Perekonomian dunia telah menuju arah yang benar ketika ekonomi hijau dicanangkan pada World Environment Day, 5 Juni 2012. Sumber daya alam yang selama ini digunakan tidak bisa lagi diandalkan untuk menopang industri. Harus ada terobosan berupa penemuan sumber daya baru atau penggunaan ulang  sumber daya yang telah digunakan dalam berbagai produk dan telah berubah menjadi sampah.
Akhir tahun 2016, salah seorang pakar zero waste theory , Paul Connett  datang ke Indonesia untuk memperkenalkan circular economy, suatu pendekatan pengelolaan sampah yang menilai sampah sebagai  sumber daya, bukan sekedar sisa aktivitas manusia . Pendekatan  yang tidak saja membantu memangkas biaya tinggi berupa biaya transportasi dan proses pembuangan sampah di TPA (tempat pembuangan sampah akhir), tetapi juga merupakan awal era ekonomi hijau.
 Menurut Paul, pengelolaan sampah bisa selesai hingga tahap kelurahan. Sangat menguntungkan karena di level ini terbentuk unit-unit usaha sesuai sampah yang dikumpulkan,  sampah organik atau anorganik.  Cara ini juga sesuai dengan ekonomi hijau yang dicanangkan UNEP, yaitu pembangunan keberlanjutan, meningkatnya kualitas hidup dan kesetaraan sosial.
Yang tidak diketahui Paul, circular economy telah diimplementasikan di  Indonesia sejak beberapa tahun silam. Warga Indonesia yang kreatif melihat peluang usaha dari sampah. Baik terkait reuse yaitu usaha reparasi berbagai produk seperti alat elektronik, tas, sepatu, payung dan masih banyak lainnya. Serta recycle (daur ulang) yaitu pembuatan bahan baku baru dengan memroses sampah  plastik, kertas,tembaga, besi, alumunium dan berbagai jenis sampah anorganik lain.
Bahkan Indonesia mengawali lompatan quantum dengan menggunakan teknologi digital , bukan langkah konservatif ala Paul yang mendatangi rumah ke rumah untuk membangun komunitas. Â Pada tahun 2011, sekelompok mahasiswa ITB dibawah naungan Forum Hijau Bandung (FHB) membuat green map yang memetakan titik usaha persampahan yang berorientasi profit maupun nir laba dengan bantuan Google Map. Kemudian pada tahun 2015, FHB yang telah bersalin rupa menjadi Bandung Juara Bebas Sampah (BJBS) menyempurnakan peta persampahan dengan bantuan teknologi digital, meninggalkan era penggunaan kertas, cara konvensional yang tidak efisien dalam pembuatan maupun penggunaannya.
Platform yang dimaksud adalah  bebassampahID, hasil besutan startup  Labtek Indie yang memetakan titik-titik secara dinamis. Setiap titik bisa saja berpindah lokasi, bertambah banyak atau menghilang. bebassampahID merangkum itu semua.  Termasuk kemungkinan terjadinya interaksi digital bagi keperluan penelitian dan titian awal pembangunan berkelanjutan sesuai kriteria ekonomi hijau.
Titik  yang menyolok kehadirannya karena jumlahnya mendominasi peta persampahan bebassampahID adalah pengepul. Merupakan unit usaha yang menerima setoran sampah anorganik, memilahnya kemudian mengirimkan ke pabrik untuk diproses sesuai jenisnya. Pengepul umumnya memiliki armada yang dikenal sebagai tukang rongsok. Dengan berbekal gerobak dorong mereka mengelilingi pemukiman untuk membeli sampah anorganik. Hal ini menjadi pembeda dengan circular economy yang digagas Paul Connett. Tidak seluruh sampah terkumpul, masih ada yang berceceran dan berakhir di saluran air atau di TPA.
Disini peran pemerintah daerah menjadi sangat penting. Terlebih setiap kota berlomba-lomba menjadi smart city. Ditopang semakin meluasnya akses yang mumpuni seiring diluncurkannya Satelit Telkom 3 S sebagai upaya pemerataan akses telekomunikasi yang menjangkau seluruh nusantara, maka suatu keniscayaan Indonesia memasuki industri digital yang sesungguhnya.
Para pelaku industry digital cukup berbekal ponsel pintar untuk melakukan lompatan quantum menuju dunia yang semakin mudah, cepat, efisien, kompetitif dan berpotensi membawa Indonesia dalam jajaran negara super power.
Dunia persampahan akan mengucapkan selamat tinggal diucapkan pada  rombongan truk pembawa sampah yang berbau menyengat, terlebih perdebatan tipping fee dan unjuk rasa warga yang menolak daerahnya digunakan untuk menimbun sampah. Semua aktivitas konvensional yang cenderung primitif hanya tinggal kenangan.
Yang muncul adalah titik-titik dinamis usaha pengelolaan sampah. Titik reduce akan dipenuhi hasil industry kreatif, termasuk munculnya produk-produk  yang semula impor yang diproduksi karena melihat peluang pasar.
Titik reuse akan semakin berkembang. Pasukan kurir tidak hanya menawarkan jasa membeli makanan tapi juga reparasi. Titik usaha reparasi akan bekerja dengan lebih professional karena didukung perusahaan terkait dan dilindungi regulasi. Sehingga tidak ada kasus Kusrin yang menyerempet bahaya e-waste dengan produk televisi merk Maxtreen-nya karena dengan bantuan satelit akan terlihat kawasan berbahaya yang dipenuhi limbah elekronik dan limbah B3.
 Titik recycle akan menjamur dengan harga kompetitif. Semakin menipisnya hasil pertambangan akan membuat harga membumbung tinggi, mengakibatkan pelaku industry melirik bahan baku hasil daurulang dan menetapkan berbagai kriteria yang berusaha dipenuhi produsen recycle. Bahkan jika bebassampahIDbaru memetakan titik-titik pengelolaan sampah, dengan bantuan satelit akan nampak lokasi bahan baku yang dibutuhkan secara spesifik. Lokasi biji plastik dengan beragam jenisnya, bahan baku besi hasil daur ulang, bahan baku tembaga daurulang dan sebagainya.
Imbasnya tentu saja tidak hanya di hilir tapi sejak hulu. Akibat tuntutan pasar, terjadi banyak perubahan:
Desain produk.Jika sekarang perusahaan hanya memproduksi produk sekali pakai tanpa memperhitungkan kelanjutannya, maka berkat industry digital akan muncul data produk yang memenuhi syarat untuk diolah kembali. Produk yang tidak masuk radar karena tidak berhasil memenuhi persyaratan akan ditinggalkan.
Inovasi baru bermunculan. Contoh kasus adalah daur ulang kemasan antiseptik yang diproduksi PT Tetrapak. Perusahaan asal Swedia ini mematuhi regulasi dengan membiayai penelitian agar sampah kemasannya bisa dikumpulkan dan didaur-ulang menjadi berbagai produk baru seperti buku, ember hingga bahan bangunan yang terbuat dari campuran alumunium, kertas dan plastik seperti berikut:
Atas kasus ini,  Indonesia harus menepuk pundak  PT Tetrapak  agar kembali memenuhi kewajiban, juga perusahaan –perusahaan lain yang selama ini abai terhadap sampahnya. Sehingga Indonesia tidak menjadi sekedar sasaran produk  konsumtif tapi juga negara pemroduksi bahan baku untuk ekspor.
Bonus demografi yang dimiliki Indonesia sangat memungkinkan membawa Indonesia masuk dalam deretan negara super power. Jumlah sampah yang berasal dari 258 juta jiwa (data BPS 2016) alih-alih menjadi beban, bisa diproses menjadi sumber daya. Hasil olah sampah organik bisa menyuburkan kembali lahan-lahan pertanian agar ekonomi petani membaik. Sedangkan hasil olah sampah anorganik akan menjadi pasokan bahan baku dalam negeri dan luar negeri dengan harga kompetitif. Â Era ekonomi hijau yang sesungguhnya.
Tiga hal dibutuhkan untuk menjadi negara super power, yaitu jumlah penduduk, kemajuan teknologi dan ekonomi.  Terobosan teknologi  yang didukung kekuatan satelit digunakan semaksimal mungkin oleh industry kreatif. Tinggal menunggu hasil meningkatnya perekonomian yang tanpa ragu pasti akan terjadi.
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H