Mohon tunggu...
Maria G Soemitro
Maria G Soemitro Mohon Tunggu... Freelancer - Volunteer Zero Waste Cities

Kompasianer of The Year 2012; Founder #KaisaIndonesia; Member #DPKLTS ; #BJBS (Bandung Juara Bebas Sampah) http://www.maria-g-soemitro.com/

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Sehari Bersama DILANS, Selusuri Sumur Bandung

16 September 2023   09:38 Diperbarui: 17 September 2023   01:41 521
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Buat apa bu? Mereka mah gak seperti kita, ngemis aja pasti dapat banyak uang," kata pelatih yang saya hubungi kala hendak membuat workshop, beberapa tahun silam. "Mereka" yang dimaksudkannya adalah teman-teman penyandang disabilitas yang rencananya akan menjadi salah satu peserta workshop.

Ucapan sang pelatih membuat saya mengernyitkan dahi. Kok serendah itu anggapannya tentang warga disabilitas? Apakah sebagian besar masyarakat berpendapat sama? Apakah dia masih akan berpendapat seperti itu jika suatu peristiwa membuatnya menjadi penyandang disabilitas?

Pertanyaan-pertanyaan tak terjawab tersebut kembali muncul, ketika saya bertemu dengan Farhan Helmy, warga disabilitas yang semula adalah warga non disabilitas.

Terpanggil untuk membuat perubahan, bersama 18 orang (warga disabilitas dan non disabilitas) Farhan membangun organisasi nirlaba DILANS (DIsabilitas LANjut uSia), dan menjadi Presiden Pergerakan DILANS.

Lansia menjadi bagian dari DILANS karena termasuk kelompok masyarakat rentan. Mereka tidak lagi bisa berlompatan di atas trotoar yang terjal, serta kerap bingung menjejakkan kaki di antara PKL dan penghijauan yang memenuhi bahu jalan.

Daftar Isi

Menyongsong Perubahan Bersama DILANS

Selusur Sumur Bandung dalam Inklusi Sosial

  • Bandung Lautan Sampah
  • Trotoar yang Pongah
  • Surga pun Menolak Kami
  • Penghijauan Salah Kaprah
  • PKL "Demi Sesuap Nasi"

Haruskah Warga Disabilitas Menggugat?

Mengapa harus membuat perubahan? Karena terdapat jurang lebar antara warga non disabilitas (termasuk para pemimpin) dengan warga disabilitas. Kondisi sosial dan ketidakberpihakan regulasi memarjinalkan keberadaan warga disabilitas. Akibatnya mereka berlindung dibalik kenyamanan sebagai "korban".

Paling tidak, itulah kesimpulan sementara yang didapat setelah melakukan selusur kawasan kecamatan Sumur Bandung, Kota Bandung pada 10 September 2023.

Seperti apa? Yuk, kita urai satu persatu:

sumber:mariagsoemitro
sumber:mariagsoemitro

Selusur Sumur Bandung dalam Inklusi Sosial

Berada tepat di jantung Kota Bandung, Sumur Bandung merupakan salah satu kecamatan tertua. Berbagai ikon kota bisa ditemukan di Sumur Bandung, salah satunya adalah Braga, kawasan niaga sejak satu abad silam.

Dengan tingkat hunian 10.382 jiwa per kilometer persegi (per Agustus 2019), Sumur Bandung tidak termasuk kecamatan terpadat. Namun menjadi menarik karena di sini terletak Gedung Pakuan, rumah dinas Gubernur Jawa Barat.

Keberadaan rumah dinas Gubernur Jabar paling tidak diharapkan mencerminkan keberpihakan pada warga dengan diterapkannya regulasi seperti Perda Tibum Tralinmas (perubahan dari Perda K3) yang menyangkut PKL, tata laksana kelola sampah, penghijauan serta soal ketertiban, keamanan dan kebersihan lainnya.

Nah, selusur Bandung dimulai dari Jalan Babakan Ciamis yang terletak di Kelurahan Babakan Ciamis, Kecamatan Sumur Bandung. Apa saja yang kita temui?

sumber: mariagsoemitro
sumber: mariagsoemitro

Bandung Lautan Sampah

Inklusi sosial berarti warga disabilitas juga berharap terlibat dalam masalah yang sedang dihadapi (lagi) oleh Kota Bandung, yaitu: Bandung Lautan Sampah!

Sejak terjadi kebakaran di TPA Sarimukti pada 19 Agustus 2023, TPA darurat baru dibuka pada 1 September 2023, akibatnya diberlakukan pembuangan sampah secara terbatas. Petugas sampah RT/RW kesulitan mengangkut sampah dari rumah ke rumah.

Warga yang terbiasa melihat lingkungan rumahnya bersih, membuang sampahnya ke aliran  Sungai Cikapundung. Sehingga ketika kami melintas jembatan nampak "bunga-bunga sampah"

Demikian pula tempat pembuangan sampah sementara (TPS) di sepanjang jalan yang kami lewati. Gerobak sampah dipadati sampah yang dibungkus rapat dalam kantong plastik "agar nampak rapi".

sumber:mariagsoemitro
sumber:mariagsoemitro

Trotoar yang Pongah

Tinggi, pongah dan seolah enggan dijejak, seperti itulah kondisi trotoar yang kami temui. Padahal di trotoar yang tak mungkin dilalui kursi roda Kang Farhan tersebut, nampak jalur kuning yang dibuat untuk penyandang tuna netra.

Lha gimana caranya teman tuna netra kita naik ke atas trotoar yang curam, kemudian harus turun lagi. Emangnya sedang naik jungkat jungkit? Apakah tidak dipertimbangkan kemungkinan mereka terjatuh karena tidak dapat melihat?

Serta apa yang terjadi pada kelompok lansia, perempuan hamil serta anak-anak yang mencari area aman dengan nekad berjalan di atas trotoar?

sumber:mariagsoemitro
sumber:mariagsoemitro

Surga pun Menolak Kami

Tentu saja ini hanya kalimat sarkastik. Sesudah Kang Farhan menunjuk undakan masjid dan vihara yang menjulang, sebagai calon warga disabilitas, barulah saya "ngeh" pada ketidakberpihakan pengelola rumah ibadah terhadap warga disabilitas.

Pertanyaan pun muncul "Apakah gak ada warga disabilitas di antara para Jemaah?"

Pastinya ada ya? Namun mereka terpaksa tidak salat Jumat (walau diwajibkan) karena kondisi masjid yang tidak ramah disabilitas.

Haruskah ada warga disabilitas yang mengelola rumah ibadah, sekolah, serta ruang publik lainnya agar ada perubahan?

sumber: mariagsoemitro
sumber: mariagsoemitro

Penghijauan Salah Kaprah

Sebuah pohon besar yang pastinya sudah berumur, memenuhi trotoar hingga tak memberi ruang bagi pengguna pedestrian. Haruskah ditebang?

Ya, harus. Pohon berumur puluhan tahun, bahkan ratusan tahun, bukan harga mati. Bisa ditebang dan diganti pohon lainnya.

Demikian pula rentang 4 meter antara patok tanah kepemilikan dengan bangunan, harusnya merupakan pekarangan yang ditanami minimal 1 (satu) pohon, sesuai Perda K3 tahun 2005. Peraturan yang umumnya ditabrak begitu saja oleh pemilik lahan dengan membangun mepet, atau bahkan jika memungkinkan mengambil lahan pejalan kaki.

Tapi sudahlah, jangankan bangunan, berdalih penghijauan para pejabat di kelurahan dan atau kecamatan ramai-ramai "mempercantik trotoar" dengan pot-pot besar berisi tanaman hias.

Ngenes sih ini. Uang rakyat bukannya digunakan untuk menyejahterakan rakyat tapi malah untuk mengejek rakyat. Analoginya, seorang anak yang butuh makan, bukannya diberi nasi tapi malah diberi pot bunga.

sumber:maria-g-soemitro.com
sumber:maria-g-soemitro.com

PKL "Demi Sesuap Nasi"

Tahukah beda Perda Tibum Tralinmas (Ketertiban Umum Ketentraman Perlindungan Masyarakat) dengan Perda K3 (Ketertiban, Kebersihan dan Keindahan) tahun 2005?

Dengan dalih adaptasi, beberapa perubahan dilakukan. Beberapa kawasan zona merah diubah menjadi zona kuning untuk menjamin keberadaan PKL. Seperti PKL yang memenuhi kawasan Cicadas (zona merah), kini masuk ke dalam zona kuning.

Akibatnya, jangankan warga disabilitas yang harus menggunakan kursi roda, warga non disabilitas pun harus "bertempur" dengan pengguna pedestrian lainnya.

Demikian pula PKL di jalan Kebon Sirih yang kami lalui. Dengan santainya mereka membangun lapak di trotoar. Bahkan demi kenyamanan konsumennya, PKL meletakkan bangku-bangku panjang dan meja untuk ngopi dan debat kusir.

Gedung Indonesia Menggugat(sumber:mariagsoemitro)
Gedung Indonesia Menggugat(sumber:mariagsoemitro)

Haruskah Warga Disabilitas Menggugat?

Dimulai pukul 10.00 pagi, perjalanan kami terhenti kala azan Zuhur berkumandang. Tak terasa, karena begitu banyak hal menarik yang semula tak nampak.

Ketika Kang Farhan menunjuk kejanggalannya, barulah kami paham. Di tengah perjalanan kami sempat mampir ke Gedung Pakuan, rumah dinas gubernur Jawa Barat yang baru saja ditinggalkan Ridwan Kamil.

Hanya ada petugas keamanan yang kami ajak berfoto sambil mengangkat tangan kiri dan jempol kiri, sebagai simbol perubahan. Lucunya ada pertugas yang mengangkat jempol kiri, tapi pakai tangan kanan!

Usai dari Gedung Pakuan, jelajah Sumur Bandung diteruskan melalui Jalan Oto Iskandar Dinata, lokasi ATM beberapa bank, yang juga tak ramah disabilitas, kemudian menelusuri Jalan Perintis Kemerdekaan  dan berakhir  di Gedung Indonesia Menggugat.

Di sini kami memesan kopi dari kantin dan membeli sebungkus gorengan dari PKL yang mangkal di depan Gedung.

Merupakan cagar budaya kelas A, Gedung Indonesia Menggugat merupakan saksi bisu kala pemerintah kolonial Belanda mengadili para pejuang kemerdekaan. Mereka adalah Soekarno, Maskoen, Gatot Mangkoepradja, Soepriadinata, Sastromolejono, Sartono, dan lainnya.

Untuk menghormati kepahlawanan mereka, mantan Gubernur Jawa Barat, HC Mashudi (1978 -- 1993) memberi nama gedung sesuai judul pledoi Sukarno saat itu: Indonesia Menggoegat.

Apakah hal ini menjadi penanda bahwa warga disabilitas harus menggugat? Agar tidak hanya warga non disabilitas yang bisa berpendidikan tinggi, bekerja dan menggunakan fasilitas publik.

Yang pasti DILANS terus bergerak menyongsong perubahan dengan 6 core values, diantaranya adalah komitmen terhadap inklusivitas, agar gerak dan gagasan perubahan yang diusung diarahkan pada praktek "NO ONE LEFT BEHIND" dalam arti sesungguhnya dan dipraktekkan pada kehidupan keseharian baik sosial, ekonomi, poltik, maupun budaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun