Mohon tunggu...
Maria G Soemitro
Maria G Soemitro Mohon Tunggu... Freelancer - Volunteer Zero Waste Cities

Kompasianer of The Year 2012; Founder #KaisaIndonesia; Member #DPKLTS ; #BJBS (Bandung Juara Bebas Sampah) http://www.maria-g-soemitro.com/

Selanjutnya

Tutup

Money

Menanti Kiprah Indonesia, Raja Minyak Nabati Dunia

31 Desember 2015   22:27 Diperbarui: 31 Desember 2015   22:46 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Apabila gagal, maka kebutuhan BBM pada 2025 akan mencapai 3 juta barel perhari," katanya. Sementara itu produksi minyak nasional justru mengalami penurunan. Jika pada tahun 2014 sebesar 794 ribu barel perhari, maka pada 2025 produksi minyak hanya akan mencapai 453 ribu barel perhari. Salah satu penyebabnya karena cadangan minyak saat ini hanya mencapai 3,7 miliar barel perhari.

Pilihan Indonesia untuk menggenjot produksi BBN lebih realistis dilakukan mengingat:

  • Indonesia adalah negara tropis, sehingga hampir keseluruhan jenis tanaman penghasil bahan bakar nabati dapat tumbuh dengan cepat.
  • Teknologi untuk industri BBN sudah tersedia dan sangat maju. Untuk mewujudkan kemandirian energi sebagai salah satu dasar ketahanan nasional bangsa, pengembangan BBN merupakan pilihan yang paling layak dan efektif.
  • Dukungan regulasi, diantaranya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan BBN sebagai Bahan Bakar Lain. Serta Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 mengenai Pembentukan dan Tugas Tim Nasional Percepatan Pemanfaatan BBN untuk Mengurangi Kemiskinan dan Pengangguran (Timnas BBN).
  • Dengan memproduksi BBN, konsumen dalam negeri akan mendapat alternatif energi, sehingga Indonesia akan terlepas dari posisinya net importer bahan bakar minyak (BBM). bahkan menjadikan Indonesia surplus minyak bumi.

Sayang, potensi Indonesia sebagai raja BBN dunia belum dioptimalkan dengan baik. Saat ini negara produsen terbesar biodiesel adalah Uni Eropa yaitu sebesar 4, 5 juta ton/ tahun dengan bahan baku utama rapeseed, sedangkan negara produsen bioetanol terbesar adalah Amerika Serikat dengan produksi 18, 5 miliar liter berbahan baku jagung dan kedelai.

Implementasi

Sebagai tulang punggung pemenuhan energi nasional, Pertamina mulai memasarkan bahan bakar nabati secara komersial di Indonesia sejak tahun 2006 berupa bio solar, biopremium dan bio pertamax.

Bio solar merupakan campuran solar murni dengan minyak nabati yang didapatkan dari kelapa sawit atau crude palm oil ( CPO ). Sebelum dicampurkan minyak kelapa sawit ( CPO ) direaksikan dengan methanol dan ethanol dengan katalisator NaOH atau KOH untuk menghasilkan fatty acid methyl ester ( FAME ).
Laboratorium pengujian yang dimiliki Pertamina selalu memastikan FAME yang dipakai memenuhi standar spesifikasi yang sudah ditetapkan, agar tidak ada bakteri yang dapat merusak kualitas bahan bakar saat didistribusikan. Bio solar yang dijual Pertamina dapat dipakai pada mesin diesel standar tanpa perlu perubahan atau modifikasi.

Walaupun Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) No 32/2008 mewajibkan badan usaha untuk melakukan pencampuran BBN ke dalam bahan bakar minyak hanya 2,5%, Pertamina sejak 15 Februari 2012 menambah pemakaian fatty acid methyl ester (FAME) terhadap produk bio-solar dari 5% menjadi 7,5%.

Tujuan penambahan penggunaan FAME jauh di atas ketentuan adalah untuk menekan impor solar untuk pasokan BBM bersubsidi. Saat ini kuota BBN jenis bio diesel dalam APBN 2012 ditetapkan 722 ribu kilo liter sehingga secara tidak langsung, Pertamina telah ikut mendukung tumbuhnya industri produsen FAME dan membuka lapangan kerja.

Ladang energi

Pertamina juga memiliki tanggung jawab untuk mengembangkan cadangan energi baru dan terbarukan sebagai sumber daya masa depan. Untuk sementara ini pengembangan BBN di Indonesia, khususnya biodiesel dari kelapa sawit dinilai buruk akibat menghasilkan energi lebih rendah dan menyumbang emisi karbon secara tidak langsung melalui pembakaran hutan dan konversi hutan untuk lahan tanam.

Sementara itu Indonesia memiliki keanekaragaman bahan bakar nabati serta lahan non hutan yang sangat luas untuk ditanami. Garis pantai Indonesia terpanjang di dunia sepanjang > 81.000 km mampu memproduksi alga penghasil bahan bakar nabati.
"Alga menjadi primadona Pertamina. Tumbuh sepanjang musim dan begitu mudah tumbuh di sawah, sungai dan danau, sehingga bisa menjadi bahan bakar dengan potensi yang besar," kata Vice President Research and Development PT Pertamina Eko Wahyu Laksono .

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun