[caption caption="sumber : Greeneration Indonesia ; Kaskus.co.id"][/caption]Pengertian diet menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah aturan makanan khusus untuk kesehatan. Sehingga pemilihan kata diet untuk penggunaan kantong plastik dimaksudkan agar konsumen lebih mengatur penggunaan kantong plastik yang umumnya hanya sekali pakai.
Jumlah kantong plastik memang hanya 0,17 % dari keseluruhan sampah. Tetapi rata - rata pemakaian hanya 25 menit. Khusus di Indonesia, kita terlalu kreatif dengan menggunakan kantong plastik sebagai pembungkus sampah rumah tangga. Disempurnakan manajemen persampahan yang masih buruk, maka sampah kantong plastik sukses merajai aliran air dan akhirnya reunian di lautan. Mengakibatkan laut menjadi kolam sampah raksasa.
Hanya itu? Ternyata tidak. Plastik di lautan akan disantap hewan laut yang tidak mengetahui bahaya mengonsumsi plastik sehingga terperangkap dan mati. Jika kebetulan hewan tersebut tidak tewas, dia akan berenang-renang dan masuk jaring nelayan untuk kemudian disantap manusia. Bisa dibayangkan, alih-alih sehat, manusia malah mengonsumsi racun. "Racun bisa ditemukan di mana-mana pada jaringan ikan", kata Kim Detloff dari organisasi perlindungan lingkungan Jerman, Naturschutzbund (NABU).
Wah mirip kambing atau sapi atau ayam yang kerap menyantap sampah di TPS Indonesia bukan? Jangan membayangkan sampah akan hancur dan menghilang dalam tubuh hewan yang memakannya. Sesuai hukum kekekalan materi, plastik tetaplah menjadi plastik. Lha, wong benda anorganis bagaimana mungkin bisa berubah menjadi organis. Memangnya sulap?
[caption caption="plastik ramah lingkungan, dok. Maria G. Soemitro"]
Kantong plastik merupakan komoditas yang perputarannya sangat cepat sehingga produsen berpikir keras ketika kampanye menolak plastik, marak dimana-mana. Salah satu solusinya adalah dengan menambahkan zat aditif yang mengandung unsur logam kobalt, mangan, atau besi yang membantu menghancurkan plastik dengan lebih cepat.
Menghancurkan lho, bukan menguraikan. Dengan bantuan suhu tinggi (lebih dari 50 derajat Celcius), radiasi ultra violet sinar matahari hingga paparan udara, bentuk plastik berubah menjadi serpihan berukuran Mikroplastik (bobot molekul kurang dari 40.000) yang mempunyai potensi menjadi racun. Terbang kemana-mana dan menjadi polutan yang kita hirup. Hiii…….serem banget menghisap plastik ya? Walah tidak kalah mengerikankan dibanding asap rokok yang kampanyenya teramat masif.
Karena plastik ramah lingkungan memerlukan kondisi tertentu untuk hancur, teman-temannya yang tiba di laut umumnya terendap di kedalaman ratusan meter. Sinar matahari di laut teramat minim, tak memenuhi syarat proses degradasi. "Kondisi laut dingin dan kurang oksigen. Jadi sekali terbuang di laut, plastik itu akan tinggal di sana untuk periode amat lama," kata Peter Kershaw, penulis studi UNEP berjudul "Biodegradable Plastics and Marine Litter: Misconception, Concerns, and Impacts on Marine Environments" itu seperti dikutip www.cbc.ca ; 19 November 2015. Lebih jauh Kershaw menjelaskan bahwa beberapa jenis plastik ramah lingkungan yang berhasil hancur hingga berbentuk Mikroplastik (seukuran Plankton) akan tertelan biota laut dan masuk dalam rantai makanan.
Laporan UNEP menyatakan 20 juta ton plastik berakhir di laut setiap tahunnya. Laporan tersebut juga menyebutkan bahwa diperkirakan 280 juta ton plastik diproduksi secara global setiap tahunnya. Sebagian kecil didaurulang, sebagian masuk ke tempat pembuangan sampah, sedangkan yang lainnya berakhir di lautan, memicu kerusakan lingkungan ekosistem laut senilai miliaran dollar AS per tahun.
Bisa dibayangkan plastik ramah lingkungan yang kita pakai, alih-alih melestarikan lingkungan, justru merusak lingkungan. Menyebarkan racun, termakan hewan laut dan kemungkinan akan berakhir di perut kita.
Keburukan plastik ramah lingkungan lainnya adalah timbulnya perasaan tidak bersalah karena tulisan (pembohongan publik?) di kantong plastik menyebutkan akan terdegradasi dalam 1- 2 tahun. Sehingga pemakaian kantong plastik menjadi semakin tak terkontrol.