“Ya.. Kenapa?”
“Beruntung banget ya Alice, udah cantik punya pacar ganteng lagi… sama kaya mbak juga beruntung punya mas Dieki. Orang cantik
jodohnya pasti juga ganteng. Ya kan, Bu?” aku menatap ibuku lembut, berharap beliau tak lagi menampakkan sorot kekcewaan.
“Kamu kan juga sama cantiknya..” Ibuku seakan mengerti maksud dibalik kalimat yang baru saja aku utarakan pada beliau. Beliau mulai membelai rambutku dan menatapku lembut.
“Tapi kan nggak secantik mbak dan Alice. Aku kan item gini…” aku menatap ibuku dengan sorot kecewa. Aku ingin berbbagi semua gelisahku pada ibuku, tapi aku terlalu takut membebani pikiran beliau. Haruskah aku mengatakan semua rasa kecewaku?
“Emang kalo adek itu item berarti adek nggak cantik?” ibuku tersenyum kembali padaku, membuat perasaanku sedikit lebih nyaman.
“Nggak tau… Tapi kan biasanya yang dibilang cantik itu, cewek yang putih kaya mbak, alice dan ibu. Kenapa sih aku harus item punya rambut merah keriting, kecil, pesek lagi! Kenapa nggak kaya mbak ato Alice yang putih, idungnya mancung, rambutnya lurus?” aku menatap ibuku seperti seorang anak kecil yang bertanya pada ibunya ‘Kenapa adek bayi itu bisa ada di perut ibu selama sembilan bulan sebelum dia lahir?’.
Ibuku hanya tertawa kecil sembari membelai rambutku kembali.
“Bu… Apa ibu nggak kecewa waktu aku lahir dan susternya bilang kalo aku item dan keriting? Apa ibu nggak kecewa karna aku nggak secantik mbak?” aku menatap ibuku dengan tatapan sayu.
Ibuku terdiam sejenak, membiarkan hening mencoba menghapuskan setiap pertanyaan yang bergelayut di benakku.
“Adek tahu… Ibu nggak pernah menyesal atau pun kecewa waktu Adek lahir. Ibu malah bersyukur, Tuhan masih memberi ibu rizki dengan lahirnya Adek. Dulu setiap hari ibu berdoa, agar adek bisa lahir dengan selamat dan jadi anak yang punya hati baik.” Ibuku berucap lembut, sembari membelai rambutku perlahan-lahan.