Keputusan pemerintah terkait mengorbitkan Dwifungsi TNI-PORLI, dinilai oleh sejumlah lembaga, akan berpengaruh pada pengabaian penegakan Hukum dan Ham di Indonesia. Hal ini disampaikan oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Dimana mereka mengkritk dan mengecam keras tindakan pemerintah dalam mengorbitkan dwifungsi tersebut. Yang mana, akan terciptanya kondisi penegakan hukum dan keamanan di Indonesia kian terputuk.
Hal serupa sempat disampaikan oleh Kadiv Advokasi YLBHI M, Isnur dalam keterangannya, ia menyampaikan bahwa "Kondisi hukum dan hak asasi manusia terus memburuk seiring dengan pengabaian Konstitusi. Hal ini akan mengindikasikan yang akan terjadi selama lima tahun masa pemerintahan Jokowi-Ma'ruf" tulisnya dalam keterangan (29/1/2020) lalu (Sumber : Tirto id 30 Januari 2020).
Dalam upaya untuk memberantas paham radikalisme dan intoleran di tanah air, pemerintah telah mencanangkan beberapa pendekatan yang dinilai sangat efektif untuk menekan laju pertumbuhan paham radikal dan intoleran. Hal ini terdapat beberapa pendekatan antara lain sebagai berikut:
Pertama, pendekatan keamanan dengan perluasan defenisi radikalisme menjadi intoleransi dalam surat keputusan bersama 11 kementerian dan lembaga tentang radikalisme serta masuknya TNI dalam pelibatan persoalan keamanan (Sumber : Tirto id 30 Januari 2020).
Dalam hal ini, timbul kepanikan dari beberapa lembaga penegakan Hukum dan Ham. Dimana, jika upaya pemerintah mengambil langkah tersebut. Maka akan tercipta proses pembungkaman masyarakat sipil kian tidak terkendali. Bahkan, sebagian lembaga menilai, jika hal ini dilakukan, besar kemungkinan Indonesia akan kembali pada masa Orde Baru. Dimana masyarakat dibungkam pendapat, kritikan dan beropini terhadap kebijakan yang hendak diambil oleh pemerintah.
Padahal Dwifungsi TNI-POLRI telah dilarang oleh TAP MPR VI/2000, dengan melibatkan TNI-POLRI di kementerian. Namun, jika kita berkaca pada pemilu 2019 lalu, Presiden Joko Widodo sempat berjanji akan menuntaskan penegakan Hukum dan Ham masa lalu yang belum terselesaikan, semasa periode pertama ketika ia menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia.
Banyak sekali pelanggaran Hukum dan Ham sejak era orde baru hingga reformasi yang sampai saat ini belum terselesaikan. Dimana masyarakat, terus berharap pada setiap rezim yang berkuasa di negeri ini. Namun janji tetaplah janji, sehingga banyak lembaga Hukum dan Ham mulai meragukan sejumlah terobosan pemerintah untuk menegakan Hukum dan Ham di Indonesia.
Tercatat sejak Presiden Jokowi menjabat, telah terjadi beberapa demonstrasi besar bahkan menyebar ke seluruh pelosok nusantara. Hal ini tentu mengindikasikan akan buruknya kebijakan pemerintah dan rentannya komunikasi publik yang tentu perlu dipertanyakan. Sehingga publik sangat khawatir akan sebuah kebijakan pemerintah yang kerap dianggap kontroversi.
Revisi Undang-Undang KPK
Seperti kita diketahui dalam Undang-Undang Revisi KPK, yang mana Presiden Joko Widodo, meminta Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk merancang dan membahas bagaimana mengubah sistem Kerja Komisi Pemberantasan Korupsi atau biasa dikenal dengan KPK. Yang pada waktu itu, dikenal dengan UU Revisi KPK. Hal ini tentu mengindikasikan bahwa pemerintah sistem kerja KPK dinilai masih belum optimal. Sehingga lahirnya UU tersebut, dan disahkan oleh DPR RI dalam rapat paripurna pada Selasa (17/9/2019), (Sumber : Tirto Id).
Sejak disahkan oleh DPR RI, timbul sejumlah penolakan dan kecaman keras dari para akademisi terutama mahasiswa dari seluruh pelosok nusantara. Melancarkan demonstrasi di Gedung Parlemen menuntut untuk segera mencabut Undang-Undang tersebut karena dinilai justru melemahkan KPK.
 Dalam protes keras mahasiswa terhadap Undang-Undang yang dianggap kontroversial tersebut. Timbulnya kekerasan dan diseperti diberitakan, setidaknya ada beberapa mahasiswa yang meninggal dalam insiden tersebut. Alih-alih merampingkan birokrasi, namun nyatanya praktek Hukum dan Ham di Indonesia semakian terabaikan.
 Undang-Undang Cipta Kerja atau Omnibuslaw
Undang-Undang Cipta Kerja atau Omnibuslawa, sejatinya telah digagas jauh-jauh hari, sebelum badai dunia atau pandemi Covid-19 menghantam semua negara. Jika kita ingat, dalam pidato pelantikan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Kyai Haji Ma'ruf Amin pada 20 Oktober 2019 lalu. Presiden Jokowi telah menyinggung bahwa di periode kedua ia berfokus pada pengembangan sumber daya manusia dan investasi di Indonesia. Dimana dalam 4 tahun terakhir investasi asing masuk di Indonesia sangatlah minim. Bahkan pada tahun lalu, banyaknya perusahaan asing memindahkan perusahaannya. Tak ada satupun memilih Indonesia untuk dijadikan tempat investasi. Karena dinilai banyaknya regulasi yang bertumpuk, sehingga kebanyakan merka memilih Vietnam untuk mengembangkan Perusahaannya.
Sejak saat itu, Presiden Joko Widodo marah besar, dan merancang sejumlah terobosan untuk mengaet perusahaan asing untuk investasi di Indonesia. Hal ini dilakukan untuk menciptakan dan membuka lapangan kerja yang seluas-luasnya. Berawal dari mimpi tersebut. Maka Pemerintah melalui Presiden meminta DPR RI untuk segera merancang Undang-Undang Cipta Kerja atau Omnibuslaw atau dikenal dengan Undang-Undang Satu Sejagat. Dimana didalam Undang-Undang tersebut, ada beberapa sektor yang perlu diubah berdasarkan Undang-Undang tersebut.
Dalam perancangan dan pembahasan Undang-Undang tersebut, kebetulan semasa negara dalam kondisi krisis akibat badai dunia tersebut. Membuat sebagaian masyarakat menilai DPR RI dan Pemerintah tidak mempertimbangkan kondisi dan keadaan negara. Sebagian juga menilai Undang-Undang tersebut dianggap konterversial, karena dianggap akan menguntungkan para pengusaha. Ada juga tidak mengikuti tata terbit atau tatib dan tidak mengundang stakeholders atau para buruh. Bahkan dianggap tidak melibatkan publik.
Sehingga timbulnya disinformasi dan persepsi ditengah masyarakat akibat permasalahan tersebut. Dan melalui proses yang panjang, akhirnya pada 5 Oktober 2020, DPR RI secara resmi mengesahkan Undang-Undang tersebut. Dan setelah beberapa hari setelahnya, timbullah gejolak dan tragedi dimasyarakat.
Masyarakat, para mahasiswa, parah buruh, pekerja dan aktivis lainnya, melakukan demonstrasi untuk menuntut Undang-Undang kontroversial tersebut segara dicabut. Namun pemerintah berdalih bahwa banyaknya demonstran turun kejalan menyuarakan dan mengecam keras Undang-Undang tersebu, semata-mata adanya berseliweran atau bertebaran pemberitaan Hoax di masyararakat yang dinilai sangat berpengaruh pada stabilitas keamanan di dalam negeri. Hal ini disampaikan beberapa pejabat negara bahkan Presiden Republik Indonesia dalam Konferensi Pers di Akun Youtube milik Kesekertariatan Negara.
Dalam Konferensi Pers tersebut, Presiden juga menegaskan tidak akan mentolerir siapapun yang menganggu kedaulatan dan keamanan negara. Dan mempersilahkan, jika ada yang tidak puas silahkan mengajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) atau Yudisial Review. Namun hingga saat ini tidak ada satupun pihak yang mengajukan gugatan ke MK. Dan Presiden pun telah menandatangani Undang-Undang yang dianggap kontroversi tersebut.
Tetapi dalam demonstrasi massa tersebut, setidaknya polisi telah menanggkap sejumlah demonstrasi bahkan hingga seribuan orang. Dimana terdapat 30-an orang tergejala Covid-19. Dan terdapat juga praktek kekejaman terhadap pendemo kian tak terkendali. Hal akan sangat sulit, jika kita menilai bahwa Indonesia telah menegakan Hukum dan Ham yang seadil-adilnya.
Namun sebagai masyarakat yang bijak, tidak sepantasnya kita seujon dan sepantasnya, memberikan kesempatan kepada pemerintah untuk terus meningkatkan melalui program-program serta terobosan-terobosan untuk menjawab segala kritikan dan pandanga masyarakat terkait kinerja pemerintah dalam menegakan penegakan Hukum dan Ham yang seadil-adilnya, tanpa memandang bulu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H