Selalu ada pengulangan. Senin ke Senin. Juni ke Juni.  Ramadan ke Ramadan. Di malam Ramadan, tiga  waktu Imsak menuju hari Lebaran, ibu melakukan hal yang sama, menimbang beras dan memasukannya ke kantong plastik. Dua setengah kilogram beras pada setiap kantong.
"Kubantu ya bu?" tanyaku. Ibu mengangguk.
Kami bukan orang kaya. Namun setiap tahun  ibu bersikukuh menyisihkan rezekinya. Mengisi kantong plastik dengan beras terbaik. Jumlah yang nyaris sama tiap tahunnya. Sering bertambah. Tak pernah berkurang.  Kantong beras  dan selipan sejumlah uang untuk Mang Asep, tukang becak; Mang Mamat, tukang bangunan; Mang Eman, tukang sayur; Bik Mimin penjual gorengan yang suaminya pengangguran dan wak Odah, penjual minyak tanah yang suaminya terkena stroke.
Kami bukan orang kaya. Ayah meninggal ketika adik bungsuku berusia 3 bulan. Masih bayi merah. Tanpa pensiun. Tanpa harta warisan. Ibu menafkahi anak-anaknya dengan beternak ayam petelur dan menjual batik. Sepetak  tanah di belakang rumah disulap menjadi kandang-kandang  ayam. Bersama ibu, setiap pagi aku harus menakar dan memberi makan ayam.Â
Menjelang siang, Mang Asep akan datang untuk mengantar telur ke pasar dan toko langganan ibu. Sepulang sekolah, aku akan memutari pasar dan toko untuk mengambil uang telur. Â Sementara ibu berkeliling kota menjajakan kain batik.
"Udah malam, bu. Apa ngga capek? Kan bisa besok?
"Besok terlalu mepet, nak. Mereka harus punya waktu untuk masak. Tidurlah jika ngantuk. Biar ibu yang membereskan".
Aku menggeleng.
Kami bukan orang kaya. Beras yang dimasukkan dalam kantong plastik merupakan beras terbaik. Penyebabnya karena ibu tahu, penerima beras terbiasa mengonsumsi beras buruk. Mereka menyampurnya dengan perasan jeruk nipis, buah yang diminta dan dipetik dari pekarangan rumah kami. Tanaman yang semakin subur berbuah seolah tahu, Â kehadirannya membawa berkah.
Kami bukan orang kaya. Beras terbaik diberikan ibu untuk anak-anaknya dengan alasan:  "Lauk apapun jadi enak, jika nasinya enak".  Dan benar, setiap hari kami makan dengan lahap. Walau lauk pauk  kami nyaris sama setiap waktunya:  dadar telur yang terbuat dari telur-telur yang pecah dan tak laku dijual, ditambah tepung,  air dan bumbu garam. Â
Kami bukan orang kaya. Namun seperti kata ibu:
 " Memberilah sebanyak kamu mampu, karena memberi tak akan menjadikanmu miskin. Memberi akan membuatmu merasakan nikmat luar biasa".
Malam semakin larut. Merayap menuju pendaran sinar mentari  di ufuk timur. Memberi pemaknaan lebih dalam. Tak usah menunggu kaya untuk memberi. Cukup sekantong beras kualitas terbaik agar diterima dengan senyum  bahagia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H