"Tebak, terbuat dari apa ini?" tanya seorang teman, sesama anggota Dewan Pemerhati Kehutanan Tatar Sunda (DPKLTS) sambil menyorongkan sepiring brownies kukus coklat.
Refleks, saya mengambil sepotong brownies, mencium aromanya, sesudah itu baru menggigit dan mengunyahnya. Mmm ... Â aroma coklat brownies yang harum. Rasanya lezat, seperti rasa brownies kukus umumnya.
Tapi teksturnya agak bergerinjil, tidak seperti tepung terigu yang halus. Mungkinkah campuran tepung beras dan maizena?
"Ini dari tepung ganyong", jawab sang teman, setelah mendengar jawaban saya.
Ganyong? Oh, bisa diolah menjadi brownies?
Dikenal sebagai makanan rakyat di masa paceklik, ganyong tumbuh subur di Jawa Barat. Tak heran, ganyong menjadi sorotan para pakar DPKLTS ketika harga beras merangkak naik. Bangsa Indonesia perlu diversifikasi pangan.
Dan jawabannya bukan gandum, bahan baku tepung terigu. Karena gandum sulit dibudidayakan di iklim tropis. Bersikukuh mengimpor gandum berarti enggan melepaskan diri dari perbudakan ekonomi bangsa lain. Serta membiarkan petani Indonesia berkubang dalam kemiskinan.
Keberpihakan pada petani sudah lama dilakukan Mang Ihin, nama panggilan Solihin GP, mantan Gubernur Jabar era orde baru. Solihin GP merupakan salah satu dewan pakar DPKLTS.
Ketika masih bertugas, bersama Presiden ke-2 RI, Â Soeharto, Solihin GP aktif mengunjungi petani untuk mengetahui problem mereka. Pada saat itulah Mang Ihin mengetahui bahwa warga Jabar kerap mengalami gagal panen, sehingga terpaksa mengonsumsi ganyong.
Ganyong yang Cantik, Ganyong yang Tahan Banting