Karena dilarang, Â saya diam-diam sering jajan asinan. Bersama dengan Vonny, anak tetangga yang tinggal di samping rumah Yane, saya menyantap asinan di rumah Yane. Yane yang muslim tentu saja berpuasa, sedangkan saya dan Vonny tidak. Anehnya dulu kok ngga kepikiran dosa karena makan di depan orang yang berpuasa. Yane juga cuek saja, malah menyilahkan kami makan jajanan di rumahnya.
Bik Mimin berjualan asinan dalam satu waskom hijau yang berukuran besar dan bercorak abstrak. Ada  nanas muda, bengkuang,  mangga kweni dan ubi jalar. Semua dalam potongan besar yang direndam  dalam cairan cuka kelapa yang dibumbui garam,  gerusan cabai merah dan cabai rawit.
Selain kolak, yang sering dibuat ibunda selama bulan puasa adalah es cincau hijau. Dibuat dari daun cincau yang tumbuh subur di depan rumah, ibu menyuci bersih daun-daun tersebut, Â kemudian daun-daun diremas-remas/dihancurkan, Â dicampur air masak, disaring dan dibiarkan dalam satu mangkuk.Â
Menjelang waktu Magrib, ibu akan menyajikan cincau yang telah berbentuk agar-agar dalam gelas berisi air manis dingin. Ya, walaupun tidak ikut berpuasa, kami ikut bersuka ria, bergembira dengan es cincau dan kolak pisang. Padahal kala itu ngga ada satupun anggota keluarga yang beragama Islam. Ajaib bukan?
Toleransi, sebetulnya bukan kata baru yang harus bolak-balik didengungkan. Toleransi muncul dari kebutuhan masyarakat untuk hidup damai, Â rukun, dan saling menghargai.Â
Tanpa pendidikan PPKn dan penataran P4, ibunda yang memegang teguh agama Katolik, telah mengamalkan toleransi, menunjukkan cara bertoleransi pada anak-anaknya agar kami meneladani tanpa banyak tanya. Karena kami paham, hidup damai luar biasa nyamannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H