Hasil produksi bahan bakar nabati yang diperoleh dari alga dapat melampaui sejumlah tanaman penghasil bahan bakar nabati lainnya. Sebagai perbandingan, kedelai menghasilkan 450 liter/hektare/tahun, Camelina 560 liter/hektar/tahun, bunga matahari 955 liter/hektar/tahun, Jatropha 1.890 liter/hektar/tahun, minyak sawit 5.940 liter/hektar/tahun. Sedangkan alga bisa mencapai 50.800 liter / hektar/tahun.
Bahan bakar dari alga memiliki kandungan nilai Cetane lebih dari 65 dan Sulfur kurang dari tiga ppm. Pengolahan alga lebih mudah dilakukan dibandingkan CPO (minyak kelapa sawit), juga lebih unggul karena bukan ditujukan untuk kepentingan pangan, sehingga peluang produksinya lebih besar.
Keunggulan lainnya, potensi alga sebagai bahan bakar nabati mirip dengan solar dengan kualitas Standar internasional Euro IV hingga V. Dengan adanya bahan bakar dari alga, Indonesia bisa terbebas dari ketergantungan energi dari luar negeri., bahkan pengembangan alga bisa menjadikan Indonesia produsen BBN terbesar di dunia.
Pengembangan alga sangat mudah, hanya fotosintesa. Dengan lahan kering seluas 15 juta hektare, jika dikalikan dengan potensi alga 3.800 liter alga maka dapat mencukupi kebutuhan energi Indonesia mencapai 2,5 juta liter per hari.
Kalkulasi tersebut baru berasal dari alga, bagaimana jika ladang-ladang energi yang berisi tanaman bintaro, nyamplung dan beragam jenis tanaman energi non pangan lainnya, serentak panen? Tentunya Indonesia akan menjadi negara raja minyak nabati yang tak tertandingi.
Tantangan
Tingginya potensi bahan bakar nabati tidak berarti apa-apa tanpa dukungan pemerintah. Subsidi BBM perlu dicabut agar harga pasar tidak terdistorsi. Selain itu juga dibutuhkan regulasi yang mendukung menyangkut konversi lahan kritis pelibatan generasi muda sebagai leader dan penggagas ekonomi kreatif, dukungan akses keuangan hingga ‘off-taker hasil produksi ladang energi.
Untuk memaksimalkan hasil, diperlukan langkah-langkah sebagai berikut:
- Penentuan skala prioritas mengingat banyaknya keragaman bahan baku biofuel yang dimiliki Indonesia.
- Riset bioteknologi untuk mengetahui varietas unggul sebagai bahan baku BBN.
- Dukungan infrastruktur meliputi akses dari petani ke industri pengembangan BBN dan pasar. Pada sektor ini inovasi dan kreativitas generasi muda yang ‘melek’ teknologi informasi sangat membantu karena mereka memiliki terobosan berbasis ekonomi kreatif.
- Optimalisasi potensi bahan bakar nabati (BBN) melalui diversifikasi sumber BBN dengan pencampuran beberapa sumber BBN, mengingat hasil yang melimpah dan menjaga sisi keekonomian BBN.
- Penerapan regulasi secara tegas meliputi kewajiban penggunaan BBN pada seluruh kendaraan, kemudahan investor memperoleh akses kredit bagi pengembangan BBN, serta regulasi perdagangan. Juga pengawasan terhadap implementasi peraturan Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) agar kelestarian hutan dapat terjaga.
- Sosialisasi dan edukasi pada masyarakat untuk mengubah paradigma bahwa pengembangan BBN adalah solusi dan investasi menguntungkan yang patut diperhitungkan.
Jika semua langkah telah ditempuh, diharapkan optimalisasi kemajuan energi bagi Indonesia yang mendunia bisa terwujud. Sehingga terjadi peningkatan pendapatan nasional yang berimbas pada kesejahteraan bangsa Indonesia.
Dan akhirnya Indonesia tidak sekedar menjadi pasar energi baru terbarukan (EBT) tapi kerajaan minyak nabati yang mandiri dan paling berpengaruh di Asia Pasifik, sesuai poin ke 6 dari 7 impian presiden Republik Indonesia, Joko Widodo.
Sumber data:
http://www.guardian.co.uk
www.coreindonesia.org
litbang.pertanian.go.id
esdm.go.id
antaranews.com
sumber gambar:
www.energydigital.com