[caption id="attachment_107948" align="aligncenter" width="640" caption="TransJakarta"][/caption] Pernah coba memencet hidung sendiri alias tidak bernafas dalam 20 hitungan? Atau pernah coba  membenamkan wajah dalam-dalam ke bantal? Atau memasukkan kepala dalam tas plastik dan mengikatnya selama 1 menit? Kedengarannya konyol, tapi itu membuktikan bahwa hidup kita tergantung sekali pada oksigen. Melebihi ketergantungan pada air dan makanan. Tapi mengapa kita justru menyepelekan penghasil oksigen yaitu pohon ? Karena itu sungguh sulit dimengerti, mengapa Jakarta enggan menambah jumlah pohonnya. Malah demi proyek pembangunan Koridor XI, Jalur Bus Transjakarta maka sebanyak 1.052 pohon akan ditebang pada akhir Mei 2011 (Kompas.com 6 Mei 2011). Menurut Kasi Jalur Hijau, Sudin Pertamanan Jaktim, Abu Bakar pohon yang akan ditebang seperti  pohon dadap, beringin, glodogan, flamboyant, jati dan bungur tersebut rata-rata berdiameter 20 - 40 sentimeter dengan ketinggian rata-rata 15 - 20 meter. Sungguh aneh perencanaan pembangunan kota Jakarta. Sebetulnya pembangunan itu untuk siapa? Atau untuk apa? Karena pohon berjumlah kurang lebih 1.052 tersebut baru berumur 5 - 10 tahun dan hanya memenuhi kebutuhan oksigen kurang lebih 1.052 orang. Padahal berapa orang yang lalu lalang disekitar area tersebut? 100.000 orang? 200.000 orang atau bahkan sejuta orang? Tidak ada yang tahu karena perencanaan pembangunan di Indonesia umumnya tidak pernah melibatkan ilmu sosial apalagi ilmu lingkungan. Mengapa? Karena walau Sudin Pertamanan menyatakan bahwa seluruh pohon dan tanaman di taman yang kena proyek ini akan ditanam kembali di tempat lain, proyek Trans Jakarta mengutamakan pendekatan materi daripada pendekatan humanis. Ini terlihat jelas dari perencanaan Raperda DPRD yang menyiapkan BUMD Trans Jakarta. Tidak hanya status dan Standar Pelayanan Minimum (SPM) yang harus professional, Trans Jakarta sebagai Mass Rapid Transit (MRT) harus mampu memenuhi target 2 juta penumpang dengan mengutamakan pelayanan. Penumpang adalah objek yang harus dilayani karena berkat karcis yang mereka bayarlah BUMD akan meraup keuntungan. Pelayanan seperti apa yang dibutuhkan? Kriterianya ditentukan sendiri oleh pengelola Trans Jakarta bahkan mereka asyik membicarakan pemasukan dari iklan sebesar 5 - 10 persen dan tender operator yang tidak lagi per koridor melainkan per kinerja, dibayar per kilometer. Itulah sebabnya walau sudah dioperasikan sejak  tahun 2004 lalu, keberadaan Trans Jakarta belum dapat memecah kebuntuan masalah kemacetan di Jakarta. Padahal ketika anggota DPR  mengadakan kunjungan kerja ke luar negeri sebetulnya mereka dapat membuat komparasi penyebab gagalnya suatu proyek di Indonesia tetapi berhasil di negara lain. Setiap negara memang berbeda kultur tetapi negara yang menghargai para pemikir di negaranya akan melibatkan semua ahli dari semua disiplin ilmu. Hal tersebut menjawab teka-teki mengapa ilmu sosial bisa berkembang di negara maju seperti Jerman, tetapi sepi peminat di Indonesia. Di Indonesia,  para ahli dibidang bidang psikologi komunikasi, bidang sosial apalagi bidang lingkungan hanya bikin "rese" dan menghambat kelancaran proyek. Mereka hanya bekerja di kajian akademis, selebihnya  proyek cukup ditangani teknisi, alumni ITB, UI atau perguruan tinggi negeri ternama lainnya. Para ahli ilmu sosial berhenti mendampingi. Tanpa disadari justru merekalah kuncinya. Bukankah proyek dibangun untuk manusia? Bukan untuk proyek itu sendiri! Karena itu janji presiden SBY untuk menurunkan emisi karbon sebesar 26 persen - 41 persen bagaikan menggantang asap. Proyek "sederhana" seperti TransJakarta yang ada di depan mata dan telah berjalan 7 tahun saja masih jauh dari sukses. Sehingga Raperda yang umumnya menelan biaya tidak kurang dari Rp 500 juta sebetulnya percuma saja apabila rakyat sebagai sasaran proyek tidak didengar suaranya. Apalagi disadari kebutuhannya. [caption id="attachment_107898" align="aligncenter" width="300" caption="negosiasi sebelum pohon lama ditebang"][/caption] [caption id="attachment_107899" align="aligncenter" width="300" caption="menunggu pohon yang baru ditanam cukup umurnya"][/caption] sumber gambar :  - Disini - Maria Hardayanto
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H