Mohon tunggu...
Maria G Soemitro
Maria G Soemitro Mohon Tunggu... Freelancer - Volunteer Zero Waste Cities

Kompasianer of The Year 2012; Founder #KaisaIndonesia; Member #DPKLTS ; #BJBS (Bandung Juara Bebas Sampah) http://www.maria-g-soemitro.com/

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Dunia Tanpa Sampah Bukan Impian

9 November 2018   23:10 Diperbarui: 8 Agustus 2019   17:30 2167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sampah dalam pengangkutan (dok.Maria G Soemitro)

Harus ada perubahan. Karena kita tidak mungkin menggunakan cara sama dengan sebelum bahan tambang serta bahan sintetis digunakan secara global dan masif.

Tidak bisa lagi menerapkan sistem sentralisasi pengelolaan sampah seperti sekarang. Yaitu, mengumpulkan sampah, mengangkutnya untuk dibuang ke TPA. Banyak kerugian yang muncul akibat sentralisasi.

  • Sampah berceceran dan berterbangan. Seperti kasus di paragraf awal. Sampah dalam proses pengangkutan juga meresahkan warga masyarakat yang melintas. Seorang teman yang tinggal di Bekasi berkisah, setiap pagi harus berpapasan dengan truk sampah yang melintas. Bau busuk tercium hingga ratusan meter. Air lindinya berceceran. Menjijikkan.
  • Biayanya lebih mahal dibanding sentralisasi. Tidak hanya meliputi biaya angkut, juga tipping fee. Bahkan DKI Jakarta harus menyiapkan dana hibah kemitraan berjumlah triliunan rupiah.
  • Tidak berkelanjutan. Bumi hanya satu. Jumlah manusia bertambah banyak. Lahan kosong semakin mengecil. Di masa depan tidak ada lagi lahan untuk menimbun sampah seperti sekarang.

Bagaimana dengan alternatif "waste to energy" , atau membangun pembangkit listrik tenaga sampah?

Dampak negatif akan sama jika sistemnya sentralisasi. Bahkan lebih buruk. Biaya per ton pengolahan "waste to energy" sangat mahal. Yaitu Rp 811.902.000/ton, biaya proses "kumpul, angkut , buang" sampah Rp 776.235.000/ton, sedangkan biaya sampah cara desentralisasi hanya Rp 329.205.000/ton.

perbandingan biaya pengelolaan sampah (data YPBB Bandung)
perbandingan biaya pengelolaan sampah (data YPBB Bandung)
Parahnya lagi, menurut Dwi Sawung dari Dewan Nasional Walhi, biaya produksi sampah menjadi listrik mencapai Rp 18,6 sen/kwh. Sementara PLN hanya sanggup membayar Rp 6,8 sen/kwh. Selisihnya bagaimana? Harus disubsidi pemerintah?

Jadi, pilihan yang terbaik adalah desentralisasi pengolahan sampah? 

Ya, desentralisasi sampah berarti mengelola sampah sejak dari sumbernya. Setiap rumah tangga wajib memisah sampah. Setelah itu sistem pengelolaan sampah setempat yang bekerja. 

Apakah akan mengolah sampah organik menjadi biogas? Atau kompos? Demikian juga sampah anorganik. Targetnya sampah selesai di wilayah tersebut. Sampah yang dibawa ke TPA hanyalah sampah yang tidak bisa mereka olah.

 Kawasan Bebas Sampah 

David tidak sedang berandai-andai ketika menjelaskan sistem desentralisasi sebagai solusi. Beberapa hari sebelumnya, saya mengunjungi Kawasan Bebas Sampah (KBS) RW 09 Kelurahan Sukaluyu, Kota Bandung yang didampingi YPBB Bandung sejak tahun 2015 .

Pada tahun 2017, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kota Bandung tergerak untuk menjadikan KBS Sukaluyu sebagai percontohan. Kemudian menargetkan seluruh RW di Kota Bandung menjadi KBS juga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun