Perempuan berusia 40-an itu bernama Yati. Memakai baju biru dan kerudung senada, dia dan 7 orang teman seusia bergegas memasuki halaman Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Ekuitas (STIE) jalan Surapati Bandung. Nampak menyolok diantara mahasiswa/i yang lalu lalang di sekitar kampus. Terlebih jika mengetahui tujuan kedatangan mereka, “Hari ini saya mau kuliah”, kata Yati dengan wajah penuh senyum.
Ucapannya mungkin berlebihan, mengingat latar belakang mereka lulusan sekolah menengah pertama, namun ada benarnya. Secara periodik, STIE Ekuitas menyelenggarakan program layanan masyarakat. Salah satunya bersama koperasi bank sampah Motekar, tempat Yati bernaung, perguruan tinggi tersebut memberikan pelatihan membuat pembukuan dan laporan keuangan dengan benar. Selain itu juga ada sesi pengenalan internet , para anggota komunitas belajar membuat email, akun media sosial dan tata tertib penggunaannya, agar tidak mengalami kendala ketika berkecimpung dalam marketing digital.
Sesi-sesi pelatihan diikuti dengan penuh semangat, karena para dosen memahami bedanya pendekatan antara mahasiswa dan ibu rumah tangga. Suasana baru berubah dari hening menjadi riuh rendah tatkala waktunya praktek. Bak busur yang diarahkan ke mangsa, Yati mengangkat lengan kanannya setinggi 20 cm, sementara pandangannya menelusuri abjad abjad yang harus dipencet sesuai arahan dosen. Begitu huruf yang dicari berhasil ditemukan maka seolah menerkam buruan, telunjuk pun meluncur menuju tuts. Derai tertawa tak terelakan, tak henti-hentinya terdengar.
Setelah melalui pertimbangan yang masak, barulah komunitas membentuk bank sampah pada tahun 2013. Banyak perbedaan yang dilakukan bank sampah Motekar dengan bank sampah pada umumnya, diantaranya tidak memproses sampah anorganik yang disetor anggota. Karena hal itu sudah dilakukan para pengepul yang berdomisili di sekitar komunitas, sehingga dikhawatirkan akan terjadi persaingan tidak sehat. Bank sampah Motekar fokus mengelola uang hasil penjualan sampah anorganik dan menjadikan pengepul sebagai mitra yang saling menguntungkan.
Karena bank sampah Motekar dibangun oleh anggota, dari anggota dan untuk anggota, maka sangat dinamis dan fleksibel. Para anggota mengusulkan agar tabungan bank sampah sebaiknya disimpan pinjamkan sesuai kebutuhan yang bisa terjadi kapan saja. Contoh kasus ada anggota yang membutuhkan modal untuk berjualan kolak dan es buah di bulan Ramadan. Tentunya sang pemilik dana akan kehilangan momentum jika baru menerima uang di akhir tahun.
Maka 3 bulan setelah bank sampah mulai beroperasi, diputuskanlah pembentukan koperasi simpan pinjam untuk mengelola setiap rupiah yang masuk. Koperasi yang diberi nama koperasi bank sampah Motekar dengan segera diminati masyarakat setempat karena hanya dengan menyetorkan sampah anorganik, mereka bisa meminjam sejumlah dana. Tentunya sesuai syarat dan ketentuan yang berlaku.
Banyaknya anggota berimbas pada semakin beragamnya manfaat yang diterima anggota, seperti modal usaha, biaya kesehatan dan fasilitas pendidikan. Bahkan beberapa peserta baru bergabung karena ingin terlepas dari jerat rentenir. Para rentenir mendatangi perkampungan kumuh dengan agresif, mengiming-imingi seolah dia adalah Sinter Klaas dari langit yang membawa hadiah. Calon korban yang tidak berhati hati biasanya baru sadar ketika pinjaman tak kunjung lunas, sebesar apapun usaha yang dilakukan untuk mencicil. Banyak yang berakhir mengenaskan seperti perceraian pasutri bahkan ada yang menjual rumah tempat tinggalnya.
Disinilah koperasi bank sampah Motekar berperan, yaitu membayar lunas utang pada rentenir. Kemudian korban diminta menandatangani perjanjian untuk membayar dengan cara mencicil sebagai anggota koperasi bank sampah Motekar yang tentunya memiliki peraturan manusiawi, tidak mencekik leher seperti halnya rentenir, sang lintah darat.
Selalu memberikan laporan keuangan yang transparan dan akurat, adalah kunci keberhasilan unit usaha sekecil apapun. Banyak kasus UMKM gulung tikar akibat tidak membuat pembukuan yang berujung taksiran profit secara sembarangan dan perputaran uang yang tidak terukur dengan valid. Karena itulah saya menghubungi STIE Ekuitas, seperti kisah diawal paragraf, agar pengurus koperasi bank sampah Motekar mendapat pelatihan langsung dari para pakar.
Gayung bersambut, setiap perguruan tinggi rupanya mempunyai kewajiban untuk mendarma baktikan ilmunya pada masyarakat. Para dosen mempunyai cara yang mudah dipahami dalam menyusun pembukuan, seperti misalnya mengapa rincian pembelian ditulis di kiri, di bagian debit bukan di kredit. Mereka juga memeriksa pembukuan awal yang telah dibuat pengurus tanpa bermaksud menyalahkan, hanya untuk mengoreksi dan memberi kisi-kisi. Mereka bilang yang penting pembukuan telah dibuat dengan benar dan sesuai jumlah maupun penempatannya. Sehingga ketika harus membuat laporan akhir tahun, pekerjaan mengakumulasi setiap transaksi menjadi mudah. Pemilik dana yaitu para anggota koperasi bank sampah Motekar bisa membaca laporan tanpa mengernyitkan dahi.