   00:46 Diperbarui: 21 November 2018   00:51 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pisang monyet (sumber gambar: senibertani.blogspot.com)

Suara peluit itu masih terdengar dari sisi hutan yang gelap. Tiga tiupan pendek, tiga tiupan panjang, tiga tiupan pendek lagi. Tidak salah lagi, kode morse untuk SOS.
"Kurasa Fred butuh bantuan."
"Kalau begitu kita ke sana?" ujar Lukman setengah bertanya. Rupanya ia mendengarkanku.
"Pak Her mau menemani saya atau di sini?" kali ini aku bertanya pada supir kami. Harus ada laki-laki yang berjaga di dekat mobil.
"Saya di sini saja," jawab Pak Her.
Akhirnya aku dan Lukman berjalan ke arah suara peluit. Sebelumnya Lukman telah memberikan obat nyamuk pada Prita agar dapat dipakai oleh semua anggota tur sekalian dengan obat asma anaknya.
"Bagaimana dengan asma Kevin?" Aku bertanya pada Lukman sembari kami berjalan, "Kapan terakhir kali dia kumat dan apa pencetusnya?"
"Dia cukup jarang kumat, terakhir satu bulan yang lalu ketika ibunya bersih-bersih rumah. Pencetusnya debu," jawab Lukman.
Kami telah makin dekat pada tempat peluit berbunyi. Beruntung baterai ponsel Lukman masih 70% sehingga kami masih dapat menggunakan senternya dengan leluasa.
Kode morse SOS itu masih terdengar. Suaranya makin jelas pertanda kami semakin dekat dengan Fred atau siapapun yang minta tolong itu.
Satu semak lagi yang harus kami lewati dan ...
"Fred." Aku bersorak gembira melihat lelaki tua itu terlihat tidak kekurangan apapun. Ia sedang memegang pisang bertangkai panjang. "I thought there were something bad about you!"

Pisang monyet (sumber gambar: senibertani.blogspot.com)
Pisang monyet (sumber gambar: senibertani.blogspot.com)
"Sorry," lelaki tua itu nyengir, "I need to call you guys. I can't bring this thing by myself and I found something interesting." Fred menunjuk semak-semak di belakangnya."What is that?"
"Gallirallus torquatus nest."
"Gali ... apa?" Lukman memincingkan matanya, melihat semak-semak yang ditunjuk oleh Fred.
"Sarang burung weris." Jawabku.
Lukman menoleh ke arahku, "bisa dimakan"
"Bisa," aku mengangguk, "rasanya mirip daging ayam."
"I also found there are forrest rat nest there," Fred bersemangat menunjuk-nunjuk beberapa tempat.
"I don't think that I want to eat some rat." Lukman mengernyit. Aku bisa mengerti. Tidak semua orang dapat menerima tikus dalam menu makanannya, bahkan tikus berekor putih yang biasa dimakan di tempat ini.
"Please don't mind." Aku berusaha menenangkan Fred yang terlihat terganggu dengan respon Lukman. Seorang ahli biologi seperti Fred mungkin tidak biasa mendapatkan penolakan dari saran yang diberikan.
"Well, I don't mind." Di luar dugaan, Fred sama sekali tidak tersinggung.
"Where do you found this thing?" aku menanyakan dari mana Fred mendapatkan pisang monyet yang ditunjukkannya dengan bangga pada kami.
"There," Fred menunjuk pada batang pisang yang rupanya baru saja ditebangnya, "I need help to bring this thing to the automobile and catch those bird for dinner."
"Ok, let me help you." Aku mengambil tandan pisang itu dari tangan Fred. Uh, ternyata cukup berat.
Sedangkan Lukman sedang bersiap-siap menangkap burung Weris yang sarangnya ditunjukkan oleh Fred.

Burung weris (sumber gambar: burungsulawesi.web.id)
Burung weris (sumber gambar: burungsulawesi.web.id)
***

Kami kembali ke mobil membawa barang-barang temuan Fred: setandan pisang monyet dan empat ekor burung weris. Burung itu kemungkinan tidak cukup untuk kami semua, tapi daripada tidak ada makanan sama sekali.
"Kalian lama sekali." Suara Kanaya terdengar seperti campuran antara lega dan khawatir, "kami ketakutan sekali."
"Tepatnya Kanaya yang ketakutan." Imbuh Anggi tanpa tedeng aling-aling, "Bahkan Kevin pun tidak ketakutan."
Kevin memang terlihat sedang asyik melihat-lihat foto kuskus dan pemandangan lain yang berhasil diambil Anggi dalam perjalanan hari ini. Ibunya duduk di sebelahnya. Mereka duduk melingkari semacam api unggun kecil, sedikit jauh dari mobil. Nampaknya Pak Her berhasil menyalakan api menggunakan korek api yang dibawanya.
"Apa yang kalian bawa?" tanya Prita pada suaminya.
Dengan bangga Lukman menunjukkan empat ekor burung waris mati yang dibawanya, "makanan."
"Banyak sekali pisangnya," rupanya perhatian Kevin sudah teralih pada pisang yang kami bawa.
"Ya, tapi hati-hati. Banyak batunya." Aku memperingatkannya. Meskipun manis seperti pisang ambon, pisang monyet memang penuh berisi biji, "makannya dihisap-hisap saja."
"Oya, aku masih punya banyak coklat." Anggi rupanya teringat pada perbekalan yang dibawanya dan mulai mengedarkan coklatnya.
"Pak Her makan dulu ya." Aku menoleh pada supir kami yang nampak lelah.
"Iya Bu," supir kami tidak menolak tawaran itu.
Makanan satu lagi kuberikan pada Prita agar dimakan bersama Kevin. Sedangkan Lukman ngotot ingin mencoba rasa burung weris. Fred terlihat masih penasaran dengan sarang tikus ekor putih yang tadi ditemukannya.
Saat itu pukul 6 petang.
Terdengar suara motor mendekat. Kanaya hampir mencelat kaget.
"Jangan takut, itu motor penjaga hutan. Tadi ia mengatakan perjalanan bolak-balik ke pondok sekitar 30 menit, sebentar lagi ia pasti datang."
Kanaya terlihat sedikit lebih lega mendengar kepastian bantuan itu.
"Mobil yang dari kota akan datang sekitar pukul delapan kurang lima belas malam. Ada empat orang yang dapat dibawa ke kota. Sisanya akan menginap bersama saya di pondok penjaga hutan."
"Bu Kristi akan menginap di hutan?" tanya Kanaya.
"Ya, karena saya harus bertanggungjawab atas semua peserta tur."
"I will stay in the forest too." Fred sepertinya memahami Bahasa Indonesia secara pasif.
"Thanks Fred," aku berterimakasih padanya. Bantuannya tadi sangat berharga.
"Bagaimana dengan kakimu?" aku bertanya pada Anggi. Ia tidak tampak kesakitan seperti orang yang baru terkilir kakinya.
"Sudah agak baikan. Tadi sudah sempat diurut."
"Yang pasti keluarga Lukman harus pergi ke kota malam ini. Besok mereka harus mengejar pesawat pagi untuk pergi ke Kompasianival." Kataku lagi.
Tidak ada yang protes dengan pernyataan itu. Sepertinya semua sepakat bahwa tiga dari empat orang yang pergi ke kota memang harus Lukman, Prita dan Kevin.
"Halo, siapa yang mau dijemput paling dulu?" tiba-tiba terdengar suara pria di belakang kami.
"Pak Woran! Bikin kaget saja."
Penjaga hutan itu tersenyum lebar.
"Anggi, apakah kamu mau ikut ke kota atau tinggal di hutan?" aku bertanya pada Anggi karena masih mencemaskan kakinya.
"Kurasa aku tinggal di hutan saja." Jawab Anggi mantap.
Kanaya terlihat bingung, antara ingin pergi ke kota namun ingin tetap dekat dengan Anggi, kakak kelasnya.
"Jangan takut Kanaya, hewan buas yang hidup di sini hanyalah anoa. Dan mereka tidak makan orang." Aku menggerakkan jariku membentuk tanda petik ketika mengucapkan hewan buas karena tentu saja anoa sama sekali tidak buas.
"Yang makan orang itu nyamuk." Anggi masih bisa bercanda untuk menenangkan adik kelasnya.
Akhirnya Kanaya pun tersenyum, "kalau begitu aku tinggal di hutan juga."
"Baik," aku menoleh pada Pak Her, "Berarti saya titip Pak Her untuk ikut menemani keluarga Pak Lukman ke kota ya Pak. Besok Bapak bisa kembali ke sini membawa bantuan dari agensi kita untuk memperbaiki mobil sekaligus menjemput kami yang bermalam di pondokan."
Supir paruh baya itu setuju dengan keputusan bersama itu. Wajahnya terlihat lega. Mungkin tadi ia merasa kecewa karena minibus tuanya membuat kami berada dalam kesulitan ini.
"Jadi? Siapa yang pertama ikut ke pondok?" tanya Pak Woran sang penjaga hutan.
"Bagaimana Anggi? Apakah kamu mau jadi yang pertama pergi ke pondok? Saya agak khawatir dengan kondisi kakimu."
Anggi menoleh pada Kanaya, adik kelasnya itu mengangguk mengiyakan. Kanaya sudah tidak takut lagi.
"Anggi Pak." Akhirnya aku berkata pada Pak Woran.
"Ok, silakan naik." Pak Woran mempersilakan Anggi naik ke jok motornya, "Kami sudah memasak tinutuan untuk kalian di pondok."
Aku tersenyum lega dan mengucap syukur. Anggi, Kanaya, Fred dan aku akan menginap di pondok. Kanaya tidak takut lagi, kaki Anggi sudah sedikit baikan. Pak Her dan keluarga Lukman akan berangkat ke kota. Masih ada cukup daging burung weris, pisang monyet, serta coklat untuk dimakan sambil menunggu jemputan. Aku akan dijemput terakhir untuk memastikan Pak Her dan keluarga Lukman naik mobil ke kota. Besok Pak Her akan datang untuk memperbaiki mobil dan menjemput kami.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun