Pukul 07.30 di Pasar Andir Kota Bandung. Seorang perempuan, berkerudung hijau penuh manik-manik nampak asyik mematut pakaian dalam sambil bertanya dan menawar dengan logat Sumatera. Pemilik barang, seorang perempuan bertubuh subur, menjawab setiap pertanyaan seraya mengeluarkan puluhan pakaian dalam lainnya. Ada banyak corak, warna dan ukuran. Mereka tak peduli bau amis menguar dari kios ikan. Penjualnya hampir tak nampak, tenggelam dalam tumpukan ikan mas yang sedang dibersihkan dari sisik dan jeroannya.
Tidak hanya bau amis, pengunjung pasar akan disuguhi bau got mampet yang tertimpa anyirnya aroma daging sapi. Tak heran, setidaknya ada 3 kios penjual daging. Kios pertama diapit kios sayur mayur dan penjual kue basah yang menjual donat, aneka kudapan berbahan singkong, risoles serta beras ketan yang dimasak dalam beragam bentuk dan rasa.
Kios daging kedua bersebelahan dengan penjual ikan pindang. Pemilik kios daging, laki-laki paruh baya berkutat dengan pisau tajamnya memotong-motong tulang iga untuk memenuhi permintaan pembeli, seorang perempuan berambut mirip spiral berkulit gelap khas penduduk Indonesia Timur. Sedangkan tukang pindang asyik bersenandung seraya mengiris-iris pindang tongkol hingga nampak daging putih yang mengundang selera. Tak jauh dari situ, di sebuah toko sembako, seorang perempuan beretnis Tionghoa dengan uban yang menghiasi kulit putihnya tengah menghitung uang dari pembeli.
Setiap waktu selalu ada kisah dan adegan yang berbeda di pasar rakyat, tapi ucapan pemilik kios tempat saya berbelanja selalu sama:
“Sing laris diicalna ……………(semoga laris penjualannya)”
Doa itu diucapkannya pada semua pembeli, tak peduli jenis kelamin , usia dan etnis, asalkan berbelanja untuk keperluan usaha, Nur dan ibunya selalu menutup transaksi dengan kalimat yang sama. Terkadang ada tambahan:
“Sing laris diicalna, mugi aya langkungna”……( Semoga laris penjualannya, semoga ada lebihnya)
Setiap orang senang mendapat doa. Namun mendengarnya di tempat yang penuh hiruk pikuk sungguh terasa “nyes” di hati. Ketika saya menanyakan alasan mereka mendoakan pembeli, jawabannya sungguh diluar dugaan.
“Kan memang kebiasaan urang Sunda, seperti mempersilakan makan dengan: sing raos dituangna (semoga enak makannya)”
Oh ternyata tidak berhubungan dengan keagamaan secara khusus, tapi lebih pada faktor budaya yang mengeksplorasi semua kegiatan dengan ucapan-ucapan positif agar hubungan silaturahmi selalu terjaga.
Pasar sebagai pusat kegiatan perekonomian tertua bukan hanya titik temu transaksi jual beli barang dan jasa tapi juga tempat terjadi akulturasi budaya, penyebaran agama, kuliner serta ilmu pengetahuan. Sayangnya telah terjadi penafsiran. Pasar hanya dianggap sebagai tempat pion-pion bernama pembeli dan penjual melakukan transaksi jual beli produk.
Tak heran pasar rakyat kerap digunakan untuk kontestasi politik , revitalisasi pasar hanya sekedar membangun gedung. Melupakan bahwa para penjual di pasar tradisional adalah individu mandiri, pelaku UMKM yang menopang pondasi perekonomian tatkala negara limbung terkena topan krisis moneter. Mereka juga adalah duta-duta budaya yang mengenalkan dan mengokohkan adat istiadat, kuliner serta bahasa daerah setempat.
Karena itu sudah seharusnya pemerintah menetapkan hari peringatan pasar rakyat. Agar para pelaku diakui eksistensinya untuk tumbuh dan berkembang. Alasan lainnya adalah:
- Pasar rakyat tempat dilambungkannya doa pengharapan untuk kehidupan yang lebih baik.
Tidak ada pengangguran di pasar rakyat. Setiap detik digunakan untuk ativitas ekonomi. Berbelanja dan menata belanjaannya sambil melayani pembeli. Semua sibuk berpengharapan agar barang dagangannya laris manis. Bahkan tatkala harga cabai rawit melambung tinggi hingga melebihi harga daging sapi, mereka tetap optimis. Dan terbukti. Cabai rawit laris manis habis terjual. Tak ada komoditas yang tak laku di pasar rakyat.
Tanyakan pada para penjual, apa latar pendidikan mereka? Mungkin jawabannya SD atau tidak lulus SD. Tapi anak-anak mereka? Minimal sedang menempuh pendidikan di SMA. Kebanyakan kuliah, mengambil S1 atau D3. Dari sini pula, dari petak-petak sederhana, para penjual mengumpulkan rupiah untuk menunaikan ibadah haji dan umroh.
- Tempat bersemainya semangat
Jika pasar ritel modern mensyaratkan tubuh sehat dan rentang usia tertentu, tidak demikian halnya di pasar rakyat. Dengan mudah akan ditemui penjual berusia 70 tahun hingga 90 tahun. Aktivitas di pasar rakyat menjadi stimulasi bagi keburgaran mereka.
Pasar rakyat merupakan kawah candradimuka bagi mereka yang malas. Yang tersisa adalah pelaku-pelaku ekonomi yang cerdas dan praktis. Mereka adalah pemilik perusahaan yang tidak memusingkan strategi pemasaran. Tidak perlu menetapkan hari-hari diskon daisabu (daging – ikan – sayuran – buah-buahan) karena harga komoditas di pasar rakyat sudah sangat murah.
Juga tak perlu melakukan trik menaikkan omzet penjualan dengan purchase with purchase , mereka cukup menambahkan marginagar memperoleh keuntungan. Selisihnya terkadang mengherankan, hanya 200 – 300 rupiah, tidak dibulatkan ke angka Rp 500 mengingat kini sulit sekali memperoleh uang receh sebesar itu.
“Segitupun sudah untung bu, sudah cukup”
“Cukup” menjadi kata ajaib pemompa semangat karena terbukti tidak ada pelaku usaha yang bangkrut di pasar rakyat.
Yayasan Danamon Peduli sebagai penginisiasi Hari Pasar Rakyat Nasional bukanlah lembaga yang baru mengenal pasar rakyat. Pada tahun 2011 program Pasar Sejahtera mendapat penghargaan Asia Responsible Enterpreneurship untuk kategori Green Leadership setelah sebelumnya menyabet juara ke-2 tingkat dunia BBC World Challenge 2009 dan MDGS Award 2009 kategori pengentasan kemiskinan.
Sanitasi disediakan lengkap dan terjaga. Kawasan kuliner tampak apik dan lantainya nampak resik. Yang tak kalah penting adalah adanya rumah kompos karena sekitar 70 % sampah pasar rakyat merupakan sampah organik.
Bangunan yang bersih mendorong pelakunya untuk menjaga kebersihan. Pemilik kios merawat kebersihan dengan menyapu dan mrngepel areanya. Bangunan pasar rakyat yang telah tertata rapi juga memudahkan Dinas Kesehatan setempat melakukan pengawasan. Contohnya pasar Cihapit Kota Bandung yang telah direvitalisasi bersama MBA – ITB, beberapa waktu lalu Dinas Kesehatan Kota Bandung menemukan kandungan boraks pada produk yang dijual sehingga harus disingkirkan.
Tak kalah penting atas penyelenggaraan Hari Pasar Rakyat adalah keberpihakan pemerintah pada pelaku di pasar rakyat. Selama ini penjual di pasar rakyat umumnya bankable. Perputaran uang terjadi sangat cepat, setiap rupiah dikumpulkan untuk berbelanja lagi. Dibutuhkan dukungan pemerintah untuk mengucurkan KUR (kredit usaha rakyat) agar terjadi peningkatan omzet dan mengatasi rayuan rentenir.Cobalah datang di siang hari maka akan nampak kegiatan lintah darat yang meresahkan tersebut.
Begitu kumuh, becek dan bau busuk yang menguar dari pasar rakyat tak menyurutkan pengunjung. Terbukti pasar rakyat tak pernah sepi pembeli. Semua komoditas laris terjual karena pembeli paham di pasar rakyat akan ditemukan harga termurah. Bisa dibayangkan jika pemerintah meresmikan Hari Pasar Rakyat Nasional maka investor akan melirik dan ikut membangun pasar rakyat.
Distributor bisa menjual produknya langsung ke pasar rakyat seperti selama ini dilakukan pada ritel modern. Sehingga penjual bisa menjual produk semurah ritel modern. Pembeli berbondong-bondong ke pasar rakyat dan perkembangan UMKM beranjak naik secara signifikan menuju kesejahteraan warga masyarakat yang lebih merata.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI