Tiba-tiba dada saya terasa sesak. Usai membaca berita duka dari akun facebook Supardiyono Sobirin yang  mengabarkan bahwa Budi Brahmantyo berpulang, mendahului kami untuk menghadapNya. Rasanya baru kemarin almarhum mengirim message: " Mbak, gimana caranya posting di Kompasiana?" Ternyata kejadian lama, 8 tahun berselang.
Siapa Budi Brahmantyo?
Sosok ini bukan sekedar dosen Geologi Institut Teknologi Bandung (ITB) bernama lengkap Dr. Ir. Budi Brahmantyo M Sc, almarhum merupakan  pakar ilmu bumi yang aktif membangun kesadaran masyarakat tentang kebumian lewat aktivitasnya di berbagai organisasi dan komunitas. Tulisannya  bersliweran di media cetak mengenai hasil riset dan keprihatinannya akan bumi yang semakin sakit. Khususnya di wilayah cekungan Bandung.
Bersama pakar ilmu bumi lain, almarhum aktif dalam Kelompok Riset Cekungan Bandung (KRCB).  Lewat diskusi dan kajian, mereka  konsisten menyuarakan pentingnya cekungan Bandung sebagai kawasan yang khas sehingga  pengelolaannya  harus lepas dari batas-batas wilayah administratif.
Berikut kutipan wawancara terakhirnya dengan harian Pikiran Rakyat:
 "Tentang KBU, kita mestinya tidak hanya bicara tentang fungsi resapannya. Yang harus diwaspadai juga adalah potensi air permukaannya. Selama alih fungsi di KBU tidak terkendali, banjir bandang bisa terjadi kapan-kapan," tutur Budi Brahmantyo..
Ujarannya seolah bersambut. Sebulan usai wawancara warga Bandung dikejutkan dengan banjir bandang di Cicaheum. Wilayah yang sebelumnya dianggap aman dari banjir. Membuktikan betapa rentannya Kota Bandung jika tidak ada upaya pelestarian lingkungan di cekungan Bandung.
Mengapa  Budi Brahmantyo bergabung dengan Kompasiana?  Nampaknya untuk melampiaskan kesukaannya menulis sekaligus berbagi banyak tanpa harus berlama-lama mengirimnya di media cetak.
Tulisannya sarat humaniora, gaya hidup dan  wisata, sesuai perjalanannya dalam wisata geotrek  maupun hobinya bersepeda dan lari.  Selalu komplit sehingga pembaca tidak hanya paham tapi juga mendapat manfaat dari tulisan yang dibacanya.
Tulisan "100 Cerita Serem Tentang Batu Akik" misalnya berkisah mengenai obrolannya dengan Mang Okim, sahabatnya di KRCB. Mang Okim  merupakan geologiwan sejak lulus dari Teknik Geologi ITB tahun 1967.
Pemalsuan banyak dilakukan pada batu giok. Kasus-kasus pada bab 2 itu menyangkut meja giok Rp 18 miliar, meja giok seberat 77 kg, sertifikat giok aspal, giok daun meja 153 kg, giok bohongan yang ternyata hanya marmer, hingga cincin giok dan patung giok sintetis yang disakralkan. Begitu pula batu-batu yang lebih mulia (precious stone) atau batu permata banyak yang dijual sangat mahal, seperti ruby, sapphire, chaiyo ruby seharga USD 150 juta! Hati-hati juga dengan alexandrite dan mustika MD, atau kalau beli safir di Bangkok. Mahal bukan jaminan asli. Bahkan cerita "serem" permata pancawarna seharga 3.000 dollar AS yang diakui pemiliknya dibeli di San Fransisko ternyata hanya berupa gelas artifisial alias jenang gulo, atau dengan sebutan popular pantol alias pantat botol.
Pada Bab 3 cerita-ceritanya lebih serem lagi karena menyangkut mitos dan mistik, yang sebenarnya lebih banyak unsur penipuannya. Di bab ini salah satunya adalah kasus Batu Ponari yang heboh pada tahun 2009 yang bisa menyembuhkan berbagai penyakit. Padahal menurut Mang Okim, batu itu hanya bintal akik yang persediaannya banyak di workshop Mang Okim. Sehingga di akhir ceritanya Mang Okim menulis dengan nada bercanda, "... jika nanti (bintal akik) sampai terbukti jenisnya sama dengan batu Ponari, Mang Okim bisa ganti profesi jadi dukun alternatif, bakalan gancang beunghar alias cepet kaya dalam waktu singkat."
Yang menarik adalah tulisan mengenai ragam kisah yang ditemui. Dulu hanya sekedar ditulis di media sosial. Saya ingat ketika almarhum menulis tentang misteri penguasa laut selatan. Sesudah menjadi kompasianer, almarhum memiliki tempat yang pas untuk mendokumentasikan. Salah satunya tentang kisah Sang Kuriang : Â Beutitunggul, Teka-teki Toponim Bukitunggul
Rupanya nama asal Bukittunggul adalah Beutitunggul. Misteri terpecahkan. Jadi aslinya tidak ada duplikasi gunung dengan bukit. Hal ini lebih masuk akal karena bersesuaian dengan mitos Sang Kuriang, legenda terbentuknya Gunung Tangkubanparahu. Menurut legenda itu, kayu yang digunakan Sang Kuriang untuk membuat perahu atas permintaan Dayang Sumbi ditebang dari sebuah pohon di sebelah timur (di G. Bukittunggul) dan daun-daunnya jatuh ke sebelah barat menjadi G. Burangrang (rangrang = rontokan dedaunan). Dekat dengan G. Bukittunggul sekarang terdapat G. Pangparang (parang untuk menebang pohon itu). Setelah pohon ditebang, tinggallah umbi tunggul dari pohon tersebut sehingga masyarakat Bandung lama memberinya nama Gunung Beutitunggul.
Aha, ternyata selama ini kita salah dengan menulis disambung menjadi Sangkuriang. Â Bersama sahabatnya, T. Bachtiar, yang aktif dalam wisata geotrek, almarhum mendapat banyak kisah yang berpadu dengan pemahaman kebumian yang dimilikinya. Â
Perjalanannya ke Kampung Naga dan Gunung Papandayan merupakan akhir  kisah petualangannya. Bus yang ditumpangi bersama rekan-rekan alumni 1982 ITB menabrak truk tronton yang menyalip ke jalur cepat. Kecelakaan yang terjadi pada 28 April 2018 pukul 10.30 WIB tersebut memupuskan mimpinya untuk  menyusun buku panduan geowisata dan menerbitkan buku kumpulan sketsa bertemakan Cekungan Bandung. Sirna juga niatan untuk lebih sering menulis di Kompasiana.
Innalillahiwainnailaihirojiun
Selamat jalan kang Budi Brahmantyo
Usai sudah kisah penjelajahan  yang  sarat makna
Di penghujung jalan ada pesan  tak terucap
"Jangan lalai, penuhi kisah hidupmu dengan manfaat
Kemudian, Â coretkanlah
sebagai penanda sejarah"
Bandung, 28 April 2018
Sumber gambar :
Akun Kompasiana Budi BrahmantyoÂ
Sumber data:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H