[caption caption="bank sampah Motekar , dok. Maria G. Soemitro"][/caption]Kemarin, tepatnya tanggal 20 Januari 2016, saya berkesempatan mengikuti rapat pertanggung jawaban Bank Sampah Motekar. Suatu sub divisi yang dibentuk Kendal Gede Kreatif dan berdomisili di kelurahan Sukagalih kecamatan Sukajadi Kota Bandung.
Ini rapat tahunan kedua, dan berapa rupiah yang berputar dalam setahun? Wow 51 juta rupiah!! Sangat lumayan bukan? Karena perputaran uang menandai meningkatnya perekonomian anggota. Anggota bank sampah tidak harus meminjam pada rentenir ketika membutuhkan dana untuk anggota keluarga yang sakit, biaya pendidikan, tambahan modal dagang hingga kemudahan membeli sembako. Iya, di sini anggota bisa membeli sembako dengan cara ‘bayar bulan depan’, salah satu manfaat dana bergulir yang tidak saya bayangkan sebelumnya.
Kisahnya berawal ketika pada tahun 2011, saya mengajak ibu-ibu yang berdomisili di dekat lahan Bandung Berkebun, untuk membentuk komunitas. Tujuannya untuk mengaplikasikan apa yang saya ketahui mengenai pengelolaan sampah berbasis komunitas. Sekaligus ‘bertaruh’ dengan keyakinan diri bahwa jika sampah diproses dengan benar pasti akan meningkatkan perekonomian anggotanya.
Sayang, keyakinan awal saya terlalu tinggi. Proses mengolah sampah organik rupanya kurang diminati anggota yang terlanjur berbudaya instan dan berparadigma: “sampah itu kotor”. Penjualan kerajinan berbahan baku kemasan bungkus kopi, sama sekali tidak menguntungkan. Besar pasak daripada tiang. Sementara kebutuhan uang kas terus mendesak, agar operasional berjalan lancar dan berkelanjutan. Hingga akhirnya di tahun 2013, kamipun mencoba membentuk bank sampah yang disesuaikan dengan situsi dan kondisi.
Mengapa bank sampah? Pertimbangannya, setiap keluarga pasti memproduksi sampah anorganik (plastik, kertas, kaleng), daripada dijual ke tukang rongsok atau bahkan dibuang, lebih baik dikumpukan di bank sampah. Mirip jumputan beras yang dulu dilakukan di pedesaan untuk menghimpun dana. Bedanya yang dikumpulkan di perkotaan adalah sampah bukan beras. ^_^
Secara rinci tentang pembentukan bank sampah silakan klik di sini
Yang membuat saya kagum kemudian adalah betapa kreatifnya mereka. Saya hanya memberi kisi-kisi secara garis besar dan menekankan pentingnya pembukuan. Serupiahpun tidak boleh lengah. Dan hasilnya? Di tahun 2014, bank sampah Motekar membukukan perputaran uang sebesar Rp 35 juta kemudian tahun 2015, Rp 51 juta. Jumlah yang awalnya tidak saya percayai, tapi catatan mereka yang rapi menunjukkan bukti data yang akurat.
Karenanya tak berlebihan jika di bawah ini saya memberanikan diri menulis kiat sukses mengelola bank sampah. Mirip rahasia sukses para trainer yang acap mengimingi sukses dengan uang investasi jutaan rupiah itu lho. Bedanya ini sih gratis. ^_^
Fokus pada tujuan.
Apa sih tujuan membentuk bank sampah? Namanya bank ya harusnya merekrut anggota dengan berbagai macam cara bukan? Karena dari nasabahlah, uang berhasil dikumpulkan dan dikelola. Jika ada iming-iming mengolah sampah anorganik yang dikumpulkan, ya silakan membuat subdivisi baru. Tawaran ini memang menggiurkan, sekarung bekas air minum plastik akan bertambah nilainya jika telah dipisahkan berdasarkan jenis plastiknya. Harga sampah botol air mineral berbeda dengan harga tutup botolnya. Kegiatan yang memakan waktu ini bertentangan dengan misi bank sampah mengumpulkan anggota. Fokusnya sangat berbeda, jangan dicampur aduk.
Jangan terlalu kaku mengikuti pedoman.
Kementerian Lingkungan Hidup merumuskan profil Bank Sampah lengkap dengan kriteria bangunan dan kegiatannya.Waduh, jika mengikuti petunjuk tersebut maka penduduk yang tinggal di pemukiman padat akan kesulitan membentuk bank sampah. Sedangkan produksi sampah tidak mengenal tempat, dihasilkan masyarakat di pemukiman padat maupun pemukiman tertata. karena itu pembentukan dan pengelolaan bank sampah harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi.
Ada kasus, satu kelurahan di utara kota Bandung meminjamkan ruangannya untuk bank sampah salah satu RWnya yang berpenghuni amat padat. Karena baru berusia setahun kegiatan bank sampah tersebut masih berjalan lancar, tapi bagaimana jika RW lain menuntut pinjaman ruangan juga? Wah, bisa-bisa pengurus menjadi resah dan keberlangsungan bank sampahpun terancam.
Jangan terpaku ketokohan untuk memimpin bank sampah.
Biasanya kordinator suatu program pemerintah adalah tokoh setempat. Atau dipilih karena senioritas. Bagus sih jika sang tokoh seorang yang moderat, tetapi menjadi sulit jika ternyata dia seorang otoriter yang tidak mau mendengar pendapat orang lain. Atau menetapkan aturan-aturan semaunya. Wah suasananya bisa ngga nyaman, dan akhirnya satu persatu anggota mundur.
Pembukuan harus transparan dan akuntabel.
Kunci sukses bank sampah selain penambahan jumlah anggota adalah pembukuan yang transparan dan akurat. Kapan saja anggota bisa menanyakan setiap transaksi di bukunya dan pengurus harus memberikan jawaban yang memuaskan anggota. Mirip di bank konvensional. Tidak ada nasabah yang senang jika dianggap remeh. Karena itu pengelola harus professional karena dampaknya bisa sangat positif, nasabah akan berceritera pada anggota masyarakat lain mengenai keunggulan Bank Sampah di mana dia bergabung.
Jangan menyumbat aspirasi nasabah.
Biasanya terjadi pada Bank Sampah yang dipimpin secara otoriter. Sang pemimpin lupa bahwa Bank Sampah bukan bisnis murni, ini adalah kewirausahaan sosial di mana berlaku dari anggota, oleh anggota dan untuk anggota. Jadi pemimpin yang otoriter kelaut aja deh ^_^
Nasabah harus merasakan manfaat Bank Sampah.
Sebetulnya tanpa menjadi anggota Bank Sampah, warga bisa menjual sampah anorganiknya kepada siapapun, di mana pun dan kapanpun. Hanya dengan mengetahui manfaat menjadi anggota bank sampah, warga masyarakat mau bergabung. Keuntungan menjadi anggota bank sampah inilah yang harus selalu digali dan dikembangkan. Contohnya Komunitas Kendal Gede Kreatif, selain memiliki bank sampah Motekar, juga membentuk koperasi simpan pinjam dan pembelian sembako murah. Kebutuhan warga masyarakat harus dipahami sebelum membentuk bank sampah. Beda wilayah, beda kebutuhannya.
Aktif menambah anggota.
Apa jadinya jika suatu bank sampah merasa eksklusif dan enggan menambah anggota? Sementara itu, tidak ada jaminan pengurus yang sekarang aktif akan terus berada di lokasi yang sama. Bagaimana jika pindah rumah? Bagaimana jika meninggal dunia? Bisa terganggu kan operasional Bank Sampah? Bahkan terancam bubar jika pengurus lainnya merasa cape dan bosan. Perekrutan anggota akan membantu regenerasi juga menambah omzet bank sampah yang jika dikelola dalam koperasi maka akan memberikan faedah lebih banyak.
Dalam banyak pertemuan, banyak sekali yang menanyakan tentang bank sampah. Bukti bahwa anggota masyarakat mulai peduli akan keberadaan bank sampah sehingga keberadaan bank sampah sebagai unit usaha terkecil dalam masyarakat seharusnya bisa membantu pemerintah menyelesaikan masalah sampah.
Sayang terkendala minimnya sosialisasi, ditambah taburan berita bahwa dengan menabung di bank sampah bisa berobat gratis (Yakin? Hingga sakit kanker atau jantung yang menghabiskan jutaan rupiah? Jika hanya sakit flu, bukankah ada fasilitas BPJS yang gratis bagi kelompok tidak mampu?)
Yang terpenting, keinginan anggota dengan terbentuknya bank sampah harus terpenuhi sehingga uang yang terkumpul di bank sampah akan tepat peruntukannya. Jika mayoritas warga butuh modal usaha tapi malah diberi fasilitas berobat maka bisa ditebak apa yang akan terjadi. Operasional bank sampah harus berkelanjutan tanpa bantuan, jika ada pinjaman modal, mereka harus mampu mengembalikannya.
Bandung, 21 Januari 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H