Mohon tunggu...
Maria G Soemitro
Maria G Soemitro Mohon Tunggu... Freelancer - Volunteer Zero Waste Cities

Kompasianer of The Year 2012; Founder #KaisaIndonesia; Member #DPKLTS ; #BJBS (Bandung Juara Bebas Sampah) http://www.maria-g-soemitro.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pemberdayaan Perempuan, Apa Maknanya?

18 Januari 2011   08:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:27 4615
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_85340" align="aligncenter" width="300" caption="doc.google"][/caption] Jum’at, 14 Januari lalu saya beruntung mengikuti ajakan seorang teman untuk mengikuti pertemuan suatu ormas (organisasi masyarakat) pemberdayaan perempuan Indonesia wilayah Jawa Barat yang kebetulanmendapat kunjungan kehormatan dari ibu Sekjen Pimpinan Pusat ormas tersebut.

Mengapa beruntung ? Karena saya betul-betul awam masalah ormas, khususnya ormas yang berkiprah positif.Setahu saya (maaf kalau salah, kansudah saya tulis bahwa saya awam), ormas bergerak, berjuang maju tak gentar membela “yang bayar”. Walaupun berita terakhir ada deklarasi Nasdem yang menunjukkan keormasan dapat diusung keranah positif.

Tapi sepak terjang Nasdempun masih belum jelas. Baru sebatas deklarasi di hotel berbintang, menggunakan seragam bagus. Memberi bantuan kepada korban bencana alam. Sesudah itu ? Entahlah, karena yang banyak membantu korbanpasca bencanajustru masyarakat“tanpa seragam”.

Tidak seperti Nasdem , pertemuanormas se-Jawa Barat ini tidak berseragam bagus. Bajunya suka-suka, ada batik , ada baju muslim, tetapi ada juga yang memakai setelan hitam-hitam,konon sepertiitulah seragamnya.

Suasananya memang menyenangkan, maklum saya belum pernah mengikuti pertemuan yang dihadiri kaum perempuan semua tanpa laki-laki satupun. Mungkin seperti inilah konggres wanita 22 Desember dulu, cikal bakal disahkannya “Hari Ibu”. Semua peserta saling mengenalkan diri , ada sekitar30 orang perempuan yang mewakili kota-kota di Jawa-Barat seperti Cirebon, Kuningan, Bogor, Sukabumi, Sumedang dan pastinya tuan rumah, Bandung.

Acara yang dimulai dengan terlambat sekitar satu jam, diisi pidato ketua ormas Bandung, ketua ormas Jawa-Barat hingga tiba-tiba datang tamu dari ormas pusat yaitu ibu Sekjen. Kehadirannya langsung disusul pidato yang menggebu-gebu, tentang deklarasi, tentang sibuknya ibu Ketua yang merupakan salah satu petinggi partai dan sedang menyelesaikan S3nya. Dan yang terakhir tentang pengalamannya mengunjungi Aceh dimana dia bertemu banyak pejabat, dimana dia ditawari banyak proyek, dimana ada uang, uang, dan .... uang!

Saya mengernyit mendengar pidato berdurasi satu setengah jam ini. Bukan karena tidak mengerti isi pidato beliau. Tetapi tidak mengerti arah tujuan ormas yang dia pimpin. Bukankah ini ormas pemberdayaan perempuan tapi kok seperti ormas pemberdayaan masyarakat yang bergender perempuan?

Mengapa ? Karena ibu Sekjen dan mungkin juga seisi ruangan mengartikan pemberdayaan perempuan sebagai perempuan yang bekerja. Perempuan yang berkarier. Sedangkan ibu rumah tangga yang tidak bekerja dan hanya menerima jatah uang bulanan dari suami bukanlah perempuan yang berdaya.

Tidak dapat dipungkiri , seorang perempuan yang bekerja adalah perempuan yang berdaya karena dia mampu memilih , mampu mengambil langkah. Seorang Sri Mulyani Indrawati jelas seorang perempuan yang berdaya, dia berdaya ketika memilih jurusan di Perguruan Tinggi Negeri, dia berdaya ketika memilih menikah dan diapun berdaya ketika memilih pekerjaan.

Tapi apakah seorang ibu rumah tangga “saja”, dapat diartikan tidak berdaya ? Belum tentu, walaupun gaji suaminya hanya sebesar UMR (Upah Minimum Regional), dia berdaya karena memilih hanya mengurus suami dan anak-anak dengan penuh cinta. Pergi ke pengajian ketika urusan rumah tangga yang dirasa perlu sudah beres. Ikut senam bersama di kampung. Ikut arisan di wilayah RT/RWnya.Kemudian menceritakan tentang senamnya, isi pengajian, isi ketawa-ketiwi bersama teman-temannya kepada anak dan suaminya. Demikian pula si anak dan suami, menceritakan aktivitas mereka diluar rumah. Bukankah kebahagiaan keluarga itu menunjukkan keberdayaan si perempuan(si ibu rumahtangga )?

[caption id="attachment_85338" align="alignleft" width="300" caption="doc.google"]

12953388921787207069
12953388921787207069
[/caption]

Mungkin ada yang masih ingat kasus, Aniek Qoriah Sriwijaya yang membunuh 3 orang anaknya ditahun 2006 ? Pendapat ahli yang tidak mengadakan wawancara langsung, menduga bahwa Aniek mengidap schizophrenia. Tetapi penelusuran saya ke teman-teman terdekat Aniek, menunjukkan bahwa Aniek normal-normal saja .

Terlalu berlebihan kalau ada yang mengatakan bahwa tekanan financial mengakibatkan Aniek membunuh ke 3 orang anaknya. Jangan dilupakan adanya fakta bahwa Aniek dan suaminya adalah alumni Perguruan Tinggi ternama di Indonesia. Mereka tinggal di kawasan yang layak. Suaminya mendapat hak menggunakan mobil dinas tempat dia bekerja. Dan di sekitar tahun 2006 tersebut gaji sang suami sekitar 5-6 kali UMR.

Jadi apa yang salah ? Kemungkinan dia tidak “didengar”, ada komunikasi yang hilang antara orang tua, Aniek, suami dan teman-temannya. Khususnya ketika pasca melahirkan ( silakan klik disini dan disini ). Dilain pihak, anak-anaknya masih terlampau kecil untuk diajak bicara. Semuanya berakumulasi sehingga terjadilah tragedy tersebut.

Jadi yang diperlukan perempuan adalah “didengar”, yang kedua“berkomunikasi” dan yang ketiga adalah “memilih”, sehingga kata : bekerja, berkarier dan “menghasilkan uang yang banyak” adalah tehnis pelaksanaan dari keinginan seorang perempuan untuk “memilih”. Sebagian perempuan lagi mungkin memilih bersekolah lagi, memilih mengurus orang tuanya, bahkan memilih hanya diam dirumah untuk menonton sinetron dan infotainmentpun harus dihormati dan dihargai.

Karena kebahagiaan tidak dapat dikatrol dengan pemberdayaan, tidak dapat diukur dengan banyaknya materi yang didapat, kebahagiaan adalah milik individu yang ukurannya hanya dimiliki individu masing-masing.

Memang ketika IPM (Indeks Pembangunan Manusia) menurun , sebagian perempuan berpikir bahwa posisinya sangat tidak menguntungkan , keadilan tidak dirasakan karena beban yang timpang. Tapi apabila anda seorang perempuan muslim dan mau memahami Al Qur’an secara utuh , akan mudah ditemui tujuan Al Qur’an sebagai pedoman hidup kaum muslim yaitu : keadilan, persamaan, keseimbangan, tanggung jawab moral, kesadaran spiritual dan kemajuan umat manusia.

Jadi bagaimana dengan tujuan pemberdayaan perempuan yang  diusung ormas pemberdayaan perempuan tersebut ? Seharusnya dimulai dengan perubahan paradigma. Jangan sekedar bergender perempuan kemudian ramai-ramai meminta poyek. Meminta kuota di parlemen. Tetapi perubahan kedalam organisasi harus dilakukan dengan memulai berpikir “sebagai perempuan”, jangan netral gender. Kalau perlu diadakan penelitian perwilayah, apakah yang diperlukan kaum perempuan di wilayah tersebut. Hasil penelitian akan menunjukkan apakah yang diperlukan kaum perempuan di wilayah itu untuk berdaya. Mungkin hasilnya akan mengejutkan , tapi yang pasti akan membawa perubahan yang berarti bagi pembangunan manusia Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun