Contohnya masyarakat adat Cireundeu yang mengonsumsi singkong karena menyadari keterbatasan lahan pemukimannya. Tinggal dikawasan perbukitan yang menyulitkan pembukaan lahan sawah untuk bertanam padi membuat sesepuh masyarakat adat Cireundeu menginstruksikan keturunannya untuk menanami ladang dengan singkong dan terbukti sekian puluh tahun kemudian mereka tidak pernah kelaparan.
Sayang tuntutan jaman memaksa para pemuda dan pemudinya bekerja diluar hunian sebagai pegawai pabrik atau pekerja swasta lainnya. Karena mereka tidak sekedar butuh pangan dan papan tapi juga kesehatan dan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dari sekolah dasar (SD).
Demikian pula masyarakat adat lainnya, dalam suatu kesempatan geolog T. Bahtiar yang acap menjelajahi kawasan terpencil menceritakan bahwa ritel modern yang berdiri di kawasan Baduy ternyata dipenuhi anak-anak generasi terkini masyarakat adat Baduy.
Jika masyarakat adat mulai ‘tercemar’, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebetulnya memiliki program yang bagus dalam menyikapi perubahan iklim yaitu Kampung Proklim. Suatu program yang mengapresiasi usaha-usaha adaptasi dan mitigasi yang dilakukan masyarakat modern. Misalnya suatu kawasan dimana telah dilakukan pengelolaan sampah, pengelolaan air hujan, pemanfaatan lahan untuk urban farming, tanaman obat dan beragam kegiatan lain yang bertujuan kemandirian warganya.
Program kampung proklim ini rupanya terlewatkan, bahkan Bank Sampah sebagai salah satu solusi pengelolaan sampah banyak dipertanyakan manfaatnya. Mungkin karena dianggap euphoria sesaat.
Kembali ke diskusi “High-level Policy Dialogue” dengan tema “Transformation and Climate Change in Indonesia under the New Government” , dalam kesempatan tersebut, Dr Yanuar Nugroho (Deputi Kepala Staf Kantor Presiden) mengungkapkan bahwa dia sudah menyesuaikan gaya hidup dengan tuntutan perubahan iklim, diantaranya dengan tidak mengonsumsi air minum dalam kemasan (AMDK). Demikian juga di kantornya seluruh staf diharuskan menggunakan gelas kaca untuk mengambil air dalam dispenser yang disediakan. *pernyataan ini langsung disikapi panitia diskusi dengan menyediakan gelas-gelas kaca ^^ *
Ah, tidak hanya Yanuar, gerakan-gerakan perubahan secara independen sudah dilakukan banyak pihak. Contohnya The Body Shop yang digawangi Suzy Hutomo telah berlaku larangan penggunaan styrofoam. Karyawan diharapkan menghabiskan makanannya di tempat jajan atau membawa sendiri misting (kotak makanan) jika terpaksa harus membeli makanan dan dibawa pulang (take away).
Di Kota Bandung, geliat perubahan itu nampak nyata. Mulai dari Si Cinta, Atalia Praratya, istri tersayang Walikota Bandung, Ridwan Kamil yang menyerukan zero waste lifestyle bersama team PKKnya. Mereka menunjukkan misting dan tumbler lengkap dengan logo PKK.
[caption caption="Atalia Praratya dalam kampanye zeo waste lifestyle"]
Kemudian dukungan untuk mengimplementasikan eco-office di kantor-kantor di bawah bendera pemerintah kota Bandung. Contohnya, kantor Kecamatan Sukajadi ini, terinspirasi penolakan saya pada air minum dalam kemasan, Yudy Surahmat , Camat Sukajadi menginstruksikan anak buahnya menggunakan mug untuk aktivitas sehari-hari serta membawa tumbler jika harus bepergian.
[caption caption="kecamatan Sukajadi Bandung menuju eco office"]
Daaaaaannnnnn……..ini dia yang paling hebat, ……BDGcleanaction yang dengan kerennya menerapkan zero waste event dalam setiap kegiatan termasuk nonton bareng PERSIB. Padahal siapapun tahu bagaimana sulitnya mengendalikan penonton yang euphoria karena menang (apalagi jika kalah :( ) tapi terbukti bisa tuh penonton menahan diri. Untuk mereka disajikan makanan non sampah anorganik yang pastinya buanyakkk jumlahnya.
[caption caption="zero waste event di nobar Persib"]
Nah jika sudah begini, baru terasa bahwa perubahan iklim itu seksi. Khususnya ketika dimaknai oleh anak-anak muda pemilik masa depan bumi. Mereka memilikinya, menjaganya dan (inginnya sih) menegur kaum tua/senior:
“Please deh jangan rusak bumi kami karena kami pemiliknya. Kalian cuma minjem !!”.