Mohon tunggu...
Maria G Soemitro
Maria G Soemitro Mohon Tunggu... Freelancer - Volunteer Zero Waste Cities

Kompasianer of The Year 2012; Founder #KaisaIndonesia; Member #DPKLTS ; #BJBS (Bandung Juara Bebas Sampah) http://www.maria-g-soemitro.com/

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Indonesia Tanpa Tepung Terigu

25 Mei 2016   14:41 Diperbarui: 25 Mei 2016   19:09 1148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apa yang terjadi jika Indonesia tidak dapat lagi mengimpor gandum, bahan baku tepung terigu? Misalnya disebabkan embargo atau negara-negara pengimpor gagal panen akibat perubahan iklim. Maka akan terjadi gonjang-ganjing karena iklim Indonesia tidak mendukung pembudidayaan gandum. Sehingga bukan sekadar konsumen yang kelabakan, tapi fondasi perekonomian Indonesia akan goyah dan tidak tertutup kemungkinan untuk runtuh dan mengalami krisis ekonomi seperti tahun 1998. Ribuan perusahaan besar, kecil, dan menengah, mulai penjual gorengan pinggir jalan hingga perusahaan penghasil milayaran mi instan akan gulung tikar. Jutaan penduduk Indonesia tiba-tiba menganggur.

Tidak demikian halnya dengan beras. Apabila tidak dapat mengimpor, presiden dapat menyatakan negara dalam keadaan darurat. Kemudian memerintahkan agar semua lahan terlantar diubah menjadi sawah. Anak-anak muda dan pengangguran diperintahkan untuk wajib kerja mengolah lahan-lahan tersebut. Tiga - empat bulan kemudian, niscaya terlepaslah Indonesia dari darurat pangan.

Itu kasus ekstremnya, yang pasti akan terjadi jika Indonesia berleha-leha enggan mencari bahan pengganti terigu dan memproduksi secara massal. Tanpa kemungkinan masa depan kelabu pun sebetulnya bahan non terigu sangat dibutuhkan warga masyarakat. Mereka alergi gluten, salah satu jenis protein yang terkandung dalam terigu. Menurut penelitian satu dari 133 orang Amerika mengalami celiac disease, penderitanya tidak dapat mengonsumsi segala bentuk makanan yang mengandung gluten. Bagaimana dengan Indonesia? Belum pernah dilakukan bukan berarti tidak ada, kan?

Itulah awal mula impian terbesar saya, ingin memiliki bisnis pangan lokal, suatu kewirausahaan sosial seputar pangan non tepung terigu. Kegiatannya meliputi serangkaian eksperimen pembuatan pangan non tepung terigu kemudian menjual hasilnya. Termasuk di dalamnya mengumpulkan data beragam pangan kaya zat pati, meliputi kandungan dan khasiatnya. Diharapkan hasilnya kelak bisa menginspirasi banyak pihak untuk tidak terlalu tergantung pada tepung terigu.

Ketergantungan Indonesia akan gandum sangat kontras dengan bahan makanan penghasil karbohidrat yang berserakan dari ujung timur hingga barat kepulauan Indonesia. Sebut saja sagu, singkong, jagung, ubi rambat, kentang, talas, ganyong, garut. Itu semua belum termasuk variannya karena ubi rambat mempunyai banyak ragam. Kita mengenal ubi cilembu, ubi ungu, juga ubi jalawure yang (mungkin) hanya diketahui Badan Ketahanan Pangan, sub divisi Dinas Pertanian.

Sekitar tahun 2011, saya mengenal berbagai tepung non terigu di kantor DPKLTS (Dewan Pemerhati Kehutanan Tatar Sunda), suatu lembaga binaan Solihin GP, mantan gubernur Jawa Barat yang di usianya ke-91 kini masih aktif memberikan kontribusi sebagai pengayom petani Jawa Barat. Atas saran Mang Ihin, panggilan Solihin GP, mereka memproduksi tepung ganyong karena bahan bakunya tersedia di sekitar rumah dan ladang. Umbi ganyong biasa dikonsumsi di masa paceklik, dibuat bubur pengganti beras.

Ada 2 karung tepung ganyong teronggok di kantor. Sementara para petani membuat business plan tepung non terigu, tepung-tepung tersebut sepi pembeli. Calon pembeli umumnya bingung, mau dimasak apa? Bagaimana caranya? Nah kan, penelitian pengganti tepung terigu sudah dilakukan. Produksi juga sudah. Selanjutnya apa? Lembaga semacam DPKLTS tentu terbata-bata jika ditanya mengenai pemasaran.

Kebetulan waktu itu saya sudah mendampingi 2 komunitas di Kota Bandung, komunitas Kendal Gede dan Engkang-engkang. Komunitas pengelola sampah ini berusaha menutupi biaya operasional dengan menjual kerajinan olah sampah kemasan serta hasil urban farming. Sayang, harapan tak sesuai kenyataan. Jangankan menjual hasil urban farming, belum panen pun tanaman kerap rusak atau dicuri. Sedangkan hasil kerajinan hanya laris terjual jika pameran tiba.

Sedangkan camilan pasti disukai, komunitas bisa memproduksi dan menjualnya setiap hari. Pengelolaan yang diterapkan adalah kewirausahaan sosial berbasis komunitas, seperti yang dilakukan masyarakat adat Cireundeu. Jika berhasil, saya akan menitipkan modal dan mendapat persentase sesuai kesepakatan.

Hasil eksperimen berhasil sukses, kami mengopi resep dari blog-blog yang dimiliki blogger ternama. Mengganti posisi tepung terigu dengan tepung mokaf dan atau tepung ganyong, maka berbagai cemilan dihasilkan seperti pizza singkong, cupcake ganyong, nastar ganyong, brownies ganyong. Untuk sementara, cemilan berbahan tepung ganyong mendominasi karena stoknya banyak. Tak lupa kami membuat tumpeng singkong yang “sempat” disuguhkan pada pesta pinggiran sungai tahun 2012.

Mengapa ‘sempat’, karena harapan tak sesuai kenyataan. Cemilan yang berhasil dieksekusi dengan gemilang ternyata ‘memble’ ketika dijual di pameran atau sewaktu saya promosikan ke teman-teman pengajian. Cup cake wortel yang harusnya enak ternyata pahit, pizza cantik menggoda ketika eksperimen menjadi berwajah buruk rupa. Ketika saya menegur anggota komunitas, mereka saling tuduh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun