Mohon tunggu...
Maria Kristi
Maria Kristi Mohon Tunggu... Dokter - .

Ibu empat orang anak yang menggunakan Kompasiana untuk belajar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Perbedaan Epilepsi Anak dan Dewasa

21 Oktober 2014   02:59 Diperbarui: 1 Maret 2018   04:30 1623
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Epilepsi memiliki banyak nama di masyarakat kita. Ada yang menyebutnya “ayan”, “sawan”, atau di sebuah tempat di Indonesia Timur sana disebut “mati kambing”. Stigma negatif pada penyakit ini menyebabkan bertahun-tahun lalu pemerintah mengeluarkan sebuah iklan layanan masyarakat yang menyatakan bahwa penyakit ini “bukan penyakit turunan dan bukan penyakit menular”. Pada kesempatan ini saya tergelitik untuk menulis tentang penyakit ini dan perbedaannya pada anak dan dewasa.

Epilepsi merupakan kelainan di otak, baik struktural (bentukan fisik) maupun fungsional yang bermanifestasi sebagai kejang. Kejang yang timbul bervariasi, bisa bermanifestasi sebagai seluruh tubuh kaku dan “kelojotan” (tonic-clonic), bisa sebagian tubuh (focal), bisa pula hanya seperti “bengong” (absans). Untuk tipe kejang yang terakhir, biasanya orangtua maupun guru tidak menyadari, hanya saja keluhannya adalah “Anak saya sering bengong di sekolah.” Tidak jarang anak-anak dengan epilepsi tipe absans terlambat diobati dan terlanjur sering dimarahi oleh guru maupun orangtuanya karena sering “tidak memperhatikan”.

Epilepsi merupakan suatu diagnosa klinis, artinya hanya dengan menanyakan riwayat penyakit dengan rinci dan pemeriksaan fisik, dokter sudah dapat menentukan apakah seorang anak menderita epilepsi atau tidak. Pemeriksaan penunjang yang diminta seperti electroencephalografi (EEG) hanya membantu penegakan diagnosis epilepsi, bukan sebagai dasar diagnosa. Artinya jika dalam EEG ditemukan gelombang epileptogenik (gelombang yang menandakan adanya suatu aktivitas epilepsi) dapat membantu meyakinkan dokter bahwa memang ada epilepsi, namun jika tidak ada gelombang epileptogenik tidak menyingkirkan diagnosis epilepsi yang sebelumnya telah dibuat. Ketiadaan gelombang epileptogenik pada rekaman EEG dapat disebabkan oleh penyadapan gelombang otak yang hanya beberapa jam saja (idealnya dilakukan penyadapan 24 jam dan direkam) dapat pula disebabkan oleh karena memang saat itu tidak muncul gelombang epileptogeniknya. Bukankah anak dengan epilepsi tidak setiap hari kejang? Untuk membantu memunculkan gelombang epileptogenik, anak dibuat mengantuk saat pemeriksaan dengan cara membuat anak tidur larut pada malam sebelum pemeriksaan berlangsung.

Setelah diagnosis epilepsi ditegakkan, anak akan diberi obat yang akan diminum dalam waktu yang cukup lama. Obat-obatan ini berfungsi untuk menekan aktivitas abnormal otak yang menyebabkan kejang. Dosisnya akan disesuaikan dengan berat badan anak dan ada-tidaknya kejang. Biasanya akan dimulai dari dosis terkecil yang dinilai masih efektif kemudian dinaikkan perlahan-lahan sesuai dengan respon dari anak, namun ada juga kepustakaan yang menyebutkan sebaliknya: dosis diberikan dari dosis terbesar yang masih aman kemudian diturunkan perlahan-lahan sampai dosis terkecil yang dapat mencegah timbulnya kejang. Selama minum obat anti epilepsi ada beberapa parameter laboratorium yang harus diperhatikan karenanya biasanya anak akan diminta untuk periksa laboratorium setiap beberapa bulan.

“Sampai kapan anak harus meminum obat anti epilepsi?”

Epilepsi  pada anak berbeda dengan epilepsi pada dewasa. Dokter saraf (dewasa) akan menyatakan bahwa obat epilepsi pasiennya harus diminum seumur hidup, namun berbeda halnya dengan anak-anak. Pada anak-anak, terutama sampai anak umur 7 tahun, masih ada pertumbuhan otak. Otak yang baru bertumbuh dapat mengambil alih fungsi bagian yang rusak (pada epilepsi) jika tidak ada kerusakan yang bertambah. Dalam hal ini, kerusakan otak terjadi lagi jika ada kejang. Karenanya diupayakan agar tidak ada kejang lagi pada anak dengan obat-obat anti epilepsi sampai kerusakan otaknya tergantikan oleh bagian otak baru yang sedang bertumbuh. Lama waktu yang dibutuhkan untuk proses ini sekitar 2 tahun, oleh karenanya obat anti epilepsi pada anak akan diberikan sampai 2 tahun bebas kejang. Artinya: jika seorang anak sudah minum obat anti epilepsi selama satu setengah tahun kemudian mengalami kejang, ia harus minum obat lagi dari awal (dengan dosis yang disesuaikan dengan berat badannya) sampai 2 tahun bebas kejang. Berat? Tentu saja, namun jika mengingat masih ada harapan untuk terbebas dari kejang saya rasa itu bukan masalah berat.

“Bagaimana jika kejang masih tidak respon dengan obat anti epilepsi?”

Jika kejang tidak berespon dengan obat anti epilepsi, bedah epilepsi dapat menjadi pilihan. Meskipun dikatakan cara ini memiliki efektivitas yang baik namun tidak dapat dilakukan untuk seluruh jenis epilepsi. Hanya epilepsi lobus temporalis (biasanya epilepsi ini yang membandel, tidak respon dengan obat anti epilepsi) yang dapat ditolong dengan bedah epilepsi.  Operasi ini melibatkan dokter ahli bedah saraf. Saat operasi, ada EEG khusus yang probe-nya dilekatkan langsung di otak (berbeda dengan EEG konvensional yang probe-nya dilekatkan pada kulit kepala) untuk mengetahui di mana fokus epilepsinya. Nantinya dokter bedah saraf akan mengambil fokus epilepsi yang menimbulkan masalah itu. Pasien yang dioperasi mengalami kejadian kejang yang lebih sedikit serta perbaikan kualitas hidup dibandingkan pasien yang mendapatkan terapi anti epilepsi saja.

Demikian sedikit pembahasan mengenai epilepsi pada anak, semoga dapat memberikan sedikit  gambaran pada kita tentang penyakit yang bukan penyakit menular ini.


Baca juga:

Pertolongan Pertama saat Kejang

Sudah Dikompres tapi Masih Demam, Salahkah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun