Sesosok tubuh tinggi agak gemuk membuatku heran. Berbaju merah pudar, sosok tersebut sedang membantu mang Endang, tukang sayur kompleks perumahan, menata sayuran di keranjang plastik. Bukankah dia Mang Dadeng yang pernah pamitan akan membuka kios daging di pasar? Kok sekarang malah turun pangkat?
“Ada jurig di pasar, Neng. Setiap hari uang saya hilang seratus ribu, pernah lima ratus ribu. Lama-lama jadi tekor,” jawab Mang Dadeng dengan lesu.
Jurig (setan)? Bagaimana mungkin ada setan bergentayangan di pasar tradisional pada siang hari bolong? Alih-alih tertawa, wajah serius penuh kesedihan Mang Dadeng membuat saya berpikir keras, mencari tahu penyebabnya. Kemungkinan terbesar adalah Mang Dadeng sering salah menghitung transaksi sehingga mengembalikan uang terlalu banyak pada pembeli.
Sangat sering saya temui penjual salah menghitung uang kembalian. Suatu kali pernah terjadi seorang penjual memberi saya uang Rp 48.000, padahal seharusnya hanya Rp 2.000. Ketika diingatkan, dia berulangkali mengucap istighfar, wajahnya tampak pias kebingungan. Waktu kerja seorang pemilik kios di pasar nyaris 12 jam per hari. Stamina kurang prima mengakibatkan kerap melakukan kesalahan. Tugas yang diembannya sangat banyak, mulai dari membeli stok barang, menatanya, menghitung harga eceran yang kompetitif dan tentunya bertransaksi dengan pembeli. Pembeli yang mengantre memaksa penjual menghitung jumlah dengan cepat, menerima uang pembayaran dan mengembalikan sisanya, bisa dimaklumi jika terjadi kesalahan.
Transaksi non tunai menjadi salah satu solusi bagi pedagang di pasar tradisional. Jeda waktu memasukkan kartu dan mengetik jumlah transaksi memungkinkan dia menyadari jika ada kesalahan hitung. Awalnya terbata-bata, tapi seiring waktu dia akan terbiasa menggunakan mesin electronic data capture (EDC). Karena transaksi non tunai membawa banyak manfaat bagi kedua belah pihak, penjual dan pembeli.
Keduanya tidak harus bergumul dengan uang lusuh, penuh selotip dan recehan yang terjadi akibat kompetitifnya harga yang terjadi antar pemilik kios. Sering terjadi pembeli berpindah kios hanya karena perbedaan harga Rp 100. Transaksi non tunai juga memperkecil kemungkinan beredarnya uang palsu.
Dalam menyosialisasikan Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) di pasar tradisional, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Cabang Purwokerto menggandeng BRI memperkenalkan program smart traditional marketdi Pasar Manis Purwokerto. Bank Rakyat Indonesia (BRI) membagikan mesin EDC pada para penjual di pasar. Tanpa mengenal limit pembayaran, penjual dan pembeli akan terdorong untuk mengelola uang secara benar.
Contoh kasus langganan saya, seorang penjual di pasar Andir mengaku memiliki omzet Rp 2 – 5 juta per hari. Kios berukuran 2 x 3 meter-nya sesak dipenuhi sembako dan aneka kebutuhan pedagang makanan. Sang pemilik, Nia tidak sempat menyetor uangnya ke bank, karena uang hanya bertahan 1 – 3 hari untuk kemudian digunakan membeli stok di kiosnya. Ribuan pemilik kios di Pasar Andir melakukan hal yang sama, jika dihitung dengan saksama akan diperoleh angka puluhan milyar rupiah perhari yang berputar di pasar Andir tanpa pernah singgah di bank.
Pelanggan kios ibu Nia, para pedagang jajanan, juga melakukan hal yang sama. Omzet mereka sekitar Rp 100.000 - Rp 500.000 per hari tersimpan di dompet atau hanya tersimpan dibalik bantal, sangat riskan dan mengundang incaran pelaku kriminal.
Gerakan Nasional Non Tunai mendorong perubahan perilaku dengan tujuan memberi manfaat bagi para pelaku ekonomi mikro ini.
Menabung
Menurut Kartika Wirjoatmojo, pejabat Eksekutif & Finance PT Bank Mandiri Tbk, total pemilik rekening tabungan di Indonesia hanya 60 juta orang dari total populasi penduduk Indonesia yang berkisar 250 juta jiwa. Yang berarti 190 juta orang tidak memiliki tabungan dengan beragam alasan, prosedur dianggap menyulitkan, menghabiskan biaya dan tidak familier.