Satu sepeda motor dinaiki 3-4 jiwa. Tanpa helm pastinya. Belum lagi ada yang mengendarai sepeda motor sambil menggunakan ponsel. Seolah nyawa mereka ada 4. Atau mungkin mereka beranggapan sesudah mati, bisa hidup lagi.
Nyawa benar-benar ngga dianggap!
Tapi coba jika ada seorang buruh migran yang terancam hukuman mati. Riuh rendahlah suara menyalahkan kementerian tenaga kerja dan presiden.
Bukan berarti butuh migran ngga usah dibela, tapi harus dilihat kasus per kasus. Termasuk kasus Tuti Tursilawati, yang mendapat hadd ghillah, yang tertinggi dan tidak bisa dimaafkan. Raja dan para ahli angkat tangan. Ngga bisa apa-apa.
Mendidik Anak
Ngobrol ngidul, tanpa terasa merambat ke anak-anak. Pak Hanif ngga mau 3 anaknya manja hanya gara-gara bapaknya menjadi menteri. Mereka (Nabila Setia Izzati, 3 November 1999; Neilan Setia Izzata, 22 April 2004; Nameera Setia Izzati , 3 Mei 2010) harus menghargai uang. Ngga bisa seenaknya minta dibelikan barang mahal. Walau Pak Hanif kerap pedih ketika melakukannya.
Ngga terasa sore beranjak malam. Lampu-lampu taman dinyalakan. Ajudan Pak Hanif berbisik pertanda waktunya menuju lokasi lain. Namun nampaknya beliau enggan beranjak. Ngobrol dengan yang berkesesuain minat menjadi peristiwa langka.
Akhirnya sesudah foto bareng, Pak Hanif beranjak, meninggalkan sesal saya yang lupa memintanya membaca salah satu puisinya yang berjumlah ratusan dan sudah dibukukan.
Obrolan mengenai kegiatan menulisnya lah yang membuat fokus pertanyaan berubah. "Sedang ingin menulis novel", kata pak Hanif. "Tapi baru ketemu judulnya "Kisah Cinta Sang Presiden". Eh tapi, untuk membuat novel tersebut, harus jadi presiden dulu ya?" tanyanya sambil tersenyum. Bercanda.
Aamiin ya rabbal 'alamin
Ucapan adalah doa. Masa depan tercapai sesudah membuat jejak di masa kini. Namun masa depan tetap menjadi misteri. Mungkin saja terjadi, kelak pak Hanif mejadi Presiden RI.