Mohon tunggu...
Maria G Soemitro
Maria G Soemitro Mohon Tunggu... Freelancer - Volunteer Zero Waste Cities

Kompasianer of The Year 2012; Founder #KaisaIndonesia; Member #DPKLTS ; #BJBS (Bandung Juara Bebas Sampah) http://www.maria-g-soemitro.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ketika Warga Venezia Van Java Kreatif Menyindir

10 Desember 2012   02:49 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:55 1738
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_228603" align="aligncenter" width="552" caption="Sungai Cidago (dok. Danial Bin Fauzi)"][/caption]

Punakawan dalam pagelaran wayang menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia  kaya budaya sindiran. Sedangkan ditataran televisi nasional ada banyak acara bermuatan sindiran. Salah satunya adalah acara Sentilan Sentilun yang diperankan Slamet Raharjo dan Butet Kartarejasa yang sering melontarkan sindirin bermakna kritik pedas bagi ketidak adilan yang tengah berlangsung.

Tanpa sadar budaya sindiran mewarnai perilaku kita sehari-hari. Ketika hujan deras mengguyur Kota Bandung  dan dengan sekejap jalan Dago dibanjiri air cileuncang (air dari selokan ) yang melimpah hingga mirip bah.  Danial, penggiat Forum Hijau Bandung yang sempat mengabadikan kejadian tersebut menamai fotonya “Cidago”. Awalan “ci” yang berarti air biasanya digunakan untuk menamakan sungai seperti : Sungai Ciliwung, sungai Citarum, sungai Cidurian dan Sungai Cikapundung yang membelah Kota Bandung.

Kebetulan beberapa hari yang lalu penulis juga terperangkap dalam “sungai Cidago”, dan diantara derasnya hujan sempat mengabadikan beberapa foto, salah satunya:

[caption id="attachment_228606" align="aligncenter" width="536" caption="Sungai Cidago (dok. Maria Hardayanto)"]

1355104674532070130
1355104674532070130
[/caption]

Ketika jalan Dago yang prestisius dan  terletak di Bandung Utara bernasib naas demikian, bagaimana dengan Bandung Selatan? Penulis menerima kiriman foto jalan Pagarsih dari Los Ninos dengan narasi sebagai berikut:

[caption id="attachment_228607" align="aligncenter" width="462" caption="Jln. Pagarsih 28 November 2012 (Dok. Los Ninos)"]

13551048141477638817
13551048141477638817
[/caption]

Ini bukan hasil badai Katrina di Amerika, bukan banjir di Soreang, jg bukan dimana-mana melainkan di Jl. Pagarsih, Kotamadya Bandung, di wilayah selatan tepatnya... HARI INI Rabu 28 November 2012”

Sebetulnya jalan Pagarsih tidak terletak jauh di Selatan, lokasinya lebih dekat dengan pusat kota Bandung dan termasuk kawasan padat penduduk. Drainase di kawasan seperti itu biasanya rentan dizalimi oleh sampah dan penataan yang kurang tepat cenderung sembrono ketika proyek penggalian demi penggalian berlangsung.

Kesal karena tidak ada perhatian dari pemerintah maka beberapa hari kemudian Gangga Saputra mengolah digital foto tersebut dan membagikannya melalui jaringan facebook. Foto tersebut diberi narasi oleh T. Bachtiar Geo, pemerhati lingkungan Bandung sebagai berikut:

[caption id="attachment_228608" align="aligncenter" width="453" caption="Rafting Race di Jln. Pagarsih (oldig Gangga Saputra)"]

13551051602073001916
13551051602073001916
[/caption]

“Sistem drainasi kota yg salah urus, merupakan kunci utamanya. Bukankah dalam SKPD Kota Bandung itu ada yang mengurus jalan dan tata airnya? Masih adakah otoritas negara yang mengelola kotanya? Ayo, begitu hujan turun, mari "kukuyaan" di Jl Dago, di Jl Merdeka, di Jl Asia Afrika, di Jl Peta, di Jl Kopo, Jl. Dr. Setiabudy, dll, semoga menjadi momentum untuk kembali menyadarkan pengelola kota untuk mengelola kotanya”

Yang dimaksud kukuyaan oleh T. Bachtiar adalah permainan di sungai Cikapundung menggunakan ban dalam bekas kendaraan roda empat dan dipopulerkan oleh komunitas Sungai Cikapundung Bersih bersama Walikota dan Wakil Walikota Bandung.

[caption id="attachment_228609" align="aligncenter" width="484" caption="kukuyaan yang sebenarnya di sungai Cikapundung (dok. Maria Hardayanto)"]

1355105460585821732
1355105460585821732
[/caption]

Sepuluh koma tiga milyar rupiah didapat pemerintah Kota Bandung dari (The Economic and Social Commission for Asia and the Pacific atau UNESCAP) dan Kementerian Pekerjaan Umum untuk menuju Sungai Cikapundung bersih tetapi dilain pihak, pemerintah kota Bandung enggan memperhatikan drainase perkotaan.

Tidak hanya drainase, jalan di tengah kotapun dibiarkan menganga. Khususnya jalan yang tidak terlihat pejabat pemerintah kota Bandung walau berada di sisi selatan Pasar Baru yang notabene terletak di tengah kota , dibanjiri wisatawan dari mancanegara dan yang terpenting penyumbang PAD cukup besar.

[caption id="attachment_228610" align="aligncenter" width="431" caption="area di belakang Pasar Baru Bandung  di musim kemarau(dok. Maria Hardayanto)"]

13551058051248824812
13551058051248824812
[/caption]

Warga kota memang sudah capek. Karena itu tepat apa yang dikatakan Pidi Baiq, dosen FSRD ITB dan juga pendiri Band The Panas Dalam “Daripada marah-marah tidak jelas, lebih baik menyalurkan kritikan dalam bentuk sindiran”. Pakar gambar inipun membuat plesetan logo kota Bandung yang disebarkan lewat akun twitternya untuk menyindir.

[caption id="attachment_228612" align="aligncenter" width="500" caption="Bandung Kiwari (kanan) Bandung masa kini (oldig Pidi Baiq)"]

13551061751947825315
13551061751947825315
[/caption]

Sindiran menjadi pelepas  ketika amarah warga sudah dititik jenuh. Toh kritik pedas tak pernah digubris pihak yang berwenang. Seolah mengabaikan peristiwa 15 Desember 2011 silam ketika jalan Dr Junjunan yang merupakan teras depan kota Bandung menenggelamkan puluhan kendaraan roda empat dan kendaraan roda dua. Tidak ada perbaikan, tidak ada perubahan.

[caption id="attachment_228613" align="aligncenter" width="432" caption="Jln. Ters. Pasteur 15 Desember 2011 (dok. Gin Gin Ginanjar Noor)"]

13551068431754151175
13551068431754151175
[/caption] Melihat kotanya berubah menjadi kota sungai setiap hujan deras berlangsung, warga Kota Bandung menjuluki kotanya Venezia Van Java. Menggantikan posisi Paris Van Java yang sudah tidak tepat lagi disematkan. Tercatat ketinggian air mencapai 10-30 cm di sepanjang jalan Ir H Djuanda (Dago), Jln. Merdeka, Jln. Supratman, Jln. Wastukencana, Jln. Banda, Jln. LLRE Martadinata, Jln. Surya Sumantri, Jln. Dr. Djundjunan, Jln. Sukajadi, Jln. Pasirkaliki, Jln. Kebon Kawung, Jln. Stasiun Timur, Jln. Astana Anyar, Jln. Pasirkoja, Jln. Moh. Toha, Jln. Inggit Garnasih dan Jln Cikutra Barat. Jalan-jalan yang terletak di pusat kota Bandung sehingga mengakibatkan lalu lintas macet  setiap hujan turun.

Apa yang sebetulnya terjadi? Bukankah pemerintah kota Bandung cukup mempunyai anggaran untuk membenahi kotanya?

"Kita melihat dokumen kerja terkait permasalahan banjir Pemkot Bandung belum fokus pada edukasi masyarakat. Pemerintah lebih berorientasi pada proyek pembangunan sarana prasarana tanpa melihat pemberdayaan dan upaya menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk tidak membuang sampah,"ucap Dadan Ramdan, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi)

Pembangunan fisik memang perlu tetapi tanpa kesadaran warga masyarakat maka semua agar berujung kesia-siaan. Warga masyarakat bukan tidak menyadari bahwa salah satu penyebab  banjir adalah sampah, tetapi toh tetap membuang sampah sembarangan atau bahkan ke aliran air selokan/sungai.

"Setiap pembangunan fisik terkait upaya pencegahan banjir sudah seharusnya dibarengi dengan dialog bersama masyarakat. Masyarakat duduk bareng dengan  pemerintah uintuk menyampaikan gagasan,"ujar Dadan. Dengan demikian, masyarakat merasa dilibatkan dan pembangunan akhirnya bukan berasal dari kebijakan pemerintah saja, akan tetapi berasal dari keinginan masyarakat."Selama ini ruang dialog sudah ada di musrembang. Namun, musrembang hanya seremoni karena yang diundang hanya pejabat di lingkungan pemkot baik kecamatan, kelurahan dan RT/RW," ujarnya lagi

Mungkin apa yang dikatakan Dadan Ramdan terlalu sulit dilaksanakan karena acuan kerja pemerintah memang selalu proyek jangka pendek. Karena itu menarik mendengar pengalaman David Sutasurya, penggiat lingkungan dan  Direktur YPBB yang rupanya juga terperangkap banjir bersama anaknya, Nira (10 tahun).

“Kemarin saya di jalan Dago dan melihat sendiri bagaimana jalan itu berubah menjadi sungai. Sungai dadakan itu melewati gedung BAPPEDA dan ITB yang entah lebih banyak menghasilkan pahlawan atau koruptor. Ini kombinasi kebodohan, kemasa-bodohan dan keserakahan”. “Masalahnya bukan di drainase tetapi pada seluruh system tata air kota Bandung. Drainase cuma bagian kecil".

"Dibawah jembatan layang Dago ada turis lewat dan memotret sungai dadakan tersebut. Mungkin dipikirannya ini bangsa bodoh amat ya?”, lanjut David.

“Berarti bapak  bodoh dong”, tiba-tiba Nira menyeletuk.

Olala, rupanya David harus hati-hati berbicara di depan anak kecil. Karena kalimatnya akan segera disambar oleh wakil generasi penerus bangsa ini.

“Aduh Nira, skak mat ……… bunda termasuk dong?”

“Iya, hehe ……… bapak juga bagian kebodohan”, dan kamipun tertawa bersama, mengingat bahwa apa yang dikatakan Nira sangat benar adanya.

Peristiwa tersebut menyadarkan bahwa tanpa terasa kita sesungguhnya telah berperan sebagai punakawan-punakawan  di era digital. Mentertawakan orang lain dan mentertawakan diri sindiri dalam sindiran.

**Maria Hardayanto**

Sumber:

Pikiran Rakyat

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun