Agar tidak semakin kecewa, saya mundur pelan-pelan, terlebih komunitas Kendal Gede sudah dapat menghasilkan rupiah dari pesanan kue, tentu saja berbahan tepung terigu. Harapan kandas.
Awal November 2015, saya mengajak seorang saudara sepupu yang kebetulan penyandang disabilitas untuk membantu saya mendampingi komunitas. Penyebabnya saya sedih melihat dia menarik diri dalam dunianya sendiri. Sedangkan ada banyak teman disabilitas yang berhasil saya ajak untuk melihat dunia luar yang beraneka rona, tidak selalu indah tapi minimal mereka bisa menyiapkan diri apabila sesuatu yang buruk terjadi.
Pucuk dicinta ulam tiba, sang saudara sepupu tersebut ternyata sangat menyenangi dunia kuliner. Ah mari kita eksekusi pangan lokal. Dia sangat terampil, kelihaian tangannya menghasilkan kroket sukun, roti ubi, beragam cupcake tanpa tepung terigu. Tak heran, usai mengunggah beberapa foto makanan, Greeneration Indonesia memesannya untuk memperingati 5 tahun Gerakan Indonesia Tanpa Kantong Plastik.
Atau mungkin juga dia gelisah karena tak kunjung mendapat keuntungan. Harga bahan baku 2 kali lipat tepung terigu. Itu pun jarang ada. Tepung mokaf hanya dapat dibeli di supermarket Setiabudi, sedangkan tepung ganyong saya peroleh dari penjual egg roll tepung ganyong. Harganya? Sekitar Rp 13.500 – Rp 20.000, bandingkan dengan tepung terigu yang hanya berkisar Rp 7.500. Harga tepung lainnya lebih fantastis, tepung kentang Rp 110.000, tepung ketan hitam Rp 46.000. Agar pengeluaran tidak terlalu besar, setelah dicicipi beberapa buah, hasil eksperimen kami jual ke warung. Hasilnya ternyata lumayan, kami berhasil mengantongi Rp 300 ribuan selama kurang lebih dua bulan.
Tentu saja warung tidak bisa diandalkan, harus mulai menitipkan kue ke toko makanan. Bolu gulung ketan hitam merupakan kue pertama yang dipilih untuk dijual. Pertimbangannya karena tepung ketan hitam relatif banyak dijual di pasar dan lidah konsumen sudah terbiasa mengonsumsi ketan hitam.
Ada 2 toko yang mudah digapai dari rumah. Toko pertama, Erlanda Bakery terletak 200 meter dari rumah. Sedangkan toko satunya lagi kurang lebih 1 km berada di jalan besar dan dilalui lalu lintas angkutan kota. Dengan pertimbangan Erlanda lebih dekat, saya hanya menitipkan menitipkan sampel kue sedangkan ke toko satunya lagi saya langsung menitipkan 32 buah iris kue untuk dijual.
Alangkah kecewanya, ketika keesokan harinya saya mendatangi toko tersebut, tidak satu pun kue terjual. Saya memang ceroboh, toko tersebut menjual kue ukuran besar seperti roti goreng, pastry ukuran besar, bukan cemilan kecil 2 kali suap. Dengan kata lain, toko ini memiliki pangsa pasar yang berbeda dengan kue-kue saya. Untunglah 2 hari kemudian sewaktu saya menelepon Erlanda mereka menerima bolu gulung saya dengan harga Rp 1.250/iris.
Daaaannnnn ……… selamat datang saya ucapkan pada diri sendiri karena memasuki bisnis kuliner yang sesungguhnya. Yang terkesan kejam dan raja tega. Dibutuhkan komitmen dan konsistensi di sini. Mereka yang manja dan menye-menye silakan minggir. Erlanda bakery ternyata tidak sekedar toko kue. Dia menetapkan pangsa pasar dengan harga Rp 1.500 per buah, untuk memasok berbagai instansi pemerintah, lembaga pendidikan, dan penyelenggara kegiatan akbar lainnya. Walhasil setiap harinya puluhan ribu kue berputar di toko yang nampak kecil dan sederhana.
Para pemasok kue, walau hanya dihargai Rp 1.000. pemasok kue harus mengikuti standar peraturan: murah dan enak. Tak satu pun yang berkeberatan, Risoles misalnya, ada 4 pemasok dan masing-masing memproduksi ratusan hingga ribuan risoles kue per hari. Belum lagi onde-onde, lemper aneka rasa/bentuk, lontong aneka rasa/bentuk, pudding aneka rasa/bentuk, nagasari, wajik, bolu karakter, bubur lolos, cucur, centeh, bugis, lapis, kroket, pastel. Ah, tolong sebutkan jenis cemilan yang disukai karena di sini semua ada. Erlanda Bakery sendiri memproduksi donat, sus, roti unyil, roti pizza, roti aneka bentuk, cake aneka rasa dan bolu gulung. Sehingga kue saya hanyalah setitik debu dalam lintasan perniagaan mereka.