[caption id="attachment_233792" align="aligncenter" width="720" caption="Bandung Berkebun (dok. Ridwan Kamil)"][/caption] Dalam salah satu tulisannya di Kompasiana, mantan Menteri Riset dan Teknologi Indonesia, Kusmayanto Kadiman mengutarakan idenya untuk memanfaatkan lahan kosong. Diantaranya lahan terbuka yang dikelola PT Jasa Marga dan dibiarkan hanya ditumbuhi rumput. Sayang sekali pak KK tidak aktif di twitter sehingga tidak bertemu dengan Ridwan Kamil yang melihat banyak lahan menganggur lewat Google Earth dan menggagas urban farming. Kolaborasi  dua orang hebat ini pastilah akan mempercepat proses penghijauan kembali lahan menganggur. Karena hanya berbekal 19.600 lebih followers dan aktif bertwitter ria, Ridwan Kamil mampu membangun komunitas Indonesia Berkebun tanpa modal. Setiap follower menyumbang, entah tanah kosong, kompos, bibit, pengetahuan cara bertani organik dan waktu serta tenaga. Para followers tersebut bergabung dengan komunitas berkebun dikotanya masing seperti : Jakarta Berkebun, Bandung Berkebun, Banten Berkebun, Makasar Berkebun dan seterusnya. Setiap komunitas mempunyai logo sama tetapi berbeda warna. Kini, dalam waktu kurang lebih setahun telah terbentuk 20 komunitas berkebun di 20 kota besar Indonesia. Bahkan pada acara puncak Konferensi Tunza 2011 di Bandung, ratusan peserta Konferensi Tunza mendeklarasikan komitmennya untuk mengimplementasikan urban farming di negaranya masing-masing. Luar biasa bukan? Atas aktivitasnya tersebut, Ridwan Kamil mendapat penghargaan "Google Web Heroes" karena sanggup membuktikan kegunaan lain internet yaitu sebagai media perubahan dan akselerasi perubahan itu sendiri. Setelah sebelumnya internet hanya dikenal kegunaannya sebagai  media sosial, mencari informasi dan sarana hiburan. Ada kisah menarik dari Bandung Berkebun, kota asal Ridwan Kamil dan kota kedua setelah Jakarta telebih dulu melaksanakankan urban farming. Sekelompok gadis cantik berniat mengkonfirmasi kesanggupan Ridwan Kamil sebagai narasumber di universitas mereka, Universitas Maranatha. Ridwan Kamil yang sedang memulai rapat Bandung Berkebun mengira mereka adalah followersnya yang tertarik menjadi sukarelawan. Maka ditunjuklah mereka menjadi pengurus inti Bandung Berkebun. Mungkin karena sungkan keempat mahasiswa cantik inipun menerima. Sekarang siapa yang tidak mengenal Mabet , Ebbie , Anggi dan Vivi ? Diawali dengan nol pengetahuan tentang urban farming, kemudian ingin tahu, tertarik dan kini, merekalah motor penggerak urban farming dalam komunitas Bandung Berkebun. Semua aktivitas Bandung Berkebun, mereka up-date di twitter sehingga virus berkebun semakin menyebar dan semakin banyak pula yang tertarik menjadi anggota. Pada perhelatan Konferensi Tunza 2011 di Bandung, mereka jugalah yang aktif men-tweet dan mengumpulkan sukarelawan. Karena ada banyak tugas yang harus dipersiapkan dan dikerjakan sebelum acara puncak tanggal 27 September - 1 Oktober hingga sesudahnya, yaitu :
- "Menghijaukan" rooftop Sasana Budaya Ganesa, tempat Konferensi Tunza digelar dengan instalasi yang ditanami sayuran dan bunga-bungaan.
- "Menghijaukan" jalan Siliwangi (street farming) dengan tanaman hias.
- Workshop urban farming.
- Deklarasi urban farming yang ditanda-tangani peserta Konferensi Tunza. [caption id="attachment_233793" align="aligncenter" width="640" caption="deklarasi Tunza (dok. Bdg Berkebun)"]
13574034051463255597
Media sosial baik twitter maupun facebook memegang peranan dalam menginformasikan, mengingatkan hingga mempublikasikan kegiatan mereka. Bahkan ketika subuh menjelang tanggal 27  September para gadis cantik ini masih berjibaku bersama kurang lebih 40 sukerelawan lainnya di rooftop Sabuga, Ridwan Kamil memberi support lewat twitter dari rumah botolnya di Cigadung, Bandung. Kehadiran Mabet, Ebbie, Anggi dan Vivi tentu tidak akan berarti tanpa kehadiran pengurus dan anggota Bandung Berkebun lainnya. Mereka hanyalah contoh "generasi MTV" yang sebelumnya hanya mengenal aktivitas berkebun dari layar televisi, internet atau majalah yang mereka baca. Tapi berkat media sosial, kini mereka tidak hanya sekedar ikut-ikutan berkebun tetapi juga menyebarkan semangat berkebun kepada "generasi MTV" lainnya. Cukupkah hingga penyebaran semangat berkebun? Tentu saja tidak. Diperlukan pengetahuan memadai sehingga kegiatan berkebun tidak hanya sekedar kegiatan hura-hura. Berkat media sosial, para pakar berkebun tergerak untuk membagikan ilmunya dengan gratis dan mendatangi kota-kota yang masuk dalam komunitas Indonesia Berkebun. Para pakar tersebut tergabung dalam Akademi Berkebun. Sehingga diharapkan setiap anggota minimal mendapat 3 keuntungan kegiatan berkebun yaitu:
- Edukasi. Kegiatan berkebun sebenarnya mudah dan murah, tetapi era revolusi hijau mengubah kegiatan ini menjadi mahal. Benih, pupuk, kompos, hingga pestisida menjadi komoditi yang mahal harganya. Akademi Berkebun membantu setiap pesertanya mengubah paradigma ini. Kembali ke era pertanian organis yang ramah lingkungan.
- Ekologi, lahan yang digunakan berkebun menjadi subur dan menjadi sarana resapan air sehingga air hujan tidak meluap ke jalan umum dan menyebabkan banjir.
- Ekonomi, diharapkan hasil berkebun dapat membantu perekonomian pengelolanya.
Kelihatannya semua sudah berjalan ideal dan sempurna. Ada lagikah yang kurang. Ya,ada! Kekurangan itu adalah "jembatan" perizinan tanah-tanah terlantar. Hingga kini tanah yang digarap baru sebatas milik warga yang mengetahui dan peduli kegiatan Indonesia Berkebun. Sedangkan tanah-tanah terlantar yang dimiliki warga yang tidak peduli kegiatan urban farming dan tidak diketahui keberadaannya ternyata lebih banyak lagi. Karena itulah kerjasama dengan tokoh sekaliber pak KK yang mempunyai jejaring akan sangat membantu. Apalagi apabila presiden Indonesia peduli akan hal ini. Dengan gaya pemerintahan setengah monarki maka "sendika dawuh" (apapun sabda paduka :bhs Jawa, pen) terbukti ampuh. Persis seperti ketika presiden SBY menyerukan untuk menanam pohon Trembesi. Bisa dibayangkan apabila presiden SBY menyerukan untuk melaksanakan urban farming di tanah-tanah terlantar, tentunya kini ibu-ibu rumah tangga tidak usah berkeluh kesah karena harga cabai yang melangit. Seberapa tinggipun para tengkulak "menggoreng" harga produk pertanian, para ibu rumah tangga akan berseru : "Emang Gue Pikirin!" **Maria Hardayanto** Dokumentasi foto : Bandung Berkebun
[caption id="attachment_233794" align="aligncenter" width="576" caption="Bdg Berkebun di Konferensi Tunza (dok. Bdg Berkebun)"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H