Alih-alih digotong ke sana dan ke mari, bukankah sampah seharusnya dipilah dan dikumpulkan di area sampah tersebut berasal? Kemudian sampah disetor ke bank sampah atau komunitas pengelola sampah lainnya.
Cara ini akan menjamin pengelolaan sampah secara berkelanjutan. Sampah organik dapat diolah menjadi kompos/biogas/lainnya. Sampah anorganik bisa didaur ulang menjadi produk baru. Uang yang terkumpul dapat digunakan pemiliknya untuk berbagai keperluan.
Dan yang terpenting, perusahaan yang memproduksi sampah anorganik bisa dijewer agar membiayai proses recycling yang dilakukan masyarakat. Bukankah sesuai undang-undang nomor 18 tahun 2008, daur ulang merupakan kewajiban perusahaan yang membuat kemasan tersebut.
Kok malah masyarakat sih?
Salah zaman
Di era fintech masih memberlakukan barter? Ribet amat.
Bahkan kini pemerintah gencar memberlakukan nontunai. Cukup pakai kartu, bisa menikmati fasilitas jalan tol, naik TransJakarta dan lain lain.
Lha ini kok balik ke cara barter yang primitif. Padahal bisa banget lho warga masyarakat cukup memilah sampah, setor ke petugas yang akan menimbang dan mengkonversi sampah menjadi rupiah kemudian saldo penyetor pun bertambah.
Dalam bentuk kartu? Mengapa tidak?
Rawan malpraktek
Sebagai masyarakat yang terbiasa hidup praktis, serba instan dan ngga mau repot, calon penumpang bus bisa mengakali petugas. Bawa saja sampah plastik yang ditemui di sepanjang jalan menuju terminal bus. Mudah kan?
Tapi apakah masyarakat akan teredukasi mengenai pemilahan sampah? Jelas tidak.
Goal pun semakin menjauh.