Mohon tunggu...
Maria G Soemitro
Maria G Soemitro Mohon Tunggu... Freelancer - Volunteer Zero Waste Cities

Kompasianer of The Year 2012; Founder #KaisaIndonesia; Member #DPKLTS ; #BJBS (Bandung Juara Bebas Sampah) http://www.maria-g-soemitro.com/

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Memaknai 4 Elemen Keseimbangan Alam

31 Oktober 2015   23:56 Diperbarui: 1 November 2015   09:40 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="4 elemen alam : api, air, angin, tanah"][/caption]

 

Masyarakat adat mengenal 4 elemen keseimbangan alam yaitu Air, Api, Udara dan Bumi. Apabila salah satu unsur mengalami gangguan maka akibatnya kegiatan sehari-hari menjadi tidak berjalan lancar, tidak seimbang. Karena itu agak mengherankan ketika mantan Gubernur Kalimantan Tengah, Teras Narang menjelaskan bahwa dia mengizinkan peladang membakar hutan untuk membuka lahan selama tidak lebih dari 2 hektar per kepala keluarga.

Restu Teras Narang tersebut masuk dalam penjelasan undang-undang nomor 32 tahun 2009 pasal 69 ; ayat (2) yaitu “Kearifan lokal yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektare per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya.”

Yang mengherankan adalah alasannya, Teras Narang menjelaskan 1 ½ tahun setelah bencana kabut asap 2007, kegiatan perekonomian Kalimantan Tengah lesu. Penyebabnya, peladang tak bisa mencari nafkah yang disebabkan metode pembakaran lahan dilarang.

Alasan mencari nafkah dan lesunya kegiatan perekonomian harus dicetak tebal karena bagi masyarakat adat, satu ditambah satu tidak sama dengan dua, mereka adalah kelompok kreatif yang biasa hidup di alam. Mereka memahami kearifan alam. Mereka bukan kelompok masyarakat cengeng yang mutung karena tidak boleh membakar lahan.

Dilain pihak kegiatan membakar untuk membersihkan lahan sebetulnya bukan milik masyarakat adat semata. Hampir seluruh petani/ peladang membakar sisa/limbah panen tebu/jagung/tebu. Yang paling gres adalah laporan warga berikut, yang mengeluh kegiatan membakar limbah organik sangat mengganggu kehidupan di sekitar area kebun tebu.

“Giliran selesai panen, daun-daun tebu berserakan dan tentunya lahan segera ditanami tebu kembali, dan mulai saat inilah derita masyarakat sekitar perkebunan tebu atau sekitaran lahan tebu. Berhektar-hektar bekas lahan tebu yang dipenuhi sisa batang dan daun tebu tersebut dibakar, dan nampak api maupun asapnya” (Nanang Diyanto – Ponorogo)

Kegiatan bakar membakar memang familier, tidak hanya di pedesaan juga perkotaan. Tampak warga menyapu daun-daun yang berguguran kemudian membakarnya tanpa menyadari bahwa mereka telah melakukan 5 “dosa besar”, yaitu

 

  • Terganggunya kesuburan tanah. Pembakaran daun, batang dan limbah organik tidak hanya membakar biomassa tetapi juga serasah, yaitu lapisan yang terdiri dari bagian tumbuh-tumbuhan yang mati yang bermanfaat sebagai input unsur hara ke dalam tanah dan berkumpulnya biota tanah.
  • Menyebabkan kerentanan erosi karena tanah menjadi sakit dan tidak mampu menyerap air sebesar sebelum kebakaran lahan.
  • Meningkatnya jumlah emisi gas rumah kaca (GRK) penyebab pemanasan global. Emisi yang banyak dikeluarkan adalah senyawa yang tidak teroksidasi secara sempurna (contoh: CO, VOCs, PAHs), yang lebih berbahaya dibandingkan dengan emisi yang dikeluarkan saat pembakaran dengan temperatur tinggi, yaitu saat tahap flaming (Muraleedharan et al., 2000).
  • Turunnya kadar oksigen yang menyebabkan gangguan kesehatan masyarakat di sekeliling kawasan lahan yang terbakar.
  • Terjadi kerusakan lingkungan yang berkorelasi berkurangnya cadangan air. Pembakaran lahan menyebabkan hilangnya serasah yang lembab yang mampu menjaga cadangan air hujan, juga menyebabkan sulitnya air hujan jatuh dan meresap ke dalam tanah.

[caption caption="serasah"]

[/caption]

 

***

Hingga disini tampak hubungan yang jelas mengapa kita krisis air di musim kemarau. Dan mengapa penulis mengemukakan 4 unsur keseimbangan alam yang kita pahami tapi sekaligus kita lupakan. Sementara jika menilik data neraca air, total kebutuhan air semakin lama semakin meningkat.

Kepala Bidang Teknologi Mitigasi Bencana Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Sutopo Purwo Nugroho menjelaskan bahwa data neraca air pada tahun 2003 menunjukkan total kebutuhan air di pulau Jawa dan Bali sebesar 83,4 meter kubik pada musim kemarau dan hanya dapat dipenuhi sekitar 25,3 milyar kubik atau 66 persen. Diperkirakan defisit akan semakin tinggi pada tahun 2020 karena meningkatnya jumlah penduduk dan aktivitas perekonomian secara signifikan.

Dibandingkan potensi rata-rata pasokan dunia yang hanya 8.000 meter kubik per kapita per tahun, sebetulnya potensi sumber daya air Indonesia lebih unggul yaitu 15.000 meter kubik per kapita per tahun. Sayang diperkirakan pada tahun 2020, pulau Jawa hanya sanggup memasok 1.200 meter kubik per kapita per tahun dengan hanya 35 % yang layak dikelola secara ekonomis. Bandingkan dengan kemampuan tahun 1930 yaitu 4.700 meter kubik per kapita per tahun.

[caption caption="lubang resapan biopori"]

[/caption]

***

Apa yang dapat kita lakukan? Ya, apa yang dapat kita lakukan untuk melestarikan lingkungan dan menjamin pasokan air?
Yang pertama tentu saja adalah menghentikan pembakaran dan memperlakukan serasah dengan bijak. Alih-alih membakar serasah di kawasan pemukiman penduduk, lebih baik memasukkannya ke dalam lubang dan menutupnya kembali untuk menyuburkan tanah sekaligus menyimpan air.

Lubang resapan biopori (LRB) merupakan tindakan yang paling disarankan dibandingkan membuat sumur resapan dan ekuifer. Karena walau lubang resapan biopori (LRB) biopori hanya berdiameter 10 cm tetapi memiliki kemampuan seperti spons yang menyerap air hujan.

Penemu biopori, Ir Kamir R. Brata menjelaskan bahwa biopori adalah liang (terowongan-terowongan kecil) di dalam tanah yang dibentuk oleh akar tanaman dan fauna tanah. LRB bukan bentuk mini sumur resapan. Karena LRB harus diisi sampah organik sedangkan sumur resapan tidak. sehingga LRB bermanfaat menyehatkan tanah yang sakit yang disebabkan: permukaan tanah tertutup, tanah mati dan mengeras, air hujan tidak meresap dan penyedotan air tanah yang terus menerus.

Bandingkan dengan teknologi konvensional yaitu sumur resapan yang berisi pasir, kerikil dan ijuk. Bahan pengisi hanya berfungsi menghindari longsornya dinding resapan, tetapi tidak dapat digunakan fauna tanah sebagai sumber energy untuk menciptakan biopori sehingga sering terjadi penyumbatan permukaan resapan oleh bahan-bahan halus yang terbawa air yang tersaring oleh ijuk dan menyumbat rongga diantara ijuk.

Selain itu pengumpulan volume air yang cukup besar ke dalam sumur resapan menyebabkan beban resapan relatif besar. Beban resapan adalah volume air yang masuk dalam lubang dibagi luas permukaan resapan (dinding dan dasar lubang). Beban resapan akan meningkat sejalan dengan meningkatnya diameter lubang.

[caption caption="tabel LRB dan sumur resapan"]

[/caption]

Tabel 1 menunjukkan bahwa LRB berdiameter 10 cm dengan kedalaman 100 cm hanya menggunakan permukaan horizontal 79 cm2 menghasilkan pemukaan vertikal seluas dinding lubang 0,314 m2, berarti memperluas permukaan 40 kali yang dapat meresapkan air. Volume air yang masuk tertampung dalam lubang maksimum 7,9 liter akan meresap ke segala arah melalui dinding lubang, dan menimbulkan beban resapan maksimum 25 liter/m2. Perluasan permukaan resapan akan menurun dan beban resapan meningkat jika diameter lubang diperbesar.

Sebagai contoh bila diameter lubang 100 cm atau mendekati diameter sumur, maka perluasan permukaan yang diperoleh hanya 4 kali, dengan beban resapan yang meningkat menjadi 250 liter/m2. Peningkatan beban resapan mengakibatkan penurunan laju peresapan air karena terlalu lebarnya zone jenuh air di sekeliling dinding lubang, terlebih jika sebagian permukaan resapan dikedapkan dengan penguat dinding.

Kesimpulannya, LRB ternyata mampu menyerap air banjir lebih banyak dibanding sumur resapan, dengan syarat paralon hanya dipasang disekitar permukaan LRB untuk mencegah longsornya tanah. Fauna tanah harus mendapat akses untuk membuat biopori tanah hingga akhirnya tanah di sekeliling LRB akan menyerap air seperti spons. LRB akan berfungsi maksimal jika tanah disekelilingnya telah sehat yang dipicu oleh keberadaan sampah organik, sumber nutrisi fauna tanah.

Selain kemampuan menyerap air hujan yang berarti juga menabung air, keunggulan LRB lainnya adalah:

  • Murah dan mudah. Dibanding sumur resapan, pembuatan LRB jelas lebih murah. Harga satu alat biopori kurang lebih sepersepuluh biaya pembuatan sumur resapan. Juga mudah karena ibu rumah tanggapun bisa membuatnya, berbeda dengan sumur resapan yang membutuhkan tenaga tukang bangunan.
  • Sesuai dengan kearifan lokal. Apapun yang berasal dari alam, harus dikembalikan lagi. Air hujan, serasah dan limbah organik lain bersatu untuk menggemburkan tanah hingga menjadi rumah yang menyenangkan fauna tanah. Bandingkan jika limbah organik dibakar dan air hujan dibiarkan berlalu.
  • Meminimalisir sampah organik. Menurut perkiraan jumlah sampah organik di perkotaan adalah 60 – 70 % dari total sampah. Bisa dibayangkan jika jumlah itu bisa masuk ke LRB seluruhnya. Maka sisa sampah sebanyak 30 – 40 % akan dimaksimalkan oleh pemulung atau penggiat Bank Sampah. Sampah akhir hanya sekitar 10 % berupa limbah B3 atau sampah yang tidak bisa direcycle, sebetulnya merupakan kewajiban produsen sesuai amanah Undang-undang nomor 18 tahun 2008, ayat 15. Karena itu gerakan ini harus berkelanjutan sehingga diharapkan akan mengubah gaya hidup masyarakat dan berujung berkurangnya jumlah sampah perkotaan.
  • Berkelanjutan. Jika keberadaan dan manfaat LRB telah dipahami secara utuh maka akan tercipta hubungan simbiose mutualisme dengan sendirinya. Kita membutuhkan LRB untuk menyimpan air dan membuang sampah organik, sedangkan LRB membutuhkan ‘sentuhan’ manusia agar menjadi tempat yang disukai fauna tanah. Fauna/biota tanah berfungsi menyehatkan tanah, membuat tanah gembur sehingga berfungsi maksimal tatkala hujan turun yaitu mampu menyerap/ menyimpan air 10 kali dari berat awalnya.

Acapkali mengalami bencana tanah longsor, banjir, krisis air, dan yang terbaru adalah kebakaran hutan, manusia lupa bahwa jawaban-jawabannya tersedia di alam. Secanggih apapun inovasi, yang terbaik adalah yang memahami perilaku alam, tetapi yang terutama tentunya tindakan preventif karena mengobati selalu mahal nian harganya. Bahkan seringkali tebusannya adalah nyawa manusia.

Sumber:

Beritaagar.id
Kementerian Lingkungan Hidup
Ir. Kamir R. Brata
Gambar:
Pengertian definisi.blogspot.co.id

poskota.co

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun