Mohon tunggu...
Maria G Soemitro
Maria G Soemitro Mohon Tunggu... Freelancer - Volunteer Zero Waste Cities

Kompasianer of The Year 2012; Founder #KaisaIndonesia; Member #DPKLTS ; #BJBS (Bandung Juara Bebas Sampah) http://www.maria-g-soemitro.com/

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Menyingkap Kekayaan Likupang, Destinasi Impian di Sulawesi Utara

23 Februari 2022   17:11 Diperbarui: 23 Februari 2022   17:18 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagian masyarakat Minahasa mempercayai bahwa waruga dibangun pada masa transisi antara zaman megalitik ke zaman ketika orang sudah mengenal ajaran agama Kristen. Hal ini terlihat dari  keberadaan waruga di halaman atau lingkungan gereja.

Sungguh menarik, mengingat kuburan seperti itu tidak kita temukan di pulau Jawa. Pemakaman umat Kristen di Jawa umumnya menempati kawasan khusus yang disebut kerkhof. Cara  pemakamannya pun berbeda, jenazah disimpan dalam peti kemudian di kubur. Di atas kuburan dipasang batu nisan sebagai penanda.

Tidak demikian halnya dengan waruga. Dalam tulisannya Mas Han menjelaskan ada beberapa bentuk waruga. Umumnya mayat disemayamkan dalam posisi jongkok atau duduk.

Tetapi ada waruga atau peti kubur batu yang berbentuk memanjang, yang berarti mayat dikubur dalam posisi berbaring. Caranya dengan membuat lubang persegi dari batu besar untuk menyemayamkan jenazah. Kemudian dibuat penutup panjang, berbentuk seperti perahu yang diletakkan terbalik dan sebagian tertanam dalam tanah.

Waruga tidak hanya berfungsi menguburkan jenazah, juga untuk menorehkan sejarah dalam bentuk relief. Beberapa relief bercerita tentang datangnya orang asing dari Barat. (sumber).

Diperkirakan pada abad permulaan masehi atau malah sebelumnya, penduduk asli tanah Minahasa menerima tamu pelaut bangsa asing dari Spanyol dan Portugis. Mereka berbaur dengan penduduk asli dan melakukan pertukaran budaya.

Perubahan corak relief pada penutup dan badan waruga merupakan bukti akulturasi budaya tersebut. Juga munculnya tarian katrili dan tarian polinese sebagai tarian tradisonal Minahasa, yaitu tarian katrili dan tarian polinese, yang sebenarnya terpengaruh budaya bangsa Barat.

Bagaimana? Menarik bukan? Setiap singkapan, ditemukan kekayaan Indonesia tak terhingga.  Jadi mengapa harus traveling ke luar Indonesia? Lebih baik, di Indonesia Aja. Jangan sampai bangsa asing lebih mengenal Indonesia dibanding kita, yang lahir di bumi pertiwi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun