Mohon tunggu...
Maria G Soemitro
Maria G Soemitro Mohon Tunggu... Freelancer - Volunteer Zero Waste Cities

Kompasianer of The Year 2012; Founder #KaisaIndonesia; Member #DPKLTS ; #BJBS (Bandung Juara Bebas Sampah) http://www.maria-g-soemitro.com/

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Indonesia Tanpa Tepung Terigu

25 Mei 2016   14:41 Diperbarui: 25 Mei 2016   19:09 1148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selama berhari-hari kue saya menjadi bulan-bulanan. Didesak harganya untuk turun ke angka Rp 1.000, hingga akhirnya saya menyerah pada harga Rp 1.100. Masuk di akal karena Erlanda harus menjual kue pada penjual kue lainnya dengan harga Rp 1.200. Agar harga pokok penjualan bisa memenuhi, saya pun keluar-masuk Pasar Ciroyom, pasar tradisional yang terkenal murah di Bandung dan menjadi tumpuan penjual sayuran yang umumnya berkeliling di kompleks Kota Bandung.

Tidak hanya harga jual, sistem penjualan secara konsinyasi pun kerap membuat pemasok patah semangat. Sering ingin menangis rasanya melihat kue kembali dalam jumlah banyak. Satu-satunya harapan adalah pesanan dalam jumlah banyak karena berarti uang tunai langsung masuk dompet. Walau demikian, sewaktu saya mendapat pesanan sejumlah 900 iris, terpaksa saya tolak. Waktu 2 hari tidak cukup untuk persiapan membeli bahan baku, peralatan memasak tidak memadai dan yang terpenting adalah sumber daya manusia. Produksi 900 iris berarti 28, 5 jam nonstop untuk membuat kue belum termasuk membungkus dan mengemas dalam kardus. Aduh.

Dengan begitu banyak rintangan, mungkin timbul pertanyaan, untuk apa semua itu? Jawabannya adalah data. Bagaimana mau membangun bisnis tanpa data? Blusukan dan langsung bergaul dengan tukang kue merupakan cara termudah dan termurah.

Selain data, yang terpenting lainnya adalah jam terbang. Akibat jam terbang belum mumpuni, saya sering salah memperkirakan waktu dan beberapa kali harus mengecewakan pembeli. Rasa dan penampilan kue pun harus selalu dieksplorasi. Tak terbayang, beberapa bulan lalu betapa nekatnya saya karena berani menjual kue berpenampilan sederhana. Sekarang, akibat gemblengan pemilik Erlanda, kue saya berubah drastis, tidak memalukan dan pantas dilirik.

Erlanda Bakery ternyata dimiliki satu keluarga besar dan mereka semua dengan sukarela memberikan kursus tidak resmi mulai mengggunakan plastik pembungkus hingga cara meletakkan bolu gulung agar nampak bundar cantik. Nah, walau penghasilan saya hanya Rp 10 -20.000/hari, tapi ternyata saya berhasil memperoleh begitu banyak ilmu.

img1464091863294-5745570c2023bdc406548e61.jpg
img1464091863294-5745570c2023bdc406548e61.jpg
Pagi ini, seperti setiap usai sholat subuh lainnya, saya menyusuri sepanjang Jalan Elang menuju Erlanda, saya bertanya dalam hati, apa rencana selanjutnya?

Untuk rencana jangka pendek, harus segera memiliki partner kerja. Bukan berarti selama ini saya tidak berusaha, selalu dan selalu.... Tapi ada saja hambatannya. Contohnya partner kerja yang terakhir, senang melempar ide tapi enggan mengeksekusi. Lha?

Rencana jangka menengah ingin membuat buku tentang beragam tepung lokal, kandungannya serta makanan apa saja yang bisa dihasilkan. Sebetulnya keinginan membuat buku aneka pangan lokal pernah saya cetuskan ketika sering ngobrol dengan beberapa Kompasianer perempuan, sayang belum sempat terealisasi.

Dan bagaimana akhir impian? Sepetak tanah untuk ditanami beragam tanaman penghasil zat pati yang tumbuh di Indonesia. Jangan terlalu luas, agar saya tidak cape sewaktu berkeliling.

Di antara tetumbuhan dibangun beberapa saung, untuk mereka yang ingin menyeruput wedang teh Rosella sambil menyicipi legitnya brownies ganyong. Atau meneguk kunyit asam sambil menikmati renyahnya kecipir rasi. Atau sekedar mencicipi aneka cemilan seperti bitterballen talas, kroket sukun, bolu kukus ubi, pizza singkong ……sambil selfie mungkin?

Karena perubahan merupakan keniscayaan. Ketika saat itu tiba, berada di manakah engkau? Di dalam tempurung kelapa? Atau di luarnya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun