Mohon tunggu...
Maria G Soemitro
Maria G Soemitro Mohon Tunggu... Freelancer - Volunteer Zero Waste Cities

Kompasianer of The Year 2012; Founder #KaisaIndonesia; Member #DPKLTS ; #BJBS (Bandung Juara Bebas Sampah) http://www.maria-g-soemitro.com/

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Bersama, Lautku Bebas Sampah

4 Desember 2017   07:32 Diperbarui: 4 Desember 2017   13:22 3892
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
tirai terbuat dari limbah kemasan detergent (dok.pribadi)

Ibarat jantung planet bumi, itulah lautan. Berfungsi bak jantung yang memompa darah ke seluruh tubuh, lautan mengatur iklim,  menyediakan makanan bagi jutaan orang yang tinggal di bumi, memproduksi oksigen, menyediakan obat-obatan dan menjadi bagian dari ekosistem di lautan.

Sayangnya manusia mendapatkan manfaat dari lautan, namun manusia juga yang membuat lautan menjadi sakit. Seperti yang diungkapkan Direktur Kerja Sama ASEAN Kementerian Luar Negeri RI,  Jose Tavares, setiap tahun sedikitnya 12,7 juta metrik ton sampah plastik yang diproduksi di daratan dibuang ke laut di seluruh dunia. Mengakibatkan terganggunya ekosistem, burung dan biota laut lainnya mati, produksi oksigen terganggu.

Secara spesifik,  Ellen Mac Arthur Foundation melaporkan bahwa setiap tahunnya hanya 5 % sampah plastik yang didaur ulang secara efektif, sisanya sebanyak 40 persen berakhir di tempat pembuangan sampah akhir (TPA) dan 30 % menemukan jalan ke lautan. (sumber)

Jika tak segera ditangani, maka diprediksi pada tahun 2050, jumlah sampah plastik akan melampaui jumlah ikan. Dan kita tidak bisa menunggu saat itu, saat kondisi lautan terlampau parah untuk dipulihkan.

Jadi, harus bagaimana?

Bersama, Lautku Bebas Sampah, yaitu dimulai dari diri sendiri,  dari yang termudah dan memulainya sejak saat ini.  Yaitu:

Mengurangi sampah (reduce)

sumber gambar : haggusandstookles.com.au
sumber gambar : haggusandstookles.com.au

Pernah membaca hasil riset LIPI bahwa ada kandungan 105 -- 150 juta bakteri di setiap 70 -- 100 gram kertas coklat yang digunakan sebagai pembungkus jajanan/masakan matang?

Penyebabnya kertas coklat merupakan hasil proses  limbah kertas yang tidak bisa dipertanggung jawabkan asalnya, bisa saja berasal dari tumpukan sampah di TPS dan TPA. Kemudian diolah dengan sejumlah zat kimia yang berpotensi memberikan dampak negatif seperti memicu kanker, kerusakan hati dan kelenjar getah bening serta mengganggu sistem endokrin, menyebabkan gangguan reproduksi, meningkatkan risiko asma dan mutasi gen. (sumber)

Daripada mempertaruhkan kesehatan dengan mendapat kenyamanan semu kertas coklat, lebih baik gunakan wadah sendiri dari rumah. Terjamin higienisnya, tidak mengandung cemaran yang berbahaya dan tidak diribetkan masalah sampah.

Kita juga bisa mengurangi sampah dengan menggunakan tumbler air minum. Juga membawa tas belanja sendiri. Sesampainya di rumah, hasil belanjaan dimasukkan ke tempatnya. Tas belanja digantung atau dilipat kembali. Selesai urusan.

Menggunakan ulang (reuse)

bekas wadah lotion (dok.pribadi)
bekas wadah lotion (dok.pribadi)

Proses reuse membutuhkan kecerdikan dan kreatifitas. Alih-alih membeli aneka bumbu, selai, sambal  dalam kemasan plastik, pilihlah produk dalam botol kaca. Sesudah isinya habis, botol bisa dicuci bersih untuk wadah bumbu lainnya atau peralatan hobi seperti benang jarum dan kebutuhan pertukangan seperti paku, baut, mur serta lainnya.

Bekas lotion perempuan juga bisa digunakan ulang untuk wadah kancing, manik-manik, atau asesories.

Mendaur-ulang sampah (recycle)

tirai terbuat dari limbah kemasan detergent (dok.pribadi)
tirai terbuat dari limbah kemasan detergent (dok.pribadi)

Mendaur-ulang sampah merupakan proses paling rumit dibanding reduce dan reuse, karena itu sebaiknya merupakan upaya terakhir jika sampah tidak bisa lagi dihindarkan.

Ada beberapa tips membuat kreasi limbah plastik, kertas dan keresek/kantong plastik. Seperti dibawah ini. Namun jika tidak yakin sampah yang dihasilkan dapat didaur-ulang, lebih bijaksana menghindarinya.

Demikian juga sampah plastik yang bisa diolah untuk biji plastik, keresek untuk jalan aspal. Pastikan sampah tersebut akan tersalurkan ke tempat produksi. Jika tidak bisa, hindari saja.

sumber gambar : my-the-best-life.blog.cz
sumber gambar : my-the-best-life.blog.cz
Mungkin timbul sanggahan " Ah, aku kan ngga pernah buang sampah ke lautan. Ngga usah ikut pusing karena setiap bulan udah bayar uang sampah".

Sayangnya penyelesaian masalah sampah tidak sesederhana itu. Tidak setiap kota mampu membuang sampahnya ke TPA dengan tuntas. Kota Bandung misalnya, setiap hari memproduksi 1.600 ton sampah, namun baru mampu mengangkut 1.200 ton sampah. Penyebabnya apalagi jika bukan anggaran sampah.

Biaya pengelolaan sampah memang mahal, jika tanpa bantuan anggaran pemerintah, maka setiap kepala keluarga (KK) harus membayar Rp 300.000/bulan meliputi biaya transportasi, biaya kompensasi daerah yang dilewati truk sampah dan biaya pengelolaan sampah. Sanggup?

Banyak petugas retribusi sampah yang mengeluh sulit sekali menarik iuran, padahal hanya sekitar Rp 25.000/KK/bulan.

((Beda halnya jika untuk membeli rokok atau pulsa, ya?))

Ditambah petugas sampah tingkat RT yang sering mengambil jalan pintas dengan membuang sampah yang diangkutnya ke dalam aliran sungai, lengkaplah sudah masalah sampah Kota Bandung..

Tak heran, Kota Bandung kerap dilanda banjir jika hujan deras.

Dan banjirpun akan membawa sampah ke sungai yang berakhir di lautan.

Karena itu Bersama, Lautku Bebas Sampah.Hukum harus ditegakkan. Indonesia memiliki Undang-undang nomor 18 tahun 2008 mengenai pengelolaan sampah, dan PP nomor 81 Tahun 2012 sebagai peraturan pelaksana. Salah satunya mengenai EPR atau extended producer responsibility, yaitu kewajiban produsen/perusahaan penghasil produk kemasan untuk mendaur-ulang atau menarik kembali kemasannya.

Salah satu negara yang berhasil adalah Korea Selatan. Sebelum EPR dijalankan hanya bisa mengolah 27 persen sampahnya, meningkat menjadi 81 persen setelah kewajiban EPR diterapkan. (sumber).

Bersama, Lautku Bebas Sampah, Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan mengimbau negara-negara ASEAN untuk sama-sama terlibat mengatasi masalah sampah di lautan.

Karena dampak buruk serbuan sampah, adalah kemiskinan. Besarnya tak kurang dari USD 1,2 miliar.  "Itu untuk kerugian yang ada di bidang perikanan, perkapalan, pariwisata dan bisnis asuransi," ujar Luhut.

Untuk menyelesaikan masalah sampah di lautan, ada beberapa skenario diantaranya adalah Rencana Aksi Nasional (RAN), rencana aksi mengurangi kebocoran berbasis lahan, kebocoran berbasis laut, mengurangi produksi dan penggunaan plastik. Kemudian, meningkatkan mekanisme pendanaan, reformasi kebijakan dan yang terpenting penegakan hukum. (sumber)

buang sampah ke laut (dok. liputan6.com)
buang sampah ke laut (dok. liputan6.com)
Di pihak lain, tanpa mengenal lelah, Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti selalu berpesan pada warga dan nelayan untuk menjaga ekosistem laut.

"Saya berpesan kepada nelayan dan seluruh masyarakat agar tidak lagi membuang sampah plastik di laut. Sampah plastik itu butuh waktu yang lama untuk terurai. Bisa juga mengganggu pertumbuhan karang. Kalau karang tidak ada itu sudah dapat dipastikan tidak ada ikan. Nah kalau ikannya tidak ada nelayan mau tangkap apa. Jadi jangan ada lagi yang buang sampah plastik di laut," ungkap Susi. (sumber).

Selain sampah domestik, Indonesia juga memiliki pekerjaan rumah untuk sampah industry. Walaupun undang-undang 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup telah lama digulirkan namun masih banyak industri yang membuang limbahnya ke sungai tanpa takut terkena sanksi yaitu dicabutnya izin pendirian perusahaan.

Akhirnya, kembali pada keyakinan: Bersama, Lautku Bebas Sampah,  pemerintah dengan ketegasannya melaksanakan dan menegakkan aturan yang ada. Industri mematuhi regulasi dan kita sebagai warganegara menjalankan aktivitas 3 R : Reduce, Reuse, Recycle.

Karena sakitnya lautan akan menyebabkan planet bumi sakit pula. Dan kita, sebagai penghuni planet bumi ingin hidup sehat. Enggan sakit, terlebih hidup sekarat akibat tercemar mikroplastik.

Ih, siapa juga yang mau ya?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun