Suaraku tercekat. Kubuka kotak bolu susu dan kuiris memanjang. Ibunda tak menyukai potongan segi empat. Walau lebih rapih.
"Bu, aku sudah berpisah dari Budi".
Akhirnya kalimat itu terucap. Â Nanar kupandang wajah ibunda. Â Perlahan decak suara cecak mengganti nyanyian tokek. Aku menunggu bunyi-bunyian penanda ajakan sahur yang biasa dilakukan anak-anak kampung. Masih sepi.
Kubuka kerudung biru yang selalu menutupi gelung rambut. Kulepas cardigan yang membungkus rapat kedua lengan. Kemudian  perlahan kutarik kebawah retsleting gamis berwarna hitam. Kubiarkan ibunda melihat bilur-bilur biru bekas pukulan Budi. Sundutan rokoknya. Dan cengkraman kuku-kuku jarinya.
Sudut senyum ibunda memudar.
Hilang.
Kedua mataku tiba-tiba terasa basah. Ngilu datang menghujam. Menjalar ke sekujur tubuh. Merayapi setiap persendian. Pertama kali berkenalan dengan rasa ini di malam pertamaku dengan Budi. Rasa ngilu yang  terasa samar. Kemudian semakin sakit. Sesudah itu berkawan bertahun lamanya.  Rasa ngilu yang  enggan pergi. Bahkan semakin sering. Semakin tak tertahankan. Ngilu yang mengoyak tubuh.
Perlahan kusentuh pigura foto ibunda. Kuhapus lapisan tipis debu yang menyelimuti kacanya. Foto ini diambil disaat senyum terakhir menghiasi raganya. Lima tahun silam. Di penghujung Ramadan. Â Tepat seminggu sesudah hari pernikahanku dengan Budi.