Mohon tunggu...
Maria G Soemitro
Maria G Soemitro Mohon Tunggu... Freelancer - Volunteer Zero Waste Cities

Kompasianer of The Year 2012; Founder #KaisaIndonesia; Member #DPKLTS ; #BJBS (Bandung Juara Bebas Sampah) http://www.maria-g-soemitro.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Siapkan Payung untuk Pendidikan Sang Buah Hati

20 Oktober 2015   08:48 Diperbarui: 20 Oktober 2015   09:50 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="tak rela anak kehujanan"][/caption]

Bicara tentang masa depan, ada kisah Muhammad Rasullulah yang bisa menjadi patokan siapapun karena mengandung pemahaman universal:

Suatu hari, Rasulullah melihat sahabatnya turun dari unta dan menuju ke masjid untuk menunaikan shalat dhuhur berjamaah. Sahabat Rasulullah tersebut tidak mengikat untanya ke pohon. Melihat kejadian itu, beliau menegur sang sahabat:
"Wahai sahabatku,kenapa engkau tidak mengikat untamu di pohon?"tanya Rasulullah.
"Ya Rasulullah, aku berserah diri pada Allah. Jika Allah mentakdirkan kehilangan unta,maka aku akan menerimanya dengan tulus ikhlas."
Mendengar jawaban sahabatnya, Rasulullah berkata,
"Ikatlah untamu di pohon. Jika sudah diikat, untamu tetap hilang, barulah kamu pasrah, sabar dan ikhlas merelakan untamu yang hilang."
Mendengar nasehat Rasulullah, sang sahabatpun mengikat untanya di pohon.

Inti kisah diatas adalah kita harus mengutamakan ikhtiar, bukan pasrah. Jika ikhtiar sudah dilakukan sebagai orang beriman barulah kita pasrah.

Ajaran yang sangat bagus ini saya kaitkan dengan ikhtiar persiapan masa depan, khususnya masa depan pendidikan anak. Karena banyak sekali teman yang menunda dengan menggunakan kalimat ajaib: “gimana nanti”. Padahal siapapun tahu bahwa sebagai manusia kita tidak mungkin terhindar dari musibah yaitu maut yang setiap saat akan menjemput, mengalami kecelakaan berujung cacat permanen atau sakit kronis bertahun-tahun yang berakibat tidak dapat memenuhi kewajibannya.

Saya punya teman, sepasang suami istri, sehat bugar yang sedang antusias merintis usaha baru dengan mempertaruhkan semua hartanya, tiba-tiba sang suami divonis sakit jantung, dan meninggal dunia. Setahun kemudian istrinya menyusul. Anak-anaknya harus menjadi yatim piatu tanpa peninggalan harta sedikitpun, padahal keduanya masih duduk di bangku SD.
Jadi? Sahabat saya tadi sudah ‘berjudi’ dengan nasib karena tidak mempertimbangkan kemungkinan musibah yang pasti datang. Mirip kisah sahabat Rasullulah yang semula hanya bermodal ikhlas. Padahal seharusnya kepala keluarga memproteksi masa depan keluarganya.

Berapapun penghasilan kita saat ini, sebaiknya ada anggaran untuk investasi dan proteksi. Proteksi dibutuhkan agar rencana pendidikan anak terjamin, juga untuk dana pensiun. Sedangkan investasi ditujukan agar kita memperoleh manfaat atas simpanan/tabungan yang dimiliki serta agar simpanan tersebut dapat mengalahkan inflasi.

Karena keduanya, proteksi dan investasi dibutuhkan sebagai payung di masa depan, maka banyak perusahaan jasa keuangan memberikan bantuan proteksi keuangan sekaligus investasi bagi nasabahnya. Pemilihan investasi sangat tergantung pada kita sebagai nasabah, apakah termasuk profil risiko konservatif, moderat atau agresif.
Teman saya diatas jelas termasuk profil risiko yang agresif, yang terlalu yakin bisa “menawar” usia sehingga mempertaruhkan semua tabungan untuk usaha waralaba, bahkan rumah dan kendaraan roda 4 dijaminkan untuk menambah modal. Sayang takdir berkata lain, sebelum usahanya berjalan lancar, dia harus operasi jantung ke Singapura yang semakin menguras pundi-pundinya.Akhirnya rumah dan mobilpun harus diikhlaskan, hal yang membuat istrinya tertekan dan menyusul kepergiannya

***

Beberapa waktu lalu, Sanny bertandang ke rumah. Sanny bukan anak kandung saya. Tapi saya melihatnya tumbuh bak anak gadis sendiri. Kuliah, pacaran, menikah, mengandung anak pertama, melahirkan dan setelah anaknya berumur 2 tahun Sanny memutuskan kuliah lagi. Sekarang, setelah lulus S2, dia bingung kembali. Pilih kerja di perusahaan asing atau menjadi dosen di almamaternya?
Penyebab dia bimbang karena tentunya dia tidak bisa seleluasa seperti masa gadis. Bekerja sesuai minat dan kesenangannya di NGO dengan gaji dibawah UMR. Sedangkan sekarang, dia harus berpikir keras. Biaya hidup semakin membengkak, ditambah keinginan menyicil rumah, juga mempersiapkan rencana pendidikan bagi buah hatinya.
Sesudah plotting anggaran, gaji suami hanya cukup untuk biaya hidup dan menabung uang muka rumah. Sedangkan dana pendidikan anak diharapkan bisa ditutupi dari penghasilannya kelak. Masalahnya kedua lowongan kerja sama-sama menarik, yang satu karena besarnya gaji yang ditawarkan sedangkan satunya lagi, hummm ….. Sanny pernah bercita-cita menjadi seorang dosen.

Wah kebetulan, sudah lama saya ingin mencoba simulator pendidikan di web axa.co.id, tapi urung karena semua anak sudah kuliah. Saya sangat tertarik laman #untukanakku yang membantu orang tua memprediksi jumlah biaya pendidikan anak dengan memasukkan data orang tua dan anak dan cita-citanya.
Nah kini saya berkesempatan menghitung kebutuhan keluarga Sanny sekaligus membantunya memutuskan jenjang karir. Taraaa…..ini dia:

 

[caption caption="simulator pendidikan untuk Nena, buah hati Sanny"]

[/caption]

 

[caption caption="total biaya pendidikan yang harus disiapkan sejak dini"]

[/caption]

Hmmm…..sangat menarik ya? Teknologi informasi yang kian berkembang ternyata membantu masyarakat dalam menghitung biaya pendidikan anaknya dengan cermat. Paling tidak ada beberapa hal yang diperoleh setelah seseorang mencoba simulator pendidikan ini:

  • Jumlah dana. Penting sekali mengetahui jumlah dana yang dibutuhkan pada waktunya. Karena kita tidak mengetahui apa yang terjadi besok, bagaimana jika bernasib seperti keluarga yang saya ceritakan diatas? Apabila prediksi biaya pendidikan untuk anak meleset, tidak ada orang tua yang akan membantu menambah kekurangannya.
  • Tidak menunda. Semakin menunda, jumlah dana pendidikan yang berhasil dikumpulkan semakin kecil nilainya. Seseorang yang kini menganggarkan premi Rp 500.000/bulan untuk asuransi pendidikan , 20 tahun kemudian akan memperoleh Rp 750 juta, tapi jika dia menunda 5 tahun maka pada saat yang sama, jumlahnya hanya Rp 334 juta, apalagi jika dia menunda hingga 10 tahun, yang dia peroleh hanya Rp 137 juta.
  • Berhemat atau menambah penghasilan. Karena memiliki tujuan, sebagai orang tua kita akan berusaha mencapainya, baik dengan menghemat/tidak boros, atau mencari tambahan penghasilan. Uang kaget seperti warisan atau bonus akan disimpan sebagai investasi tambahan, tidak untuk membeli barang konsumtif apalagi untuk foya-foya.
  • Payung masa depan. Tanpa bayangan berapa jumlah dana yang dibutuhkan untuk buah hati kita kelak, kemungkinan besar kita akan tergoda mempertaruhkan apa yang dimiliki sekarang. Padahal diperlukan ikhtiar berupa payung agar siap jika tiba-tiba musibah datang.

Mungkin pilihan akhir sang anak tidak sama dengan rencana awal tapi sebagai orang tua kita telah menjalankan kewajiban yaitu menyiapkan biaya pendidikan baginya. Dan itulah yang terpenting, menyediakan payung bagi sang buah hati, agar tubuhnya tidak basah ketika tiba-tiba air hujan mengguyur bumi.

 

sumber gambar:

ceriwis.com

axa-mandiri.co.id

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun