“Neng, pepaya neng......... pepaya asli Thailand neng, dijamin manis”, rayu tukang buah ketika saya tertarik melihat-lihat buah yang dijajakan dalam gerobag buah.
“Ah mang, ini mah hasil petani Purwakarta, jangan diaku-aku buah impor dari Thailand atuh, kasihan petaninya”.
“Eh si eneng nggak percaya,sueerr neng, ieu mah buah impor dari Thailand. Asli! Manis! Buahnya tebel! Lihat warnanya juga merah. Buah lokal mah tipis, ngga manis dan warnanya kuning atuh neng.
Mau tidak mau saya tersenyum. Tidak tahu siapa yang harus disalahkan. Pedagang buah yang meyakini bahwa semua produk impor lebih hebat daripada produk lokal? Atau berbagai pihak yang seharusnya membantu mengkampanyekan pepaya hasil pemuliaan IPB?
Buah pepaya yang diklaim buah impor tersebut memang hasil pemuliaan Prof. Dr. Ir. Sriani Sujiprihati dan rekan-rekannya sesama dosen Ilmu Pertanian Bogor (IPB). Sejak tahun 2001, mereka telah berkeliling ke seluruh Indonesia untuk mengumpulkan berbagai verietas papaya.
[caption id="" align="aligncenter" width="380" caption="Prof. Dr. Ir. Sriani Sujiprihati"][/caption] sumber gambar : disini
Dari 50 jenis buah papaya yang dikumpulkan, dilakukan seleksi hingga akhirnya menghasilkan riset beberapa varietas papaya unggulan. Yaitu pepaya arum atau varietas IPB-1 yang masih belum dilempar ke pasaran karena masih terdapat bintik-bintikdi kulitnya. Pepaya arum ini sangat menjanjikan karena hanya berukuran 14 cm, buah dagingnya harum dan sangat manis, berkadar vitamin tinggi dan mempunyai umur petik hanya 140 hari.
Kemudian ada pepaya prima atau IPB-2 yang juga masih dilakukan pengujian. Buahnya lonjong dengan panjang bisa mencapai 29 sentimeter.
Pepaya carisya atau IPB-3 sudah dilempar ke pasar dan diterima dengan baik. Bentuknya hampir sama dengan pepaya arum tetapi lebih ramping. Tekstur daging buah agak keras sehingga lebih enak dimakan dengan rujak.
Pemuliaan buah pepaya yang dianggap paling sukses adalah pepaya sukma atau IPB-6 dan pepaya calina atau IPB-9. Pepaya sukma disebut pepaya Bangkok atau ada juga yang menyebut papaya Thailand seperti kata si emang buah yang saya temui. Berbentuk lonjong dengan panjang sekitar 35 cm. Warna kulitnya hijau dan halus sedangkan warna daging buahnya jingga dan rasanya manis.
Hasil pemuliaan IPB yang paling menguasai pasar nasional adalah pepaya calina dengan label pepaya California. Berukuran sedang dengan bentuk seperti peluru, berat buah pepaya calina umumnya rata-rata 1,2 kg/buah. Begitu boomingnya pepaya California hingga dengan mudahnya kita akan menemukan banyak blog yang berisi petunjuk cara menanam maupun beritakeberhasilan budidaya pepaya California tanpa ada satupun yang menyebutkan bahwa nama asli buah pepaya tersebut adalah papaya calina.
Sebetulnya tanpa embel-embel Californiapun, pepaya calina akan merajai pasaran pepaya nasional karena ukuran buah yang tidak terlalu besar, daging buah tebal dan rasanya sangat manis. Beberapa label malah menyebutkan sederet vitamin yang dikandung buah pepaya ini untuk memikat pembeli.
Alasan utama menggunakan nama California, mungkin untuk mendongkrak harga. Di tingkat petanipun harga pepaya California dihargai Rp 2.000-Rp3.000/kg sedangkan ditingkat konsumen, harga pepaya akan melambung hingga 2 atau 3 kali lipat. Berbeda dengan pepaya yang belum dimuliakan, harganya sangat rendah karena rasanya kurang manis dan berukuran sangat besar.
Berhektar-hektar tanah Priangan selatan dan daerah Bogor sekarang ditanami pepaya. Karena jenis tanaman ini tumbuh subur di ketinggian 300-500 meter diatas permukaan laut. Setiap hektar dapat ditanami hingga 1.500-1700 pohon papaya yang sudah bisa dipanen setelah berumur 7-9bulan selama 4 tahun. Sekali panen setiap pohon pepaya calina dapat menghasilkan 20-50 buah. Selain waktu panen yang relatif pendek, rasanya yang manis dan berdampak pada harga pepaya, pepaya calina disukai karena pohonnya lebih pendek daripada pohon pepaya kebanyakan. Paling tinggi hanya mencapai dua meter.
Walau hasil kerja kerasnya diakui para pedagang sebagai buah impor dari California, Prof. Dr. Ir. Sriani Sujiprihati tidak berkecil hati dan terus berusaha menghasilkan buah lokal yang berkualitas. Karena meyakini produktivitas tinggi dan kualitas prima akan mendongkrak harga sehingga otomatis membantu kesejahteraan petani. Beberapa jenis buah impor memang murah harganya. Tetapi dicurigai masih mengandung residu karena Indonesia belum mempunyai standard kesegaran buah impor seperti negara lain semisal Australia. Kesegaran buahpun pasti berkurang jauh karena buah impor harus menempuh perjalanan yang cukup jauh.
Jadi dengan berbagai keunggulannya : manis, segar dan bebas residu, masihkah kita tidak mempercayai hasil karya anak bangsa dan mengaku-aku produk impor untuk produk hasil karya anak negeri?
Mungkin perlu waktu.
Mungkin perlu bantuan banyak pihak untuk mengkampanyekannya. Seperti ketika Jusuf Kalla mengkampanyekan sepatu Cibaduyut tanpa harus melabellinya dengan merk Steve Madden (walau janggal juga kalau diberi merk Ujang, ya?^_^)
Mungkin berita hasil pemuliaan IPB ini kalah seksi dibanding isu susu yang tercemar bakteri sakazaki?
Mungkin ada usul?
[caption id="attachment_116598" align="aligncenter" width="300" caption="pepaya California dengan segala khasiatnya (tertera di label) "][/caption] [caption id="attachment_116600" align="aligncenter" width="300" caption="sueerrr neng, ini buah impor (dok. Maria H.)"][/caption] [caption id="attachment_116601" align="aligncenter" width="300" caption="Pepaya California dengan berbagai merk "][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H