Mohon tunggu...
Maria G Soemitro
Maria G Soemitro Mohon Tunggu... Freelancer - Volunteer Zero Waste Cities

Kompasianer of The Year 2012; Founder #KaisaIndonesia; Member #DPKLTS ; #BJBS (Bandung Juara Bebas Sampah) http://www.maria-g-soemitro.com/

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Menciptakan UMKM yang Pro Energi Terbarukan, Mengapa Tidak?

30 Agustus 2017   18:29 Diperbarui: 7 November 2017   15:20 1705
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernah membayangkan terbangun di suatu pagi dan mendapati tidak ada lagi energi siap pakai? Tidak ada BBM. Tidak ada listrik. Apa yang akan terjadi? Panik pastinya. Tidak ada air yang keluar dari kran. Berarti tidak bisa mandi, memasak dan mencuci. Kembali ke masa lampau dengan melakukannya di sungai jelas tidak mungkin, selain jaraknya jauh, air sungaipun telah tercemar limbah.

Demikian juga kegiatan lain seperti pergi ke kantor/ke sekolah serta beraktivitas dengan bantuan semua peralatan yang bergantung listrik, bahan bakar minyak serta gas. Aktivitas lumpuh. Negara kolaps.

Sayangnya situasi tersebut bukan sekadar mimpi buruk, sangat mungkin terjadi. Penyebabnya energi yang kini digunakan adalah energi fosil yang tidak bisa diperbaharui. Sementara cadangan minyak dunia hanya tersisa 70 tahun lagi (sumber). Sedangkan cadangan energi fosil Indonesia lebih minim lagi, minyak hanya 11 tahun, dan gas 100 tahun (sumber).

Jadi? Saatnya melakukan perubahan agar anak cucu tidak gusar karena kelangkaan energi. Paling tidak ada 2 solusi yaitu keluar dari zona nyaman dengan menghemat energi,  yang kedua adalah mengaplikasikan energi terbarukan dalam kehidupan sehari-hari.

Denmark merupakan salah satu negara yang sukses mengembangkan energi terbarukan. Energi anginnya mampu memenuhi 116% kebutuhan domestik (surplus pasokan listrik). Negara yang lain adalah Jerman, berhasil memenuhi 95% kebutuhan listrik berasal dari energi matahari dan angin.

Bagaimana dengan Indonesia? Potensi Indonesia dalam mengembangkan energi terbarukan sangat besar meliputi energi surya, energi air, energi panas bumi, biofuel, biomassa, energi angin, energi laut dan energi pasang surut.

Dalam forum International renewable Energy Agency (IRENA), di Abu Dhabi, Sabtu (14/1/2017), Dirjen Energi Baru dan Terbarukan Kementerian ESDM, Rida Mulyana mengemukakan bahwa porsi energi terbarukan di Indonesia saat ini baru 10% dari total penggunaan energi. Pada tahun 2019, ditargetkan menjadi 13%, dan mencapai 23% pada tahun 2025.

Selanjutnya Rida Mulyana menjelaskan rencana pengembangan energi Indonesia hingga 2050:

  • Porsi energi terbarukan mencapai 23% di 2025 dan 31% di 2050
  • Minyak berkurang menjadi 25% di 2025 dan di bawah 20% di 2050
  • Batu bara menjadi 30% di 2025 dan 25% di 2050
  • Gas menjadi 22% di 2025 dan 24% di 2050 (sumber)

Penerapan energi terbarukan terkesan lambat karena pemerintah melaksanakan secara terpusat sehingga membutuhkan anggaran tak kurang dari Rp 260 triliun hingga 2025. Yang berasal dari utang, dana hibah lembaga donor nasional dan internasional, serta lembaga bilateral yang memiliki pandangan sama dalam pengembangan energi terbarukan (sumber).

Sebetulnya pengembangan dan aplikasi energi terbarukan bisa lebih cepat terwujud, jika pemerintah mau membuka kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut:

Corporate Social Responsibility (CSR)
Lebih baik terlambat daripada tidak, mungkin tepat untuk RUU Tanggung Jawab Sosial yang baru dibahas tahun lalu dan mengharuskan setiap perusahaan menyisihkan 2 -- 3 % keuntungan untuk CSR. Sebelumnya hanya perseroan terbatas yang berkaitan sumber daya alam yang diwajibkan memberikan CSR (sumber).

Seperti halnya perubahan lain, dibutuhkan sosialisasi dan produk gratis agar masyarakat mengenal, terbiasa dan akhirnya mau menggunakan energi terbarukan. Di Bandung misalnya, pada tahun 2015 dibagikan 100 biodigester secara gratis. Biodigester tersebut untuk mengolah sampah rumah tangga menjadi biogas yang bisa digunakan untukmemasak.

Sayang program ini tidak berkelanjutan, andai saja ada beberapa CSR tentunya akan semakin banyak rumah tangga mandiri energi, masalah sampahpun tertanggulangi. Bahkan bukan tak mungkin akan muncul kota-kota berkelanjutan sebagai wujud nyata komitmen Indonesia mengurangi emisi GRK sebanyak 29 % sesuai COP 21.

Sumber gambar: Kompas TV
Sumber gambar: Kompas TV
Komunitas Berbasis Kewirausahaan Sosial
Skema pembiayaan CSR bisa ditujukan bagi 2 kepentingan, yaitu untuk pancingan agar masyarakat mau membeli sendiri. Atau pembiayaan bagi program energi terbarukan yang dikelola komunitas, hasil akhirnya untuk membiayai kebutuhan bersama seperti pengadaan modal kerja, kesehatan serta pendidikan.

IBEKA, yang diketuai Tri Mumpuni merupakan salah satu contoh keberhasilan mendampingi komunitas pedesaan mengembangkan mikrohidro. Komunitas mengoperasikan mikrohidro, menjual listrik dan menerima hasilnya untuk dikelola bagi pengembangan perekonomian setempat, pendidikan dan biaya pengobatan anggota komunitas.

Pemberdayaan Masyarakat
Sebagai negara agraris, Indonesia sangat potensial dalam menghasilkan biofuel. Bahkan pada masa kepemimpinan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), banyak petani di Jawa Barat menanam jarak sementara sektor swasta menyiapkan mesin pengolah biodiesel. Sayang, terganjal regulasi yang tak kunjung tuntas, program biofuelpun mangkrak.

Padahal jika dikembangkan, akan membuka lapangan kerja baru dari hulu hingga hilir. Dengan skema sebagai berikut:

  • Hulu/petani:
    Merupakan petani penggarap lahan (jarak, nyamplung, randu, bintaro, kemiri sunan), bisa juga pengumpul sisa panen (tebu/singkong), pemilik minyak jelantah (untuk diolah menjadi bioetanol).
  • UMKM energi terbarukan:
    Merupakan pengolah bahan baku menjadi biodiesel atau bioetanol dengan standar produksi yang telah disepakati dengan Pertamina. Tidak tertutup kemungkinan seorang petani juga pemilik UMKM energi terbarukan.
  • Koperasi:
    Merupakan institusi yang mengorganisir penerimaan hasil produksi, hasil penjualan, menyalurkan pada petani sekaligus memberikan fasilitas-fasilitas pada petani seperti pelatihan, pengadaan alat/sparepartdan lain sebagainya.
  • Pertamina:
    Sebagai BUMN, Pertamina tidak hanya harus mendapatkan laba tetapi juga harus memenuhi klausul Undang-undang BUMN yaitu "kecuali mendapat penugasan pemerintah", yang artinya harus membeli energi terbarukan dari masyarakat sesuai ketentuan yang berlaku.

Potensi EBT (Biofuel) di Indonesia
(diolah dari Blue Print Pengelolaan Energi Nasional 2005 -- 2025, Lampiran B, Jakarta, 2005)

Sumber : PSE UGM
Sumber : PSE UGM
Semakin banyak sektor yang berkecimpung dalam penyediaan energi terbarukan maka akan semakin cepat penerapannya dalam masyarakat. Karena usaha-usaha semacam sudah sering dilakukan, inovasi energi terbarukan tak henti ditemukan. Sayangnya terganjal regulasi dan pintu menuju Pertamina sebagai BUMN yang mendapat mandat menyediakan energi bagi bangsa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun