[caption id="attachment_228136" align="aligncenter" width="502" caption="halaman kampus ITB (dok. Maria Hardayanto)"][/caption]
Siapa yang tidak mengenal Kampus Gajah Duduk atau kampus Institut Teknologi Bandung (ITB)? Untuk satu atau dua keperluan saya sering harus kesana. Tentu saja bukan untuk menengok anak sulung yang pastinya akan merasa tidak enak apabila tiba-tiba emaknya muncul di kampus. Tetapi karena kampus ini peduli pada isu lingkungan hidup, mulai dari unit UGreen, Ganesha Hijau dan tentu saja himpunan mahasiswa Teknik Lingkungan sehingga sering mengadakan even yang berkaitan.
Siang tanggal 6 Desember 2012pun kurang lebih sama dan kebetulan saya mempunyai cukup waktu untuk berjalan-jalan di sepanjang jalan Ganesha, pintu masuk utama kampus gajah duduk selain jalan Tamansari. Tidak banyak yang berubah, masih ada yang duduk-duduk sambil membaca di bawah kerindangan pohon.
[caption id="attachment_228137" align="aligncenter" width="427" caption="trotoar di depan kampus ITB (dok. Maria Hardayanto)"]
Ada pula deretan kendaraan roda empat yang mengular penanda mahasiswa yang kesiangan datang atau kuliah siang.
[caption id="attachment_228142" align="aligncenter" width="470" caption="mengular.......... (dok. Maria Hardayanto)"]
Karena kendaraan dosen pengajar mendapat khusus di dalam area kampus ITB dan mahasiswa yang rajin datang pagi pasti memilih memarkir mobilnya di pelataran parkir kanan atau kiri kampus. Kebetulan saya tahu karena si sulung sering meninggalkan sarapan di rumah agar bisa memarkir kendaraannya di halaman dalam.
[caption id="attachment_228146" align="aligncenter" width="431" caption="parkir dalam (dok. Maria Hardayanto)"]
Hmmmm……… mirip showroom mobil, mungkin semua ada disini: mobil terbaru hingga mobil jadul (ada nggak ya? Kebetulan kok nggak lihat). Walau setahu saya banyak juga mahasiswa ITB yang hidup sangat sederhana.
Ada gula ada semut. Area kampus rupanya diminati penjual kaki lima (PKL) yang menjajakan buku, VCD bajakan dan aneka jajanan. Berbagai buku bekas dan baru ditawarkan PKL yang menggelar dagangannya. Beralaskan plastik atau dalam mobil kap terbuka. Demikian juga VCD bajakan dan pengemis banyak diketemukan di sepanjang jalan Ganesha. Sedangkan PKL makanan tak sungkan membawa meja dan kursinya untuk dijejer sepanjang jalan, mirip cafe tenda.
Di tengah deru kendaraan pribadi, bersliweran juga kendaraan umum untuk 2 trayek yang berbeda. Ditingkahi delman dan kuda tunggangan yang siap untuk disewa di seputar taman Ganesha. Sebuah taman yang terletak berdampingan dengan masjid Salman. Masjid besar yang menjulang di seberang kampus ITB.
[caption id="attachment_228176" align="aligncenter" width="495" caption="kuda sewaan (dok. Maria Hardayanto)"]
Taman Ganesha sendiri tidak hanya menjadi pelepas lelah mahasiswa ITB, tetapi banyak diminati anggota masyarakat lainnya. Beberapa lansia memilih menikmati berolahraga di taman ini. Begitu juga komunitas penyandang disabilitas, Bandung Independent Living Centre (BILIC) , menyukai taman ini untuk pertemuan padahal jalan menuju area ini cukup curam. Juga tidak terlalu bersih. Banyak sampah berserak diantara rumput walaupun tersedia cukup banyak tempat sampah.
Kebetulan, kemarin siang, seperti siang hari yang lain, ada pemandangan menarik yaitu kotak-kotak hitam di depan taman. Selama ini memang banyak karya anak muda Bandung yang ditampilkan di teras depan Taman Ganesha. Entah mengapa? Mungkin karena ITB identik dengan Bandung walaupun Bandung tidak berarti hanya ITB.
Kotak hitam berjumlah lima mengundang tanya beberapa orang yang berlalu lalang di depan kampus. Tapi sulit didekati karena ada patok yang melingkari. Ketika hari beranjak agak siang dan saya keluar dari pintu kampus barulah dapat melihat kotak-kotak tersebut yang telah dibuka dan ternyata:
[caption id="attachment_228151" align="aligncenter" width="564" caption="levitasi? (dok. Maria Hardayanto)"]
Ceritanya apa sih ini? Levitasi? Saya mencoba bertanya pada beberapa orang yang duduk di sebelah kiri dan nampaknya bagian dari pertunjukkan ini.
“Mmmmmmm…………bukan, ini bukan levitasi. Mereka penunggu beberapa gunung di Indonesia”.
kemudian ada yang menambahkan : "Kecuali gunung Merapi karena belum ada pengganti mbah Marijan", hahahhaha....gelaknya............^_^
[caption id="attachment_228152" align="aligncenter" width="418" caption="dok. Maria Hardayanto"]
Walah apa maksudnya? Melihat mereka tetap tidak mau menjawab dan hanya tersenyum-senyum dikulum, saya pergi melihat-lihat. Tapiiiii…………sebentar , nampak pemuda mendatangi satu persatu performer kemudian merapikan jaket dan…………… dia mempertunjukkan kebolehan duduk tanpa penyangga. Baca koran. Berhenti. Pasang wajah jemu. Koran terjatuh. Berolahraga sambil duduk dan seterusnya kurang lebih 15 menit.
[caption id="attachment_228159" align="aligncenter" width="470" caption="dok. Maria Hardayanto"]
[caption id="attachment_228155" align="aligncenter" width="431" caption="dok. Maria Hardayanto"]
Cukup lama mempertontonkan kemampuannya, si pemuda bangun dan pergi.
Karena tidak mendapat informasi yang cukup dari penonton yang bergerombol menonton aksi mereka, bahkan juga tidak ada informasi yang meyakinkan dari anggota komunitas tersebut maka saya mendatangi setiap performer.
[caption id="attachment_228169" align="aligncenter" width="424" caption="levitasi? (dok. Maria Hardayanto)"]
Dan trataaaaaaa……………ternyata dia menggunakan kursi untuk tempat duduk. Karena itulah ada karpet disetiap kursi terbang atau tongkat mereka.
[caption id="attachment_228162" align="aligncenter" width="359" caption="dok. Maria Hardayanto"]
Keyakinan saya bertambah ketika hujan rintik mulai turun dan para crew bersegera menutupi setiap performer dengan kotak hitam kembali. Sayang saya dilarang melihat “behind the scene”nya, Waaahhhhhhh…………ngga seru :P