Mohon tunggu...
Maria G Soemitro
Maria G Soemitro Mohon Tunggu... Freelancer - Volunteer Zero Waste Cities

Kompasianer of The Year 2012; Founder #KaisaIndonesia; Member #DPKLTS ; #BJBS (Bandung Juara Bebas Sampah) http://www.maria-g-soemitro.com/

Selanjutnya

Tutup

Nature

Kesenjangan Penyelesaian Masalah Citarum

25 April 2011   02:19 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:26 1325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Diperlukan anggaran Rp 3,35 trilyun untuk penataan DAS Citarum ", demikian pernyataan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan di Gedung Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Jakarta. Dengan adanya dana, Ahmad Heryawan memastikan 3 daerah aliran sungai (DAS) Citarum, Ciliwung dan Cisanggarung bisa bersih seperti di luar negeri. Karena anggaran normalisasi untuk 3 DAS selama ini  "hanya" sebesar Rp 300 milyar. Sayangnya tidak ada pemaparan mengenai cara yang akan ditempuh. Bahkan Kepala Badan Perencana Pembangunan Daerah (Bappeda) Jawa Barat, Deny Juanda enggan memaparkan cara-cara yang akan dilakukan untuk menangani permasalahan DAS Citarum. Lebih jauh, Ahmad Heryawan mengungkapkan bahwa 22 dari 41 DAS di Jabar kondisinya sangat kritis. Sungai Citarum hanya mendapat nilai D untuk kualitas air, padahal airnya dijadikan sumber air minum oleh warga Bandung, Cimahi, Cianjur, Purwakarta, Bekasi , Karawang serta Jakarta. Sejumlah sungai lainnya yang masuk kategori buruk dan mendapat nilai D adalah Sungai Cimanuk, Cisadane, Kali Bekasi, Sungai Ciliwung, sungai Citanduy dan Sungai Cilamaya. Pernyataan Ahmad Heryawan ditanggapi dingin oleh pakar ITB dan Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS), Mubiar Purwasasmita. Alasannya karena pemerintah menggunakan pendekatan mekanik,  bukan pendekatan alam, kearifan lokal dan peran serta masyarakat. [caption id="attachment_104783" align="aligncenter" width="300" caption="Mubiar Purwasasmita (dok. Maria Hardayanto)"][/caption] Pemerintah Jabar selama ini lebih mementingkan soal konstruksi yaitu menembok sepanjang sisi sungai (kirmir) dan meluruskan kelokan sungai dengan tujuan memperlancar arus sungai guna mengeliminir kerugian akibat banjir. Padahal cara-cara kuno tersebut telah lama ditinggalkan negara-negara Eropa seperti Jerman dalam mengelola sungai. "Mereka tidak lagi meluruskan kelokan-kelokan sungai. Justru  sungai dibelok-belokkan  selaras dengan sifat alamiahnya." Salah seorang warga yang merasakan akibat proyek pelurusan sungai Citarum adalah Wawan, warga Desa Rancamanyar Kecamatan Baleendah Kabupaten Bandung. Dia berujar : "Ajaib, Jika Citarum bisa kembali bersih seperti sedia kala!" [caption id="" align="aligncenter" width="532" caption="Sungai Citarum tempo doeloe"][/caption] sumber gambar : disini Bersama temannya Cucu dan Uba, dia menerangkan bahwa sebelum diluruskan terdapat 4 leuwi atau teluk atau bagian tanah yang menjorok ke darat. Yaitu Leuwi Jeungjing, Leuwi Tempuh, Leuwi Orok dan Leuwi Empeng. Kedalaman leuwi ini beragam yang paling dalam adalah Leuwi Tempuh dan Leuwi  Jeungjing ini menjadi tempat yang paling digemari oleh mereka karena sering mendapatkan ikan lele. Pernah satu kali salah seorang diantara mereka, Uba menyelam sambil menangkap lele sampai hampir kehabisan napas karena tangannya terjepit batu. "Sewaktu remaja kami tidak pernah kesusahan mendapatkan makanan. Cukup pergi ke Citarum membawa jaring dan dalam waktu singkat ember sudah penuh dengan ikan," kenang Cucu. Keruhnya Sungai Citarum di desa Rancamanyar diawali dengan banyak berdirinya pabrik tektil pada tahun 1973 dan keteledoran pemerintah sehingga limbah pencelupan (dying & finishing) pabrik  tekstil dibuang begitu saja ke Sungai Citarum. Program pelurusan sungai pada tahun 1989 memperburuk kondisi Sungai Citarum. Awalnya warga masih memanfaatkan sodetan untuk menanam kangkung, enceng gondok dan budi daya ikan. Namun terkendala air limpasan ketika musim hujan tiba. Hingga akhirnya area tersebut ditinggalkan warga, tak terurus dan dipenuhi sampah plastik. Sistem penembokan sungai disepanjang sisi sungai juga dikritisi Mubiar, "Sistem penembokan membuat sungai semakin kotor karena tidak ada koneksi dengan darat. Artinya tidak ada zona amfibi. Contoh kecilnya adalah selokan, sebuah selokan yang ditembok akan berbau busuk karena tidak ada zona amfibi,"ujarnya. Lebih lanjut Mubiar menerangkan mengenai zona amfibi : " Zona amfibi adalah zona kehidupan perbatasan antara air dan darat. Disebut zona amfibi karena di zona itulah peralihan antara kodok dan kecebong terjadi." "Zona amfibi harus ditambah dengan cara menyengked menggunakan tanaman akar wangi. Akar wangi sangat efektif untuk mengikat tanah karena akarnya bisa sampai dua meter dalam waktu kurang dari dua tahun. Penggunaan akar wangi telah dipraktekkan di sungai-sungai Ethiopia ketika terjadi bencana kelaparan yang diakibatkan kerusakan sungai. Tanaman akar wangi berjasa memperbaiki kondisi sungai-sungai mereka secaraberangsur-angsur" [caption id="" align="aligncenter" width="370" caption="akar wangi"]

akar wangi
akar wangi
[/caption] sumber gambar : disini Tanaman akar wangi banyak ditemukan di daerah Garut Selatan dan selama ini banyak dipanen untuk diambil minyaknya. Beberapa pakar DPKLTS lainnya menyarankan tanaman bambu untuk ditanam di sepanjang sisi Sungai Citarum. [caption id="" align="aligncenter" width="480" caption="bambu"]
bambu
bambu
[/caption] sumber gambar : disini Apa yang terjadi apabila pemerintah Jawa Barat bersikeras dengan rencana semula yaitu memakai cara-cara lama dalam menormalisasi sungai Citarum ? Mubiar mengkhawatirkan bencana lingkungan yang lebih besar. ""Saat ini, semua kotoran dari pabrik, domestik, dan lainnya masuk ke Sungai Citarum dan semuanya ditampung di Waduk Saguling. Jika kotoran membusuk akan memunculkan gas metana penyebab efek rumah kaca dan daya rusaknya puluhan kali lebih hebat dari gas karbon dioksida," katanya. [caption id="" align="aligncenter" width="330" caption="kirmir melawan alam"]
kirmir
kirmir
[/caption] sumber gambar : disini Penjelasan sederhana untuk menjawab mengapa sebaiknya tidak digunakan cara-cara "modern" adalah bahwa sehebat-hebatnya bangunan manusia tidak akan mampu melawan kekuatan alam yang dikuasai Pencipta Alam, Allah SWT. Sekokoh apapun jembatan bangunan buatan manusia sebaiknya tidak ditembok disepanjang sisi sungai tersebut melainkan ditanami bambu atau akarwangi (zona amfibi), sesudah zona amfibi barulah dibangun jalan setapak untuk pejalan kaki. Adanya zona amfibi selain menciptakan kondisi normal sungai juga mengurangi kemungkinan longsor dan erosi akibat derasnya aliran sungai dikala hujan besar yang sering mengakibatkan air sungai meluap dan membanjiri daerah-daerah diseputar Sungai Citarum. Selain itu masyarakat yang lalu lalang tidak bisa seenaknya membuang sampah ke sungai karena terhalang tanaman. Tapi yang terpenting adalah kemauan pemerintah dalam mengimplementasikan Undang-Undang No 32 tahun 2009 mengenai pengelolaan lingkungan hidup berupa tindakan tegas terhadap pabrik-pabrik yang beroperasi di sepanjang Sungai Citarum dan telah membuang limbahnya dengan semena-mena ke sungai sesuai Pasal 76 sebagai berikut (1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota menerapkan sanksi administratif kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan jika dalam pengawasan ditemukan pelanggaran terhadap izin lingkungan. (2) Sanksi administratif terdiri atas: a.  teguran tertulis; b.  paksaan pemerintah; c.  pembekuan izin lingkungan; atau d.  pencabutan izin lingkungan Pasal 80 (1) Paksaan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2) huruf b berupa: a. penghentian sementara kegiatan produksi; b.  pemindahan sarana produksi; c. penutupan saluran pembuangan air limbah atau emisi; d.  pembongkaran; e.  penyitaan terhadap barang atau alat yang berpotensi menimbulkan pelanggaran; f. penghentian sementara seluruh kegiatan; atau g. tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan tindakan memulihkan fungsi lingkungan hidup. (2) Pengenaan paksaan pemerintah dapat dijatuhkan tanpa didahului teguran apabila pelanggaran yang dilakukan menimbulkan: a. ancaman yang sangat serius bagi manusia dan lingkungan hidup;  luas jika tidak segera dihentikan pencemaran dan/atau perusakannya; dan/atau c. kerugian yang lebih besar bagi lingkungan hidup jika tidak segera dihentikan pencemaran dan/atau perusakannya. Karena sanksi terhadap pelanggaran Undang-Undang no 32 tahun 2009 adalah : KETENTUAN PIDANA Pasal 97 Tindak pidana dalam undang-undang ini merupakan kejahatan. Pasal 98 (1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Pasal 99

(1) Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

(2) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).

(3) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 9 (sembilan) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp9.000.000.000,00 (sembilan miliar rupiah).

Sayangnya hingga April tahun 2011, tidak ada tanda-tanda Kementerian Lingkungan Hidup menerbitkan PP dan  BPLHD Jawa Barat serta BPLH kota menerbitkan Perda terkait masalah lingkungan hidup yang menyangkut hidup rakyat Jawa Barat. Padahal penulis  mengutip ucapan Ketua BPLHD Jawa Barat, Iwan Wangsaatmadja sebelum pembahasan UU nomor 32 tahun 2009 sebagai berikut : "WE DO NOT INHERIT THE EARTH FROM OUR ANCHESTOR,  WE BORROW IT FROM OUR CHILDREN " (Ancient Native American Proverb)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun