Sementara tanggung jawab pengelola yang belum dipenuhi adalah pembangunan zona penyangga (buffer zone) dan teknologi gasifikasi yang diproyeksikan bisa memproduksi listrik 9,6 megawatt.
Hmmm ……selama Ahok, panggilan Basuki Tjahaya Purnama, nggak mau mengakui bahwa teknologi bukan segala-galanya maka masalah sampah hanya akan berputar saling tuduh dan saling menyalahkan. Idealnya pemprov DKI membuat road map pengelolaan sampah, agar siapapun pemimpinnya, kota Jakarta memiliki acuan yang jelas dalam pengelolaan sampah. Dapat berjalan efektif, terukur dan berkelanjutan. Sayangnya pembuatan road map ini memakan waktu, padahal Ahok, sesuai karakternya bisa membuat perubahan-perubahan dengan cepat, salah satunya dengan desentralisasi pengelolaan sampah.
Desentralisasi ini cocok dengan niatan Ahok untuk swakelola sampah. Setiap kawasan wajib memisah sampah, agar sampah organik yang hancur dalam waktu beberapa hari jangan dicampur dengan sampah anorganik yang berumur ratusan tahun. Karena jika tercampur, biaya pengelolaannya mahal nian dan kisruh yang sekarang terjadi dengan PT GTJ akan kembali terulang. Sampah yang tercampur juga memaksa Pemprov DKI membayar ganti rugi bagi warga yang tinggal di kawasan dimana truk sampah wara-wiri menguarkan bau busuk menyengat dan meneteskan air lindi di sepanjang jalan yang dilalui.
Ahok yang terkenal keras dan tegas pastinya bisa menginstruksikan pemilahan sampah di setiap rukun tetangga (RT). Sampah anorganik ditampung oleh bank sampah atau untuk menambah penghasilan pengumpul sampah dari tiap rumah. Hasil kompos setiap kawasan wajib dibeli oleh dinas pertamanan atau dijual ke pelaku urban farming. Lah daripada beli 1 kantong berisi 5 kg @ Rp 10.000, ya lebih baik baik beli ke tetangga yang membuat kompos dengan harga miring.
Produsen wajib mengelola sampah kemasannya sesuai amanat undang-undang nomor 18 tahun 2008, beri penghargaan pada mereka yang konsisten dan umumkan produsen yang enggan. Karena selama ini sampah berlapis alumunium (kemasan plastik camilan, sachet minuman, detergen) serta sampah pembalut dan popok sekali pakai rupanya lolos dari tanggung jawab lingkungan.
Jika sampah telah terpilah, dijamin deh penduduk kota Jakarta akan aman dari lautan sampah. Pembuang sampah ke sungai dan tanah kosongpun akan berpikir ulang untuk buang sampah sembarangan karena sampahnya mempunyai nilai jika digabung. Jika digabung lho ya? Hasil mendampingi komunitas bank sampah, ternyata mereka bisa berdaya (mendapat tambahan modal, meminjam uang untuk biaya pendidikan dan biaya kesehatan) dengan menabung di bank sampah.
Hitungannya begini, satu RW umumnya terdiri dari 5 – 10 RT. Satu RT terdiri dari 100 – 200 kepala keluarga (KK). Berarti 1 RW terdiri dari 500 – 1000 KK. Andaikan 500 KK (jumlah terkecil) menyetor sampah @ Rp 1.000/minggu, maka selama setahun bank sampah di RW tersebut sanggup menghimpun dana kurang lebih 52 x 500 x Rp 1.000 = Rp 26.000.000/tahun. Banyak ngga? Yang jawab ngga, pastinya horanggg kayyaaahhhh ^_^
Bagaimana sih caranya membentuk bank sampah? Gampang banget. Ditulisan berikutnya ya? Karena judul dan isi tulisan mulai melenceng rupanya.
Salam Kompasiana.
Kompas.com
Kompasiana.com