Mohon tunggu...
Maria G Soemitro
Maria G Soemitro Mohon Tunggu... Freelancer - Volunteer Zero Waste Cities

Kompasianer of The Year 2012; Founder #KaisaIndonesia; Member #DPKLTS ; #BJBS (Bandung Juara Bebas Sampah) http://www.maria-g-soemitro.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Gubernur Banten, Dengarkan Kami..........

26 Januari 2012   04:00 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:26 1142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_166325" align="aligncenter" width="604" caption="Hard days to get a school (dok. Arif Budiman Effendi)"][/caption] Tahun 1985, ketika presiden Suharto sedang asyik menebar senyum magisnya, bercerita tentang negaranya yang sedang tinggal landas dan berhasil swadaya pangan. Nun berjarak sekitar 130 km dari istananya, masyarakat Lebak Banten berjibaku dengan ketiadaan listrik, keterbatasan pangan, ketiadaan air bersih, jalan-jalan berlubang seluas kubangan kerbau. Anak-anak Sekolah Dasar (SD) Inpres setempat harus "nyeker" (bertelanjang kaki) atau bersendal jepit dan menempuh jarak jauh untuk tiba di sekolahnya. Dalam rangka riset oralit dan dana bantuan USAID untuk masyarakat, penulis beruntung karena berkesempatan tinggal dirumah 3 guru Inpres yang lokasinya berseberangan dengan sekolah tempat mereka mengajar. 3 guru untuk 6 kelas. Setiap kelas mempunyai murid 10-15 orang siswa. Berseragam merah putih kumal, berbekal sebuah buku yang digulung dan diselipkan di saku kemeja serta pensil yang sudah diraut pendek hingga harus disambung kertas dan karet gelang agar pensil tersebut dapat digenggam. Para gurupun hidup seadanya. Selain harus menempuh jarak jauh untuk mengambil honor mengajar, jumlahnya sangat minim. Sehari-hari mereka makan nasi dengan ikan asin atau sayuran yang dikirim para orangtua murid. Di malam-hari mereka harus bergelap-gelap ria apabila lampu petromaks mendadak bermasalah. Dan keesokan harinya harus mandi - cuci - kakus di air sungai yang mengalir tidak jauh dari situ. Karena itu ketika pada 17 Oktober 2000, provinsi Banten diresmikan sebagai daerah otonomi yang tidak harus menginduk pada provinsi Jawabarat yang dianggap mengabaikannya. Penulis berharap. Masyarakat Banten berharap. Pemerintah pusatpun percaya bahwa pemerintah daerah Banten sanggup menyejahterakan warganya. Tapi apa lacur? Sebelas tahun berselang, pemandangan inilah yang  menyebar di dunia maya hingga ke seantero dunia berkat keampuhan dunia maya.

13275187621397076165
13275187621397076165
Anehnya media malah sibuk mengaitkan masalah Banggar DPR yang sudah menghamburkan anggaran Rp 20 milyar untuk "secuplik" ruang 10x10m. Mereka memang salah sih, tapi bukankah yang seharusnya diminta pertanggungjawaban adalah Kepala pemerintah provinsi Banten. Ratu Atut. Bagaimana mungkin menafikan  peranan penting Ratu Atut Chosiyah yang dalam postingannya di Kompasiana bercerita tentang keberhasilan Banten dan mengusung slogan "Bersama Teruskan Pembangunan Banten"? Tanggal 17 - 18 Agustus 2011, penulis mendapat data dari Uday Suhada (AIPP) tentang Dugaan Korupsi dana hibah sebesar Rp 340.463.000.000 dan bantuan sosial Rp 51 milyar terkait Pilkada 2011 yang diikuti Ratu Atut sebagai incumbent.  Data-data tersebut didapatnya dari Sekda Banten, Muhadi. Tanda tanya muncul karena :
  • Kejanggalan penerima dana hibah karena memiliki pertalian kekerabatan dengan Ratu Atut. Yaitu : PMI Provinsi Banten (Rp.900.000.000,-) yang diketuai Ratu Tatu Chasanah - adik Ratu Atut Chosiyah; KONI Banten (Rp.15.000.000.000,-) yang diketuai Ady Surya Dharma - politisi Partai Golkar (partai pendukung Atut); KNPI Provinsi Banten (Rp.1.500.000.000,-) yang diketuai Aden Abdul Khalik - adik tiri Ratu Atut Chosiyah; Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P2TP2A) pimpinan Ade Rossi, menantu Atut mendapat dana Rp 1,5 miliar; HIMPAUDI (Rp.3.500.000.000,-) pimpinan Ade Rossi - menantu Ratu Atut Chosiyah; Tagana Provinsi Banten (Rp.1.750.000.000,-) yang diketuai Andhika Hazrumi - anak Ratu Atut Chosiyah; GP Ansor Kota Tangerang Selatan (Rp.400.000.000,-) yang diketuai Tanto W Arban, menantu Ratu Atut Chosiyah.Suami Atut, yakni Hikmat Tomet, yang merupakan Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah, juga kecipratan Rp 750 juta.
  • Dana Bantuan Hibah lainnya yang tidak jelas nama organisasinya diantaranya TPHD/UMROH untuk 150 orang yang disebut "Tokoh" yang menghabiskan dana Rp. 7.500.000.000,-; Safari Ramadhan yang menelan biaya Rp.3.600.000.000,-; padahal dalam Daftar Penerima Bantuan tegas disebutkan nama organisasi, bukan nama kegiatan.Hasil analisis lainnya juga ditemukan kejanggalan, disebutkan sejumlah forum birokrasi seperti Forum RW (Rp.7.845.905.800,-); Forum Camat (Rp.930.000.000,-); Asosiasi Kepala Desa (APDESI) Prov. Banten dan Kab/Kota (600.000.000,-); Badan Pusat Statistik (BPS) Banten Rp.600.000.000,-. Dalam daftar penerima Bantuan Hibah tercantum seluruh Perhimpunan Istri Aparat Penegak Hukum di Provinsi Banten, seperti Kejaksaan Tinggi, Kejaksaan Negeri, Polda, Polres, Polair, Pengadilan Tinggi, Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi Agama, Pengadilan Negeri Agama, Denpom, Kodim, Batalyon, Pusdiklatpur, Lanud, Lanal, hingga Danrudal.
  • Tidak ada penjelasan yang jelas dan masuk akal mengapa anggaran ratusan milyar dibagi-bagikan secara boros sebagai dana hibah tidak hanya kepada mereka yang memiliki kekerabatan tetapi juga kepada instansi yang terkait dengan kemenangan pilkada seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Pengamanan Pemilukada.
  • "Di daerah pantura Banten ada beberapa kelompok masyarakat yang diminta mengirimkan proposal bantuan. Padahal selama ini mereka tidak pernah dan tidak butuh bantuan tersebut," kata Kholil Ismail, Ketua Aliansi Masyarakat Peduli Uang Rakyat (AMPUR).
  • 128 dari 160 nama organisasi penerima hanya tertulis "Bantuan Sosial Daftar Terlampir", akan tetapi pemerintah Provinsi Banten tidak melampirkannya.Padahal banyak diantaranya menerima uang ratusan juta rupiah bahkan diatas Rp 1 milyar.
  • ICW menemukan 30 % dari penyaluran dana hibah tersebut adalah fiktif. Misalnya ada pihak yang mendapat bantuan sekian puluh juta rupiah. Tapi dalam catatan yang ada di Pemprov nilainya lebih dari itu. Bahkan ada yang tercatat menerima, ternyata setelah dicek tidak menerima. Sedangkan untuk aliran dana hibah yang mengalir kekerabat Ratu Atut, ICW mengomentari sebagai suatu penjarahan.
  • "Tahun 2011 belanja hibah dan bansos di Pemprov Banten melonjak hingga 285%", jelas Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Yuna Farhan. Suatu peningkatan anggaran yang sangat drastis apabila dikaitkan dengan kepentingan Pilkada..

Ampur sudah melaporkan kecurigaan tersebut pada Kejati Banten, Aliansi Independen Peduli Publik  (AIPP) melapor ke KPK. Sedangkan ICW melaporkan kejanggalan dana hibah Banten pada Kemendagri dan Kemenkeu. Tapi hingga tulisan ini diposting laporan-laporan tersebut dianggap angin lalu. Terbukti Ratu Atut menggandeng Rano Karno sebagai wakil gubernur dengan mulusnya. Pemprov Banten sendiri menolak adanya penyelewengan dana hibah dan bantuan sosial. "Bantuan dana hibah ini diberikan sesuai dengan Permendagri Nomor 37 Tahun 2010, dan tidak ada yang menyalahi hukum," kata Sekda Banten, Ir. H. Muhadi, MSP. Sekda Banten boleh menolak, Ratu Atut juga bisa mengabaikan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang mengindikasikan adanya penyelewengan sebanyak hampir Rp 1 triliun dalam APBD Banten tahun 2007-2010. Tetapi gambar-gambar dibawah ini tidak bisa menutupi kenyataan kegagalan Ratu Atut dalam mengemban amanah dalam menyejahterakan rakyat Banten. [caption id="attachment_166257" align="aligncenter" width="640" caption="Tiga murid SD Negeri 02 Sangiangtanjung meniti jembatan miring saat menyebrangi Sungai Ciberang menuju rumah mereka (dok. Asep Fathulrahman/Antara)"]

13275188421255074917
13275188421255074917
[/caption] [caption id="attachment_166259" align="aligncenter" width="396" caption="hanya anak yang bisa berenang yang berani menggunakan jembatan ini, yang lain harus berjalan memutar sejauh 6 km (dok. Asep Fathulrahman/Antara)"]
1327518986948122374
1327518986948122374
[/caption] Karena ybs memilih menghambur-hamburkan uang rakyat untuk dana hibah. Bagaimana infrastruktur yang tak kunjung diperbaiki dan dibangun? Bagaimana jangkauan fasilitas listrik? Bagaimana bangunan-bangunan sekolah dan sarananya? Kiranya rakyat Banten diharapkan berswadaya, seperti akhir kisah anak-anak SD ini yang mendapat fasilitas rakit untuk berangkat pulang dan pergi menuntut ilmu. Dan sebagai penonton kitapun hanya bisa mengelus dada, .........  KECEWA! **Maria Hardayanto** Sumber data :

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun