Sebenarnya kasus kontroversi kemenangan kandidat tertentu dalam ajang kompetisi musik ataupun film bukanlah sebuah hal yang aneh dan baru di negeri ini. Dalam catatan komunitas seni Indonesia sudah banyak peristiwa mengagetkan terjadi ketika kemenangan bukan didapat oleh kandidat yang diperkirakan pantas untuk menang. Untuk kasus film misalnya, situasi krisis pernah terjadi ketika dewan juri Festival Film Indonesia (FFI) digelar tahun 2006 memenangkan film karya Nayato Fio Nuala bejudul ‘Ekskul’ sebagai film terbaik mengalahkan film-film lain yang dianggap lebih berkualitas. Nayato sendiri menjadi sutradara terbaik mengalahkan Nia Dinata yang mensutradarai film ‘Berbagi Suami’. Keputusan dewan juri ini langsung memunculkan pergunjingan, penolakan dan berbagai huru-hara politik perfilman Indonesia kala itu. Sejumlah sineas terkemuka menolak FFI dikelola oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (Kemenbudpar zaman Menteri Jero Wacik) yang tidak transparan dan sarat kepentingan serta kemudian mengembalikan Piala Citra mereka dan membentuk komunitas sendiri bernama ‘Masyarakat Film Indonesia’ (MFI). Saat itu akhirnya diputuskan panitia membatalkan kemenangan film Ekskul.
Krisis juga pernah terjadi pada pagelaran FFI tahun 2010 ketika Komite Festival Film Indonesia (KFFI) dianggap telah ‘mencemari sejarah perfilman Indonesia dengan tinta hitam’ saat Komite Seleksi (KS) hanya meloloskan sebagian film yang dianggap tidak berkualitas tanpa alasan yang rasional. Deddy Mizwar yang saat itu menjabat sebagai Pengarah KFFI dianggap bermain dalam kisruh seleksi film saat itu dengan ikut meloloskan film garapannya sendiri ‘Alangkah Lucunya Negeri Kami’.
Dalam dunia musik, akhir-akhir ini kasus yang paling kencang adalah tuduhan adanya permainan atas kemenangan Angel Pieters dalam penganugerahan Indonesia Movie Awards 2015 sebagai soundtrack film terbaik. Angel yang membawakan lagu ‘Indonesia Negeri Kita Bersama’ untuk film ‘Di Balik 98’ dituduh sebagai artis karbitan MNC Group dan nominasi serta kemenangannya karena disebabkan intervensi oleh petinggi MNC dalam ajang penghargaan yang digelar oleh grup RCTI tersebut. Di saat yang kurang lebih sama, tak hanya di Indonesia, di negara yang lebih canggih sekalipun seperti Korea Selatan saat ini terjadi kontroversi yang kurang lebih juga sama. Grup boyband ternama negeri ginseng bernama Bangtan Boys (BTS) dicurigai kemenangan berturut-turutnya dalam tiga ajang yang berbeda untuk lagu baru mereka berjudul ‘I NEED U’. Kemenangan mereka diiringi dengan tuduhan manipulasi yang serius. Sejumlah netizen Korea menganggap kemenangan BTS selama tiga kali berturut-turut merupakan hasil manipulasi penjualan album, atau yang dikenal dengan nama sajaegi.
Ajang Musik besar sekelas Amerika seperti Grammy Awards juga pernah membuat kontroversi. Tahun 1990, duo Milli Vanilli memenangkan kategori Best New Artist untuk lagu Blame It On the Rain. Tak lama, surat kabar LA Times memuat berita bahwa sebenarnya mereka tidak bisa bernyanyi.Belakangan, salah satu personel, Frank Farian, mengiyakan jika dia dan rekannya Rob Pilatus tidak berkontribusi apapun di album, bahkan vokal juga tidak. Empat hari setelah pengakuan, panitia menarik kembali penghargaan tersebut.
Balik ke kasus Angel Pieters, maka ada baiknya pihak-pihak yang saat ini terlibat agar bersikap bijak. Saat ini di republik ini, apa saja bisa digoreng untuk kepentingan politik pihak-pihak tertentu. Pelajaran memang harus diambil bahwa di era transparansi dan partisipasi saat ini tidak ada kecurangan dan manipulasi yang boleh terjadi. Tapi sebuah kesalahan tetap saja sebuah kesalahan. Harus ada klarifikasi, evaluasi, pembelajaran dan perbaikan ke depannya. Tapi menjadikan isu Angel Pieters sebagai komoditas ‘gorengan’ di ruang publik juga tidak bijak, terkesan kekanak-kanakan dan sarat politik. Sikap komunitas Masyarakat Film Indonesia (MFI) di atas yang memboikot FFI pada akhirnya memunculkan sebuah kesadaran dan pembelajaran bahwa ajang yang memiliki nilai sejarah seperti FFI harus lebih diperbaiki dan ditingkatkan kualitasnya. Ada kontribusi positif dari sebuah proses deliberasi publik – meski keras – yang berlangsung saat itu. Tapi masyarakat menjadi tercerdaskan bahwa pengelolaan harus dilakukan secara lebih transparan. Pada tahun 1989, Will Smith, Public Enemy, Salt-N-Pepa dan Russell Simmons sempat memboikot Grammy. Sebabnya, tidak ada kategori penghargaan untuk musik hip hop. Padahal musik tersebut sudah ada selama 20 tahun. Berkat aksi boikot itu, Grammy pun mengadakan kategori yang diinginkan tersebut. Artinya, para pihak yang concern beneran – bukan hanya mencari sensasi – dengan pengembangan industri seni Indonesia harus bertindak positif dan konstruktif dalam membangun institusi bukan malah berbuat – sadar atau tidak sadar – destruktif dan terjebak dalam sebuah polemik yang tidak produktif. Apalagi jika ternyata ada motif ‘udang dibalik batu’ di balik berbagai kontroversi Angel Pieters ini. Wuollohu ‘alam bisshawab.
Hindari polemik publik, cari klarifikasi yang lebih elegan dan gentleman. Pihak penyelenggara Indonesia Movie Awards harus segera mengklarifikasi apa yang terjadi dan pihak MNC/RCTI harus pula membentuk tim investigasi sehingga publik mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi. Apakah ada sebuah intervensi tingkat tinggi seperti opini yang digiring oleh sebagian pihak, atau hanya sebuah kesalahan teknis dari pihak panitia yang mungkin saat itu sedang kebetulan lalai. Sesederhana itu memang. Apakah sudah sesulit itu bangsa ini untuk saling percaya satu sama lain?
Terlepas dari apapun itu lagu Indonesia Negeri Kita Bersama karya Liliana Tanoesoedibjo yang dibawakan Angel Pieters cukup enak didengar dan begitu menyentuh maknanya, sangat relevan dengan kondisi kita saat ini. Sudah saatnya memang negeri ini memberikan kesempatan kepada potensi-potensi baru dan muda untuk muncul. Salam
Indonesia Negeri Kita Bersama
tatkala senyum harus kusunggingkan
namun hatiku masih berhak menekan
apa yang terjadi atas bangsaku
pilu getir kurasakan di kalbu
saat itu saat kelabu
semuanya terjadi dan cepat berlalu
tak terbayang dalam benakku
tak terukur di seluruh nalarku
air mata pun mengering
tangisku tak lagi bersuara
kesedihanku telah menghilang
batinku masih rasa tergerak
mengapa ini harus terjadi
pada negeri yang kucintai
mengapa kita harus nodai
persaudaraan kita yang abadi
salahkah aku lahir disini
Tuhan tempatkan aku di negeri ini
ia memberiku disitu aku berbakti
semua indah dihadapanNya
ku tau semua harus kusyukuri
kaulah tetap negri yang kucinta
Indonesia negri kita bersama
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H