Kendali di tangan anda, baik ketika sedang berseluncur di dunia maya atau melakukan transaksi online. Karena perkara kriminal tidak hanya terjadi di dunia maya tetapi berlaku juga di dunia nyata. Tentunya dengan berbagai tingkatan. Mulai dari penipuan timbangan di pasar tradisional, berbelanja buah buahan yang ternyata tidak semanis sampelnya hingga pembelian baju baru yang disesali kemudian karena “tidak seindah dan senyaman seperti ketika dicoba di toko”.
Pengalaman pertama berbelanja online saya dimulai tahun 2010 ketika melihat begitu banyak akun facebook yang menawarkan barang. Baju, mukena, tas, asesories, lampu hias. Ada produk murah, ada produk handmade, produk imporpun ada. Tergantung selera dan isi kantong.
Sesudah menimbang-nimbang serta kebetulan tidak punya waktu untuk hunting, maka mulailah saya mencoba membeli tas. Kebetulan pilihan jatuh pada produk dimana sang penjual memiliki akun facebook dan blog. Asyik juga memilih barang halaman per halaman. Item per item. Sesudah merasa cocok, saya mengirim short messages service (SMS) pada penjualnya, seorang ibu muda seperti nampak pada foto profilnya.
Ternyata asyik, bisa menawar dan tertawa-tawa seperti halnya transaksi di dunia nyata. Sesudah harga disepakati, keesokan harinya saya mentransfer sejumlah uang sesuai nomor rekening bank yang dikirim via sms, daaannnnnn……deg-degan. Mengapa? Karena ibu penjual tidak menanyakan alamat saya. Antara bingungg dan ingin tahu: “Pembeli ini jujur ngga ya?”. Padahal apabila ternyata tidak jujur, bukankah saya akan gigit jari. Membayangkan akan mendapat kiriman tas baru yang bagus , eh...... ternyata tertipu. Uang hilang, barang tidak didapat.
Untunglah, menjelang sore ibu muda tersebut mengirim sms: “Bu, maaf alamat rumahnya dimana? Saya mau mengirim barang”. Alahamdulillah, ternyata saya bertemu dengan penjual yang jujur. Kurang lebih dua hari kemudian taspun saya terima. Bagus sesuai gambar, sayangnya ……....… agak kekecilan. Nah ini kesalahan saya, hanya membayangkan tas dengan ukuran sekian kali sekian kemudian memesan dan menawar tanpa menanyakan spesifikasi produk.
Sesudah itu, saya lebih cermat, sebelum memesan saya membaca spesifikasinya, memperhatikan bahan baku produk dan mulai membandingkan barang yang diperlukan antar situs dan akun Facebook.
Dari situ pulalah saya mengenal penjual yang “musiman” dan penjual yang tangguh. Penjual tangguh setiap hari meng-up date produk terbaru/memposting ulang produk. Hingga variasi-variasi posting, misalnya ada penjual tas/baju yang menyelingi postingannya dengan resep makanan dan tips kecantikan. Testimoni kepuasan pembeli, tanda pengiriman barang hingga tumpukan paketpun terkadang mereka posting.
Selain tas dan buku, saya tidak berani membeli produk lain semisal baju. Takut salah dan akhirnya hanya akan menjadi penghuni gudang karena tidak sreg dibadan.
Tapi pernah juga saya membeli sepatu, dengan pertimbangan, saya mengenal merek sepatu tersebut. Ukuran yang tepat dikaki nomor berapa, saya hafal. Maka sesudah memilih dari album sepatunya, saya mengirim sms pada penjual yang langsung bersista ria. Hingga saya menduga si penjual adalah perempuan. Namun ketika dia mengirim nomor rekening, ternyata: laki-laki. ^-^ Rupanya saya salah perkiraan. Penjual sepatu inipun ramah, bisa diajak tawar menawar sebelum akhirnya harga deal dan keesokan harinya saya mentransfer sejumlah uang. Ternyata………saya kembali deg-degan, takut ditipu :P
Tapi berbeda dengan ibu muda terdahulu, pria penjual sepatu ini langsung menanyakan alamat pengiriman dan dua hari kemudian, trataaaa……………… sepatu tiba dirumah. Asyiknya lepas dari rasa gelisah. Gegap teknologi mungkin ya, ingin belanja online yang mudah tetapi belum terbiasa sehingga mudah berpikir negatif.
Belanja online sendiri sebetulnya sangat berguna, tidak hanya bagi mereka yang sibuk tapi juga untuk ibu rumah tangga, karena:
- Bisa memilih barang dengan efektif dan efisien. Walau tidak pernah meluangkan waktu khusus untuk berbelanja di mall, ada waktunya saya mampir karena “sekalian”. Dan ternyata membuang waktu cukup banyak. Tekadang barang yang saya butuhkan ada di gudang/di toko lain, sehingga petugas toko harus kesana. Sungguh berbeda dengan display produk online. Semua jenis barang dan spesifikasinya ditampilkan dengan lengkap. Kita cukup mengetik jenis produk yang dibutuhkan maka halaman web akan menampilkan produk tersebut. Praktis bukan?
- Menyingkat waktu berbelanja. Berapa jam perjalanan ke toko? Berapa jam berdandan sebelum bepergian? Bahkan kaum priapun harus tampak rapi ketika bepergian bukan? Sesudah itu kita harus hunting dari satu toko ke toko berikutnya. Terkadang menunggu penjaga toko mencari barang yang diperlukan, mencoba, tidak sreg, menawar, balik lagi …… wuaduh apabila ada cara mudah mengapa harus menggunakan yang ribet?
- Tidak tergoda barang lain. Mungkinkah godaan ini hanya menimpa kaum perempuan? Ketika berangkat hanya berniat membeli tas putih tetapi ketika pulang bukan hanya tas putih yang didapat tetapi juga asesories, baju hingga lap piring. Bahkan terkadang pulang tidak membawa tas yang dibutuhkan karena tidak ada tas putih yang “sreg” dihati. Begitu juga ke toko buku, niatnya sih hanya membeli buku “A”, eh kok ada buku “B” dan “C” yang menarik hati. Maka berhentilah kita untuk melihat-lihat dan membeli. Bahkan terkadang pulang tidak membawa buku “A” karena stoknya habis. Aduhhhh……… :P
- Berbelanja online juga membantu kita membeli produk yang sulit didapat. Beberapa waktu lalu saya harus bergerilya dari satu toko buku ke toko buku yang lain karena membutuhkan satu buku. Bursa buku murahpun saya datangi. Hasilnya nol besar. Buku akhirnya berhasil saya beli via belanja online dengan cara mengetikkan judul buku. Gampang bukan?
Sesuai kalimat awal; kendali di tangan kita, mungkin kiat-kiat berbelanja online berikut dapat berguna:
- Hanya membeli di situs yang terpercaya dan menggunakan pihak ketiga sebagai jasa pelayanan yang akan men"jewer" penjual yang nakal.
- Tidak terkecoh harga murah. Membanjirnya iklan ponsel dan barang elektronik lainnya dengan harga yang sangat murah seharusnya membuat kita waspada. Kok bisa sih mereka menjual barang semurah itu. Ada kemungkinan itu barang blackmarket. Apabila tergiur barang blackmarket di toko resmipun banyak. Keunggulannya, toko resmi akan memberikan service purna jual pada barang yang rusak.
- Tidak terkecoh potongan harga. Biasanya penjualan online menawarkan potongan harga apabila kita membeli lebih dari satu barang. Kisarannya antara 5-10 %. Selain boros (kita kan belum tentu perlu 3 tas/sepatu/baju sekaligus), ini untuk mengantisipasi kita tertipu besar-besaran.
Cara saya berbelanja memang setengah online, yaitu mengirim sur-el / sms pada pemilik barang atau menelfonnya apabila barang yang dibeli harus dilihat. Misalnya mobil bekas pakai. Kemudian mentransfer uang sesuai kesepakatan dan menerima barangnya.
Tapi bukankah hidup ini harus dijalani dengan nyaman. Belanja online hanya sarana. Jadi, pilihan di tangan kita apakah menyukai berbelanja dengan cara hunting dari satu toko ke toko lainnya. Atau belanja full online yaitu bertransaksi dengan menggunakan paypal/kartu kredit.
Ataukah seperti yang saya jalani, belanja setengah online. Cara yang ternyata cukup mengasyikkan, karena usai mengirimkan order kita mempunyai waktu berpikir ulang sebelum transfer uang pembayaran. Apabila total pembelian dianggap terlalu banyak, order bisa dibatalkan semua atau reorder dengan membeli sebagian.
Beda halnya dengan di toko nyata, banyak faktor bisa menyebabkan kita mengambil keputusan pembelian yang salah. Dan tentu saja tidak bisa dibatalkan. Maka gigit jarilah kita menjelang akhir bulan, isi dompet menipis hanya gara-gara barang yang kurang/ tidak dibutuhkan.
**Maria Hardayanto**
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H