Mungkin sudah banyak dari kita yang mafhum bahwa sebaiknya tidak berobat ke "dokter Google". Maksudnya, jangan mencoba mendiagnosis diri sendiri dengan mencocok-cocokkan gejala dan tanda yang dialami dengan penyakit yang dapat dicari di mesin pencari terbesar ini.
Tentang hal ini, saya pernah menonton satu video lucu yang memparodikan hal ini: seorang laki-laki merasa sakit kepala, ia mencari apa kira-kira diagnosisnya di Google dan kemudian jadi stress sendiri gara-gara yang "ketemu" kok ya "kebetulan" tumor otak. Setelah membaca bahwa kemungkinan hidupnya sangat kecil, pria ini menyumbangkan semua hartanya ke orang yang membutuhkan. Keren ya? Tunggu dulu.
Ternyata sakit kepalanya segera hilang ketika saudarinya memberikan sebutir obat penghilang nyeri dan memintanya untuk beristirahat. Nyeri yang dialaminya hilang. Sayangnya, ia sudah terlanjur memghibahkan seluruh hartanya sehingga ia terpaksa melanjutkan hidupnya sebagai tunawisma.
Cerita tadi tentu saja (saya harap) sekadar fiksi. Â Pembuat video tersebut kemungkinan besar berharap agar mereka-mereka yang suka "berobat ke dokter Google" segera insaf.
Namun, bagaimana dengan bertanya pada (kenalan) yang kebetulan seorang dokter? Katakanlah yang saat ini populer: lewat aplikasi whatsapp?
Beberapa senior saya (dan dokter lain yang saya kenal) memberikan nomor whatsappnya bagi pasien mereka untuk konsultasi ringan. Misal: anak demam 1 hari tapi rewel sekali.Â
Pada kasus seperti ini, kemungkinan besar belum diperlukan pemeriksaan oleh dokter, toh semua masih "normal". Pasien dapat menggunakan nomor yang diberikan padanya untuk bertanya, setidaknya untuk mengurangi kegelisahannya. Memastikan putra-putrinya tidak apa-apa.
Tapi bagaimana kalau dokter tersebut keluarga kita atau lebih jauh lagi... keluarganya kenalan kita? (Ehm... misal: pakdenya istri teman sekantor kita ) Kemungkinan besar masih bisa ditanyai asal sesuai dengan keilmuannya (jangan tanya kelinci sakit pada dokter umum) karena kebanyakan dokter senang membantu (ciyeh).
Tapi....
Ada tapinya.
Pertama, usahakan permisi dulu. Kenalkan diri, siapa Anda. Terutama kalau kasusnya seperti contoh yang saya tuliskan di atas (pakdenya istri teman sekantor). Kalau dokter yang mau ditanyai belum kenal sama Anda, pasti dia juga bingung jawabnya gimana.
Kedua, kalau sudah dipersilakan bertanya, tanyanya yang jelas. Well, jangan cuma "anakku malas nyusu, kenapa ya?"
Yaaa... itu pertanyaan yang masih banyak mengundang pertanyaan dari dokter yang Anda konsuli. Masalahnya: diagnosis banding (kapankapan saya nulis tentang ini deh) untuk "malas menyusu" itu lumayan banyak. Kasih data dong. Seperti:
- Usia bayi
- Dulu prematur atau enggak
- Lamanya tidak mau menyusu
- Sebelumnya nyusu sebanyak apa, selama apa tiap menyusu
- Apakah dikasih susu formula
- Apakah pakai dot
- Dan sebagainya dan sebagainya
Bahkan ketika semua pertanyaan itu terjawab, belum tentu "konsultasi per WA" itu dapat menemukan satu diagnosis. Kenapa?
Karena dokter bukan cenayang.
Meskipun anamnesis (tanya-jawab tadi) dapat mengarahkan 70% diagnosis, tetap perlu pemerikasan fisik. Syukur-syukur ada pemeriksaan penunjangnya.
Lagipula, kadang kita pun ingin "mengarahkan" dokternya agar mengatakan apa yang ada di benak kita (hasil googling) kan ya? Sekadar second opinion (dari mbah Google).
Jadi, intinya apa?
Intinya, kalau suatu ketika tanya sama kenalan Anda (yang kebetulan dokter) dan dijawab "ya udah, periksa ke dokter aja." Jangan langsung men-judge bahwa kenalan Anda itu kurang pinter (atau kurang pede, atau pelit ilmu). Bisa jadi itu demi kebaikan Anda sendiri.
Salam dari ibu-ibu yang belum lama nambah gelar di belakang namanya.
Nb. Repost dari status FB pribadi dengan perubahan minor.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H