Mohon tunggu...
Maria G Soemitro
Maria G Soemitro Mohon Tunggu... Freelancer - Volunteer Zero Waste Cities

Kompasianer of The Year 2012; Founder #KaisaIndonesia; Member #DPKLTS ; #BJBS (Bandung Juara Bebas Sampah) http://www.maria-g-soemitro.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Justitia Avila Veda, Membuka Pintu Asa bagi Korban Marital Rape

1 Oktober 2023   13:56 Diperbarui: 8 Oktober 2023   12:37 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber:youtube@kumparan

"Apa sih hukumnya? Saya kan sedang proses cerai, apa saya wajib melayani dia berhubungan intim?" tanya seorang aktris senior yang tenar sekitar tahun 1990-an. Wawancara yang dipublish media cetak tersebut membuat saya mengernyitkan dahi.

Selama ini saya (dan banyak perempuan lainnya) dididik untuk nurut pada suami. Apapun "kehendak" suami, ya harus nurut, walau berarti lingkup saya hanya menjadi seputar "sumur, dapur, kasur". Semua pengorbanan harus dilakukan seorang istri agar keluarga rukun.

Tapi bagaimana jika sedang dalam proses cerai? Apakah masih wajib melayani suami?

Berbagai pertanyaan yang berkelindan baru terjawab setelah kini, mesin pencari seperti Google, menjadi tools harian. Itu pun sudah sangat terlambat, 30 tahun kemudian, sekitar tahun 2016, setelah saya pun mengalami nasib yang naas.

Saya baru paham bahwa yang terjadi adalah kekerasan seksual dengan istilah "marital rape". Terminologinya berasal dari  bahasa Inggris: "Marital" yakni sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan, dan "rape" berarti pemerkosaan. Dengan kata lain, marital rape merupakan pemerkosaan dalam pernikahan.

Daftar Isi

  • Pasutri Harus Paham Marital Rape
  • Justitia Avila Veda Membuka Pintu Cahaya
  • Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender (KAKG) sebagai Solusi

Mereka yang tak paham akan mentertawakan: "Masa sih ada pemerkosaan dalam pernikahan?"

Mereka melupakan hal paling penting yang dimiliki setiap individu, yaitu hak atas dirinya, atau bahasa kerennya, hak asasi manusia (HAM). HAM memungkinkan setiap individu merasa bangga atas dirinya, mampu bertahan hidup dan produktif.

Pernikahan tidak boleh meniadakan hak ini. Setuju menikah bukan berarti setuju untuk mengikuti kemauan semua pasangan. Tubuhnya adalah miliknya. Dia memiliki otoritas untuk dirinya sendiri.

Marital rape terjadi ketika tindakan seksual tidak disetujui (consent) pasangannya. Tidak melulu hubungan seksual. Andai salah satu pasangan meraba-raba organ intim tanpa persetujuan pasangannya maka termasuk marital rape.

Dikutip dari akun @advokatgender di laman Instagram, hasil penelitian National Resource Center on Domestic Violence (NRCDV) berikut ini korban marital rape:

  • Istri dengan suami dominan yang menilai istrinya sebagai barang/property
  • Istri yang berada dalam hubungan pernikahan yang penuh kekerasan fisik
  • Istri yang sedang hamil dengan perubahan hormon yang memengaruhi intensitas hubungan seksual
  • istri yang sakit atau baru pulih dari operasi

Kekerasan seksual dalam pernikahan berdampak pada fisik maupun psikologis:

Dampak Fisik

  • Cedera pada organ seksual dan reproduksi dan atau  tertular penyakit menular seksual
  • Kehamilan yang tidak diinginkan
  • Mengalami disfungsi seksual

Dampak Psikikologis

  • Perasaan menderita, sakit hati dan takut serta trauma terhadap pelaku yang berakibat hubungan perkawinan memburuk karena hilangnya rasa aman dan saling percaya
  • Pada korban perempuan lebih sulit untuk keluar dari relasi tersebut karena seringnya laki-laki menjadi pencari nafkah utama, dan tidak semua Perempuan yang sudah menikah memiliki sumber daya finansial pribadi untuk melindungi mereka dari bahaya dalam rumah tangga.

Bagaimana dengan hadis tentang hubungan seksual suami dan istri bersifat halal, memiliki nilai ibadah dan berarti sedekah? Hasil browsing menemukan beberapa artikel yang menjelaskan bahwa marital rape itu haram, marital rape adalah pemerkosaan dibalut isu agama dan sosial, serta masih banyak lagi.

Dalam artikel juga dibahas tentang hadis yang asal digunakan suami agar mau memenuhi permintaannya, tanpa memperhatikan kondisi sang istri.

tangkapan layar pribadi dari youtube/kumparan
tangkapan layar pribadi dari youtube/kumparan

Justitia Avila Veda Membuka Pintu Cahaya

"Negara kita negara hukum, bukan negara agama," jawab Justitia Avila Veda tentang isu sosial dan agama yang kerap membuat perempuan tak berdaya dan akhirnya malah terlena akan posisinya sebagai korban kekerasan seksual.

Tentu saja Veda, nama panggilan Justitia Avila Veda, menjawab sesuai kompetensi sebagai advokat. Penerima Apresiasi SATU Indonesia Awards tahun 2022, di bidang kesehatan ini telah lama risau akan fenomena gunung es kekerasan seksual.

Karena itu pada 2020 silam, Veda melalui akun Twitter-nya @romestatute menawarkan bantuan untuk para korban kekerasan seksual.

Tweet-nya mendapat respon positif. Selama 24 jam pertama, akun Veda dibanjiri direct message, demikian pula  email yang berisi pertanyaan mengenai kekerasan seksual.

Saya pun, andai waktu itu tahu Veda menulis status tersebut, pasti akan mengirim direct message, karena selain mengalami sendiri, saya sudah berusaha mencari bantuan pada institusi terkat dan hasilnya: Nol besar!

Sewaktu minta bantuan ke suatu LBH terkenal, lawyer menolak mendampingi dengan alasan "takut nanti ditulis di Kompasiana"! Mungkin penyebabnya saya menunjukkan kekerasan verbal dalam bentuk komentar pada tulisan di Kompasiana.

Perlakuan menyakitkan lainnya saya dapatkan kala mengadu pada Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Polrestabes Bandung, oknum yang bertugas menjawab aduan saya dengan "Ibu enggak kasihan pada ayahnya anak-anak?"

Lha sebagai petugas, bukankah dia harus bersikap netral? Mengapa korban harus kasihan pada pelaku kekerasan seksual? Alih-alih membela pelaku, mengapa saya sebagai korban tidak diberitahu tentang aturan hukum dan konsekuensinya?

Sehingga tak berlebihan saya menyematkan "Sang pembuka pintu cahaya" pada Justitia Avila Veda, karena dia memberi asa pada para korban, bahwa di Indonesia, keadilan itu masih ada.

Terlebih bagi para korban marital rape. Merekan terpaksa bertahan karena terkendala stigma "hubungan seksual suami istri itu aib". Mereka juga harus menjaga kondisi psikologis anak-anak dengan wajah seolah semua baik-baik saja.

Apabila mereka tak mampu melakukannya, anak-anak akan menjadi korban pelepasan tekanan psikologis korban marital rape. Kasus menjadi semakin panjang sewaktu anak-anak besar dan meniru kekerasan seksual yang dilakukan orangtuanya.

Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender (KAKG) sebagai Solusi

"Andai saja 20 persen anak muda Indonesia seperti Vega," kata Prof. Dr. dr. Nila Djuwita Faried Anfasa Moeloek, Sp.M(K) dalam wawancara di channel YouTube Kumparan yang membahas para pemenang Penerima Apresiasi SATU Indonesia Awards.

Ucapan Nila Moeloek tak berlebihan. Saya yakin dari 278,69 juta jiwa penduduk Indonesia (2023), jika 20 persen dari jumlah tersebut berhasil memberi solusi, maka kondisi Sustainable Development Goals (SDGs) yang dicita-citakan, akan tercapai. Indonesia tidak hanya sebagai negara yang ikut menandatangani, tapi juga turut mewujudkan 17 Tujuan (diantaranya Kesetaraan Gender) dan 169 target yang ditetapkan SDGs.

Nila Moeloek menilai Veda telah menyelesaikan masalah kekerasan seksual secara holistik, dengan menggunakan teknologi informasi seefisien dan seefektif mungkin.

Dimulai saat Veda mencuit tentang bantuan bagi korban kekerasan seksual (kisah di atas). Ternyata direct message dan email tidak hanya yang meminta bantuan, juga yang menawarkan diri untuk membantu. Mereka berasal dari beragam profesi, seperti jaksa, hakin, psikolog, dan masih banyak lagi.

Tak ingin mengecewakan mereka yang telah mengulurkan tangan, Veda membentuk Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender (KAKG), suatu Non-governmental organisation (NGO) yang menyediakan konsultasi hukum gratis bagi korban kekerasan/ pelecehan seksual.

Dengan program "Pendampingan Korban Kekerasan Seksual Berbasis Teknologi", KAKG mengedukasi masyarakat, salah satunya melalui akun Instagram @advokatgender serta mewanti-wanti setiap individu melakukan 3 hal berikut:

Kenali, Sadari, Ambil Sikap

Setelah menyadari bahwa yang menimpanya adalah kekerasan seksual, korban dapat menghubungi KAKG yang akan menentukan, apakah cukup "curhat" secara online atau harus didampingi secara offline. Termasuk pertimbangan mendampingi tenaga ahli seperti psikolog.

Kasus korban juga akan dipertimbangkan, apakah harus litigasi atau tidak, mengingat biaya litigasi sangat mahal. Juga pertimbangan agar korban bisa tinggal sementara di rumah aman.

Hal ini tentu saja melegakan. Dengan keluar dari masalah yang membelenggunya, korban bisa memulihkan diri untuk kemudian beraktivitas secara positif lagi. Sesuai semangat yang digelorakan SATU Indonesia:  #SemangatUntukHariIniDanMasaDepanIndonesia

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun