Dengan kata lain, sebagai negara agraris, Indonesia mempunyai pengalaman swasembada beras. Indonesia juga kaya akan pakar, mulai dari pakar keuangan, pakar pertanian, pakar sosial, pakar budaya, pakar lingkungan serta pakar terkait swasembada beras lainnya.
Tapi, aneh! Puluhan tahun berlalu, pengalaman dan kontribusi para pakar tersebut tidak digunakan untuk menata sektor pertanian. Pemerintah masih menggunakan cara jadul, cara pra swasembada beras, era ketika 'lingkungan hidup yang berkelanjutan' belum dipahami, apalagi dipraktikkan.
Indonesia seharusnya menerapkan konsep circular economy sesuai komitmen Sustainable Development Goals (SDGs) untuk mengakhiri kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan.
Dampak Lingkungan Pembangunan Waduk
Pembangunan waduk jelas mengkhianati komitmen SDGs, karena akan berdampak langsung terhadap sifat biologis, kimia, fisik sungai dan lingkungan tepian sungai. (sumber) Paling tidak meliputi 5 aspek, yaitu:
Daya dukung dan daya tampung baik setempat maupun secara kawasan wilayah.
Bendungan akan menjebak sedimen yang sangat penting untuk mempertahankan proses fisik dan habitat di hilir bendungan. Ketika sungai kehilangan beban sedimennya, sungai melakukan keseimbangan dengan mengikis dasar sungai dan tepian hilir, yang mengakibatkan kerusakan jembatan, struktur tepi sungai, serta hutan tepi sungai.
Dalam dekade pertama pembangunan waduk, dasar sungai di hilir waduk biasanya terkikis beberapa meter. Kerusakannya bisa mencapai puluhan bahkan ratusan kilometer di bawah bendungan.
Rusaknya keanekaragaman hayati.
Ribuan pohon (flora) akan musnah, demikian pula fauna seperti monyet dan ular. Dinding bendungan juga menghalangi migrasi ikan dan beberapa spesies air lainnya. Mereka terpisah dari  habitat pemijahan dan dari habitat pemeliharaan.