[caption caption="before and after"][/caption]
Kalimat di atas diucapkan Melani Subono disini. Mungkin karena perubahan iklim itu asyik untuk diperbincangkan walau sebagian orang masih tak mempercayai akan adanya perubahan iklim. Tak percaya atau tidak paham?
“Masyarakat umumnya tidak memahami makna perubahan iklim, mereka pikir perubahan iklim tak ubahnya dengan pergantian cuaca, kadang panas, kadang dingin, tanpa menyadari betapa dahsyatnya bencana yang ditimbulkan perubahan iklim”.
Pernyataan Ir Sarwono Kusumaatmadja selaku Ketua Dewan Pengarah Pengendali Perubahan Iklim tersebut tercetus dalam diskusi “High-level Policy Dialogue” dengan tema “Transformation and Climate Change in Indonesia under the New Government” yang berlangsung di balai Sidang UI Depok tanggal 26 Agustus 2015 silam.
[caption caption="diskusi “Transformation and Climate Change in Indonesia under the New Government” 26 Agustus 2015"]
Dalam kesempatan itu pula, Wimar Witoelar didaulat sebagai moderator antar institusi pemerintah terkait program nasional dan internasional untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Hadir sebagai narasumber Prof. Rachmat Witoelar (Utusan Khusus Presiden RI untuk perubahan iklim), wakil Kepala Bappenas dan KLHK serta Dr Yanuar Nugroho (Deputi Kepala Staf Kantor Presiden).
Menarik menyimak pernyataan Sarwono dalam kesempatan lain yang mengungkapkan bahwa Indonesia bukan hanya menjadi korban dari perubahan iklim, tetapi juga menjadi pihak yang sangat menentukan dalam upaya menyelesaikan persoalan perubahan iklim.
Bahkan, Indonesia dapat menjadi pemimpin dalam melaksanakan upaya-upaya penyelesaian perubahan iklim, seperti penanganan deforestasi dan pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK).
Wow, sangat menarik. Indonesia dapat menjadi pemimpin harusnya bukan sekedar angan. Seabrek data yang disajikan Kementerian PPN/Bappenas memperlihatkan risiko dampak perubahan iklim.
[caption caption="Tingkat Risiko Perubahan Iklim Berdasarkan Wilayah di Indonesia ( modifikasi data ICCSR - Bappenas 2010 dengan masukan data SNC - KLH 2010"]
Pertanyaannya, sejauh mana pemerintah Indonesia menyiapkan diri? Karena dalam diskusi “Transformation and Climate Change in Indonesia under the New Government” tersebut perwakilan Badan Pengelola Lingkungan Hidup (BPLH) yang mendominasi sesi tanya jawab justru menampakkan jomplangnya pemahaman dan urgensinya adaptasi dan mitigasi dalam menghadapi perubahan iklim.
Salah satu perwakilan BPLH menyatakan bahwa mereka telah menerapkan car free day (CFD) dalam menyikapi perubahan iklim, padahal siapapun tahu bahwa car free day hanya memindahkan kendaraan roda 4 ke sekitar jalan yang ditujukan untuk olah raga atau sosialisasi lainnya. Seusai Car Free Day semua kendaraan yang semula parkir kembali memasuki area dengan riang dan bahagia. Jadi? Ya hanya sekedar menunda jika tidak dapat dikatakan justru jumlah kendaraan roda 4 bertambah seiring banyaknya kerumunan orang di CFD. Kampanye profit dan nonprofit marak di CFD, dan tentunya para pelaku membutuhkan kendaraan roda 4.
Strategi pendekatan kekinian rupanya menjadi andalan semua pihak termasuk BPLH sebagai kepanjangan tangan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Melupakan bahwa ada benteng peradaban yang justru merupakan contoh nyata bagi masyarakat modern, yaitu masyarakat adat dan kebiasaan-kebiasaannya yang bertumpu pada kearifan lokal.
Contohnya masyarakat adat Cireundeu yang mengonsumsi singkong karena menyadari keterbatasan lahan pemukimannya. Tinggal dikawasan perbukitan yang menyulitkan pembukaan lahan sawah untuk bertanam padi membuat sesepuh masyarakat adat Cireundeu menginstruksikan keturunannya untuk menanami ladang dengan singkong dan terbukti sekian puluh tahun kemudian mereka tidak pernah kelaparan.
Sayang tuntutan jaman memaksa para pemuda dan pemudinya bekerja diluar hunian sebagai pegawai pabrik atau pekerja swasta lainnya. Karena mereka tidak sekedar butuh pangan dan papan tapi juga kesehatan dan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dari sekolah dasar (SD).
Demikian pula masyarakat adat lainnya, dalam suatu kesempatan geolog T. Bahtiar yang acap menjelajahi kawasan terpencil menceritakan bahwa ritel modern yang berdiri di kawasan Baduy ternyata dipenuhi anak-anak generasi terkini masyarakat adat Baduy.
Jika masyarakat adat mulai ‘tercemar’, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebetulnya memiliki program yang bagus dalam menyikapi perubahan iklim yaitu Kampung Proklim. Suatu program yang mengapresiasi usaha-usaha adaptasi dan mitigasi yang dilakukan masyarakat modern. Misalnya suatu kawasan dimana telah dilakukan pengelolaan sampah, pengelolaan air hujan, pemanfaatan lahan untuk urban farming, tanaman obat dan beragam kegiatan lain yang bertujuan kemandirian warganya.
Program kampung proklim ini rupanya terlewatkan, bahkan Bank Sampah sebagai salah satu solusi pengelolaan sampah banyak dipertanyakan manfaatnya. Mungkin karena dianggap euphoria sesaat.
Kembali ke diskusi “High-level Policy Dialogue” dengan tema “Transformation and Climate Change in Indonesia under the New Government” , dalam kesempatan tersebut, Dr Yanuar Nugroho (Deputi Kepala Staf Kantor Presiden) mengungkapkan bahwa dia sudah menyesuaikan gaya hidup dengan tuntutan perubahan iklim, diantaranya dengan tidak mengonsumsi air minum dalam kemasan (AMDK). Demikian juga di kantornya seluruh staf diharuskan menggunakan gelas kaca untuk mengambil air dalam dispenser yang disediakan. *pernyataan ini langsung disikapi panitia diskusi dengan menyediakan gelas-gelas kaca ^^ *
Ah, tidak hanya Yanuar, gerakan-gerakan perubahan secara independen sudah dilakukan banyak pihak. Contohnya The Body Shop yang digawangi Suzy Hutomo telah berlaku larangan penggunaan styrofoam. Karyawan diharapkan menghabiskan makanannya di tempat jajan atau membawa sendiri misting (kotak makanan) jika terpaksa harus membeli makanan dan dibawa pulang (take away).
Di Kota Bandung, geliat perubahan itu nampak nyata. Mulai dari Si Cinta, Atalia Praratya, istri tersayang Walikota Bandung, Ridwan Kamil yang menyerukan zero waste lifestyle bersama team PKKnya. Mereka menunjukkan misting dan tumbler lengkap dengan logo PKK.
[caption caption="Atalia Praratya dalam kampanye zeo waste lifestyle"]
Kemudian dukungan untuk mengimplementasikan eco-office di kantor-kantor di bawah bendera pemerintah kota Bandung. Contohnya, kantor Kecamatan Sukajadi ini, terinspirasi penolakan saya pada air minum dalam kemasan, Yudy Surahmat , Camat Sukajadi menginstruksikan anak buahnya menggunakan mug untuk aktivitas sehari-hari serta membawa tumbler jika harus bepergian.
[caption caption="kecamatan Sukajadi Bandung menuju eco office"]
Daaaaaannnnnn……..ini dia yang paling hebat, ……BDGcleanaction yang dengan kerennya menerapkan zero waste event dalam setiap kegiatan termasuk nonton bareng PERSIB. Padahal siapapun tahu bagaimana sulitnya mengendalikan penonton yang euphoria karena menang (apalagi jika kalah :( ) tapi terbukti bisa tuh penonton menahan diri. Untuk mereka disajikan makanan non sampah anorganik yang pastinya buanyakkk jumlahnya.
[caption caption="zero waste event di nobar Persib"]
Nah jika sudah begini, baru terasa bahwa perubahan iklim itu seksi. Khususnya ketika dimaknai oleh anak-anak muda pemilik masa depan bumi. Mereka memilikinya, menjaganya dan (inginnya sih) menegur kaum tua/senior:
“Please deh jangan rusak bumi kami karena kami pemiliknya. Kalian cuma minjem !!”.
Setuju?
Bandung, Desember 2015.
sumber foto:
1. pribadi
3. Tini Mf Martini Tapran
4. BDGcleanaction
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H