"Iya , buat apa berkorban sapi jika ngga mau berkorban dalam kehidupan sehari-hari. Ngantri misalnya, kan berkorban waktu dengan menghargai orang lain datang yang lebih dulu. Juga berkurban lainnya seperti ngga saling nyrobot di jalan raya. Hasil akhirnya menyenangkan , tapi harus ada pengorbanan dulu dari setiap orang".
 "Ah, aku ingat pernah membaca tentang perilaku commuter yang enggan memberikan tempat duduk pada perempuan tua dan perempuan hamil. Cewek yang masih muda dan sehat malah main ponsel. Walau kupikir laki-laki muda juga banyak".
"Iya, berkorban seperti itu yang seharusnya kita lakukan. Memotong hewan korban bagi yang mampu memang sesuai syariat agama, tapi yang terpenting implementasi berkurban dalam tindak tanduk kita sehari-hari."
"Lha, kamu kok jadi pinter, Dis?"
"Hehehe, itu bukan hasil pemikiranku kok. Itu murni penjelasan ustadku di pengajian, dr Tauhid Nur Azhar".
*****
Untuk saya, sungguh bukan perkara mudah menulis dalam bentuk seperti ini. Tapi, satu-satunya cara yang saya tahu agar tak terkesan menggurui. Saya harus cepat. Karena waktu melaju tanpa pernah rehat. Waktu tak mau menunggu. Ajal setiap saat tiba. Saya harus cepat menulis dan meninggalkan coretan pesan agar jangan bertengkar mengenai agama orang lain. Percuma.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H