Suara ranting terinjak membuat Gembul waspada, dirapatkannya tubuhnya ke balik dedaunan. Dia mulai takut. Telah sering emak mengingatkan agar hati-hati terhadap si Hitam. Dan ketakutan itu datang. Seorang kucing berwarna hitam mendatanginya. Bulunya riap-riap berdiri. Mata hijaunya yang tajam berkilauan mengerikan. Tanpa sadar Gembul menggigil ketakutan. Dia berusaha mengepakkan sayapnya agar bisa terbang menjauh. Tetapi usahanya selalu gagal. Dia terlalu takut dan sayapnya lemah akibat jarang dilatih.
Oh emak, tolonglah aku, rintih Gembul perlahan. Ditutupnya kepalanya dengan sayap mungilnya yang gemetar. Matanya terpejam. Paruhnya gemeletuk tanda ketakutan. Pelan tapi pasti dia mendengar suara itu. Suara dan bayangan besar yang melingkupi tubuhnya.
“Gembul”, …..
........ ah bukankah suara itu…..suara emak? Benarkah itu?
“Gembul, bangunlah….yuk kembali ke sarang”,
Betul itu suara emak, tak mungkin bukan. Gembul sangat hafal suara emak.
Perlahan Gembul mengangkat sayap dan membuka matanya. Sungguh ini emak, emak yang sangat disayanginya. Emak yang sabar melihat kemalasannya. Emak yang selalu mengantarkan cacing yang gemuk dan lezat.
Ah, emak ……., dengan segera Gembul memeluk emak. Tak kuasa menahan rasa gembira, Gembulpun menangis keras-keras.
“Lho, kok nangis Gembul, kenapa?”
“Gembul takut dimakan si Hitam”.
Emak tertawa. “Lihatlah, apakah itu maksudmu?”
“Mereka sedang kawin, sehingga tak akan mempedulikan kita”.
Dengan perlahan Gembul menengok kearah yang ditunjuk emak. Benarlah, ada dua kucing disana sedang berasyik masyuk. Oh syukurlah, dia salah sangka, rupanya tadi si Hitam mendatangi kucing betina, bukan dirinya.
“Yuk, kita pulang. Emak sudah menyiapkan makanan untukmu”.