“Nggak papa” aku merebahkan kepalaku pangkuannya. Aku hanya ingin menatap matanya saat ini. Dan mungkin bertanya padanya, kenapa aku tak sempurna seperti kakakku, Mey?
“Ada apa?” Ibu menatapku lembut. Tanpa harus aku berucap, ibu selalu tahu setiap kali ada hal yang mengusik hatiku. Ibuku memang orang yang paling tahu tentang aku, melebihi diriku sendiri. Yah, mungkin itu yang dinamakan naluri seorang ibu.
“Emmh… Bu, aku sama mbak cantik siapa?” aku memulai kalimat pertamaku dengan sebuah pertanyaan. Aku tak tahu bagaimana harus memulai ceritaku.
“Nggak ada yang paling cantik, semuanya cantik.” Ibuku menatap mataku, dengan senyum kecil.
“Bohong! Pasti mbak yang lebih cantik!” aku menatap ibuku dengan sorot tajam. Aku tahu kakakku itu lebih cantik, dan sekarang ibu sedang berbohong dengan mengatakan itu agar aku tidak sedih.
“Ibu pernah bohong sama adek?” Ibu menatapku lembut, setitik kekecewaan terpancar dari sinar matanya. Sepertinya ibu sangat kecewa mendengar bantahanku tadi.
“Nggak…” aku mengalihkan pandanganku ke layar tv, aku tak mau menatap kedua mata ibuku karna aku tak akan bisa menahan airmataku ketika melihat beliau dengan sinar kekecewaan yang terpancar dari matanya seperti itu.
Sedetik kemudian kami terdiam, mata kami tertuju pada layar tv. Tapi aku tahu, pikiranku tidak berada pada alur cerita drama itu, pikiranku sedang mengawang jauh memikirkan kata-kata ibuku dan ribuan pertanyaan yang pernah hinggap di pikiranku tentang ketidakadilan Tuhan padaku.
Entah darimana datangnya, ada sebuah pertanyaan baru yang hinggap di benakku… Pertanyaan yang sungguh tak pantas untuk aku tanyakan pada ibuku, tapi hatiku tak sanggup untuk menahan rasa penasaran yang mendesakku untuk bertanya pada beliau.
Pernahkah ibu menyesal atau kecewa melahirkan anak yang jelek seperti aku?
“Emmh… Bu..” aku memulai kalimat pertamaku lagi setelah beberapa saat kami terdiam.