Mohon tunggu...
Maria Agnesia G Soeryanto
Maria Agnesia G Soeryanto Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Seorang mahasiswa Ilmu Politik yang tertarik terhadap isu politik internasional

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pemenuhan Hak Partisipasi Politik Perempuan: Menakar Efektivitas dan Tantangan Kebijakan Affirmative Action dari Perspektif Negara dan Agama

12 Desember 2024   13:27 Diperbarui: 12 Desember 2024   13:26 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendahuluan

Hak perempuan merupakan hak fundamental yang wajib dijamin oleh negara dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk sosial, ekonomi, dan politik. Akan tetapi, implementasinya masih seringkali jauh dari harapan. Perempuan pun telah lama menghadapi isu kesetaraan gender yang umumnya disebabkan oleh pengaruh budaya patriarkis yang mengakar di masyarakat. Konsep yang sejak lama berkembang ini pada dasarnya menganalogikan seorang pemimpin sebagai "ayah" (patriarch). Sebagai akibatnya, hal ini membatasi ruang gerak perempuan dalam pemenuhan hak-hak mereka. 

Dalam perkembangan politik Indonesia yang semakin dinamis, partisipasi politik perempuan menjadi salah satu hak paling penting yang perlu diperjuangkan saat ini. Partisipasi politik tersebut berkaitan dengan keterwakilan perempuan secara politik dalam menempati posisi atau jabatan strategis di bangku pemerintahan. Keterwakilan politik (political representative) itu sendiri pun diartikan sebagai terwakilinya kepentingan  anggota  masyarakat  termasuk perempuan  di  lembaga  legislatif melalui proses politik (Azis, 2013). Dengan demikian, partisipasi perempuan tidak hanya sebatas menduduki jabatan strategis, namun juga perlu diberikan ruang untuk menyalurkan aspirasi dan kepentingan mereka dalam proses pembuatan kebijakan publik. Menimbang pentingnya hal ini, pemerintah Indonesia telah berupaya meningkatkan partisipasi serta representasi perempuan dalam bidang politik lewat penetapan kebijakan affirmative action.

Kebijakan Afirmatif mulai diimplementasikan menjelang pemilu tahun 2004 sebagai bentuk "himbauan" bagi partai politik untuk mencalonkan sekurang-kurangnya 30% perempuan di dalam daftar calon legislatif (UU Pemilu Nomor 12 / 2003). Seiring waktu, kebijakan affirmative  action  terhadap perempuan semakin disempurnakan dalam berbagai paket undang-undang. Beberapa undang-undang tersebut antara lain, yaitu UU No. 12 tahun 2003, UU No. 2 Tahun 2008, UU No. 10 tahun 2008, dan UU No 7 Tahun 2017 (Kiftiyah, 2019). Pada dasarnya, kebijakan ini dirancang sebagai upaya negara dalam menguatkan keterwakilan perempuan di legislatif. Akan tetapi, dalam praktiknya, penulis mengamati bahwa meskipun terdapat peningkatan jumlah perempuan, angkanya tidak pernah menembus kuota yang ditetapkan dan mekanismenya belum memadai. Dengan demikian, hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah kebijakan affirmative action telah terimplementasi secara efektif, baik dari perspektif negara maupun agama, atau hanya sekadar langkah formalitas ?

Tesis yang mendasari diskusi ini adalah bahwa meskipun kebijakan affirmative action berpotensi meningkatkan partisipasi perempuan dalam politik, namun ada tantangan signifikan yang membututi. Tantangan tersebut datang baik dari aspek implementasi negara yang masih normatif, maupun pengaruh nilai-nilai agama yang cenderung patriarkis dalam masyarakat. Selain itu, tantangan terbesar yang dihadapi dalam penerapan affirmative action juga terkait dengan cara memastikan perempuan yang terpilih benar-benar memiliki pengaruh dalam proses pengambilan keputusan dan bukan hanya menjadi "pelengkap" partai politik untuk memenuhi persyaratan kuota. Hal ini menjadi suatu aspek penting yang perlu diperhatikan karena hak perempuan untuk terlibat dalam partisipasi politik tidak hanya berbicara soal keterwakilan angka, melainkan juga tentang membuka ruang bagi perspektif dan suara perempuan di berbagai tingkatan pemerintahan. 

Hak Perempuan dalam Perpektif Agama

Dalam memahami partisipasi perempuan dalam politik, penting untuk meninjau bagaimana agama memberikan pengaruh terhadap persepsi dan praktik yang berlaku di masyarakat. Agama Islam, misalnya, secara eksplisit menegaskan hak-hak perempuan baik dalam aspek sosial, ekonomi, maupun politik dengan landasan utama kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Dr. Mufidah selaku Dewan Da'wah, dalam FGD mengenai Women and Islam (2024) yang ditayangkan di kanal YouTube Chusnul Mariyah Official, menyatakan bahwa Islam memberikan hak asasi kepada perempuan, baik sebagai manusia maupun sebagai individu dengan peran khas dalam kehidupan bermasyarakat. 

Menurut pandangan agama Islam, kesetaraan antara perempuan dan laki-laki tercermin dalam prinsip-prinsip hak dan kewajiban. Namun, terdapat ayat dalam Al-Qur'an yang menempatkan laki-laki sebagai pemimpin dalam rumah tangga (qawwamun), yang menurut Dr. Mufidah bukan dimaksudkan untuk merendahkan perempuan, melainkan untuk menjaga keteraturan dalam keluarga. Contohnya, dalam perjalanan atau safar, laki-laki sering kali diutamakan sebagai pemimpin karena dianggap lebih tegas. Prinsip ini menegaskan peran masing-masing gender tanpa mengurangi nilai kesetaraan. Hak perempuan dalam Islam juga tidak terbatas pada peran domestik semata. Perempuan memiliki hak penuh atas kepemilikan harta dan properti, yang tidak dapat diambil alih oleh laki-laki, termasuk suami. Dr. Mufidah menekankan bahwa perempuan yang menerima warisan, misalnya, memiliki hak mutlak atas harta tersebut. Ketentuan ini menegaskan bahwa dalam Islam, perempuan dan laki-laki memiliki hak individual yang terpisah dan harus dihormati.

Lebih lanjut, Islam juga memberikan ruang bagi perempuan untuk bekerja dan berkembang sesuai dengan kebutuhan rumah tangga mereka. Jika suami mampu mencukupi kebutuhan keluarga, perempuan tidak diwajibkan bekerja, tetapi tetap memiliki kebebasan untuk menyalurkan kreativitasnya, misalnya melalui pekerjaan dari rumah. Hal ini mencerminkan penghargaan Islam terhadap potensi perempuan dan dorongan untuk berkembang tanpa melupakan tanggung jawab keluarga. Selain itu, kesetaraan dalam Islam juga tercermin dalam hal ibadah. Dalam hal ini, Dr. Mufidah mengutip Surah An-Nisa ayat 124 untuk menegaskan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki kedudukan yang sama dalam menjalankan ibadah dan memperoleh pahala. Ayat tersebut menyatakan:

"Barang siapa yang mengerjakan amal-amal sholeh, baik laki-laki maupun perempuan sedang ia orang beriman, maka mereka masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya sedikit pun."

Perempuan dalam Islam juga memiliki hak untuk mengadukan permasalahannya kepada pihak yang berwenang, sebagaimana disebutkan dalam Surat Al-Mujadilah ayat 1, yang menggambarkan perempuan mengajukan gugatan terkait permasalahan rumah tangganya kepada Rasulullah. Ayat ini menegaskan bahwa perempuan tidak hanya memiliki hak untuk didengar, tetapi juga untuk mendapatkan keadilan dalam menyelesaikan konflik.

Dalam hal warisan, Islam memberikan laki-laki bagian dua kali lipat dari perempuan, seperti yang dijelaskan dalam Surah Al-Baqarah ayat 228. Ketentuan ini didasarkan pada tanggung jawab laki-laki yang lebih besar dalam menanggung kebutuhan anak, istri, orang tua, dan saudara perempuan. Sebaliknya, perempuan memiliki hak penuh atas warisan yang diterimanya tanpa kewajiban untuk berbagi. Tafsir Ibnu Katsir menyebutkan bahwa ayat ini menegaskan pentingnya laki-laki dan perempuan saling menunaikan hak satu sama lain dengan cara yang baik (ma'aruf).

Akan tetapi, Dr. Mufidah menyoroti bahwa pandangan Islam yang sangat memuliakan perempuan sering kali disalahpahami. Narasi Barat kerap menggambarkan Islam sebagai agama yang mengekang perempuan. Hal ini tentunya merupakan miskonsepsi yang tidak benar. Faktanya, Islam justru melindungi hak-hak perempuan secara menyeluruh, baik dalam aspek sosial, ekonomi, maupun politik. Dengan demikian, meskipun tantangan implementasi hak-hak perempuan dalam Islam masih ada, nilai-nilai keadilan yang diajarkan dapat menjadi landasan kuat untuk mewujudkan kesetaraan terhadap hak perempuan dalam berbagai bidang kehidupan.

Salah satu contohnya adalah pemenuhan hak perempuan di bidang politik. Di Indonesia, meskipun kebijakan afirmasi berupa kuota 30% untuk perempuan di parlemen telah diterapkan, realisasinya masih menemui banyak kendala. Dalam konteks ini, Dr. Mufidah mencatat bahwa sering kali partai politik lebih mengutamakan laki-laki, bahkan ketika suara perempuan lebih banyak. Fenomena ini mencerminkan bahwa penerapan kebijakan afirmasi masih perlu didukung dengan upaya yang lebih serius untuk memastikan keterwakilan perempuan di ruang pengambilan keputusan.

Efektivitas dan Tantangan Kebijakan Affirmative Action

Jika kita meninjau kembali mengenai efektivitas pemenuhan affirmative action, sebenarnya persentase partisipasi perempuan dalam meraih kursi DPR tidak pernah mencapai 30%. Berdasarkan data KPU, representasi perempuan di DPR pada Pemilu 2014-2019 hanya mencapai 17,32% atau 97 orang; Pemilu 2019-2024 sebesar 20,87% atau 120 orang; dan Pemilu 2024 sebanyak 21,90% atau 127 orang. Rendahnya perolehan angka ini sangat disayangkan karena representasi perempuan dengan proporsi seimbang dalam ranah politik sangatlah penting. Dalam hal ini, Ann Philips (1995) juga berpendapat bahwa dengan menghadirkan identitas perempuan secara proporsional, maka akan mendorong kesetaraan, keadilan, dan kepentingan perempuan, serta memberikan akses sumber daya bagi kesejahteraan seluruh masyarakat. Maka dari itu, sangat penting bagi pemerintah untuk mendorong keterwakilan perempuan dalam parlemen agar hak-hak mendasar perempuan dapat terakomodasi lewat setiap butir-butir pasal yang tertuang dalam rumusan kebijakan publik. Namun, realitanya kebijakan afirmatif pun belum mampu memenuhi harapan tersebut.

Berkaca dari pemilu 2024, implementasi kebijakan affirmative action ternyata masih juga belum bisa memenuhi standar kuota 30% yang telah ditetapkan. Menurut data yang dirilis dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), terdapat 21,90% atau 127 perempuan yang terpilih untuk duduk di bangku parlemen pada kontestasi Pemilu 2024. Angka ini menunjukan peningkatan dari hasil Pemilu 2019 yang mencatatkan keterwakilan perempuan sejumlah 20,87%. Namun, pertambahan sebesar 1,56% bukan merupakan prestasi yang patut dibanggakan. Pasalnya, angka ini masih cukup jauh dari aturan minimal yang diisyaratkan oleh undang-undang.

Melihat stagnansi angka keterpilihan perempuan dalam parlemen, penulis menilai bahwa perlu adanya reformasi kebijakan dan penegakan hukum dalam mengatasi kendala implementasi affirmative action. Salah satu tantangan yang seringkali dihadapi adalah terkait ketidakseriusan partai dalam mendorong keterwakilan perempuan dan hanya sekadar menganggap affirmative action sebagai formalitas dalam memenuhi kuota legislatif. Argumen ini diperkuat oleh pernyataan dari peneliti Perludem--Heroik Pratama-- yang menyatakan bahwa kuota affirmative action yang tidak pernah terpenuhi disebabkan oleh faktor lemahnya dukungan partai politik terhadap perempuan. Lemahnya dukungan ini juga diperparah oleh ketidakefektifan aturan yang berlaku dan belum adanya sanksi yang diberikan apabila partai melanggar aturan tersebut (Dinata, 2020)

Selain itu, sejumlah partai politik juga belum dapat memberikan contoh dalam mendorong keterwakilan perempuan yang signifikan. Mengacu pada hal ini, Dr. Ana Sabhana Azmy, M.I.P. --dalam FGD mengenai Women and Islam di kanal YouTube Chusnul Mariyah Official-- menyatakan bahwa bahkan PDIP sebagai partai besar hanya dapat menghadirkan 26 caleg perempuan dari total 128 dalam kontestasi pemilu 2024 lalu. Hal ini tentunya sangat disayangkan mengingat partai tersebut telah memiliki sarana sekolah partai yang diharapkan mampu mendukung pengembangan kapasitas caleg perempuan. Bisa dibayangkan, partai besar seperti PDIP yang telah memiliki infratruktur pendukung saja belum dapat meningkatkan keterwakilan perempuan dalam parlemen, lalu bagaimana dengan partai kecil lain yang bahkan tidak memiliki fasilitas serupa? Menanggapi pertanyaan ini, Dr. Ana Sabhana Azmy, M.I.P. dalam diskusi yang sama, juga mengkritik bahwa banyak partai politik yang masih kurang memberikan support dari segi pendidikan, pelatihan, dan "ongkos politik" bagi para caleg perempuan. Hal ini menunjukkan kurangnya komitmen partai dalam mendorong partisipasi politik perempuan secara substansial. Dengan demikian, kesan yang didapatkan dalam kebijakan kuota dalam affirmative action jadi terkesan sangat administratif.   

Kurang efektifnya penetapan kuota perempuan dalam pemilu menginsyaratakan bahwa perlu ada kebijakan afirmatif yang lebih konkret dalam menanggapi persoalan pemenuhan hak partisipasi politik perempuan. Data yang tersedia menunjukan bahwa upaya meningkatakan keterwakilan perempuan di parleman tidak cukup jika hanya mengejar kuota atau angka. Maka dari itu, salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah untuk memperkuat aturan yang mendorong partai politik untuk memberikan nomor urut satu kepada perempuan dalam setiap daerah pemilihan. Hal ini tentu bukan tanpa alasan. Pemilih seringkali memiliki kecenderungan untuk memilih calon legislatif yang berada di nomor urut strategis, seperti nomor 1 atau 2 (Prihatini, 2019). Fenomena ini dibuktikan pada pemilu 2019, ketika Margret dkk. (2022) menemukan bahwa 48% caleg perempuan terpilih menempati nomor urut 1, sementara 25% berada di nomor urut 2.

Analisis Melalui Perspektif Negara dan Agama

Jika dilihat dari perspektif konseptual negara, pemenuhan hak partisipasi politik perempuan merupakan suatu urgensi yang tak terelakkan dalam kerangka demokrasi yang inklusif dan berkeadilan. Pada dasarnya, demokrasi inklusif menekankan pentingnya pelibatan setiap lapisan masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan, termasuk perempuan. Partsipasi dan keterwakilan perempuan dalam politik menjadi aspek penting dalam upaya mengakomodir hak-hak kewarganegaraan mereka. Berkaitan dengan hal ini, Nur Imam Subono (2009) pun berpendapat bahwa inklusifitas perempuan dalam perumusan kebijakan publik menjadi penting karena perempuan memiliki gaya politik yang berbeda (lebih compassionate, caring dan collaborative) dibandingkan laki-laki. dan hal ini berkaitan dengan prioritas kebijakan yang diambil ketika mereka terpilih sebagai anggota parlemen perempuan.

Selain itu, Pateman dalam bukunya The Disorder of Women: Democracy, feminism and political theory menekankan bahwa partisipasi demokratis yang sejati memerlukan pengakuan dan pemecahan hambatan yang dihadapi perempuan. Ia mengkritik gagasan kewarganegaraan sebagai prinsip yang bersifat universal karena karena sering kali gagal memperhatikan masalah dan tantangan spesifik yang dihadapi perempuan dalam ranah privat dan publik. Pateman (1989) juga berargumen bahwa meskipun hak suara perempuan telah diakui dalam demokrasi modern, namun dominasi laki-laki dalam struktur kekuasaan masih menghalangi mereka untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif. Oleh karena itu, dalam kerangka ini, kebijakan affirmative action harus mencakup perubahan struktural yang lebih luas agar dapat memberikan ruang yang setara bagi perempuan dalam politik

Negara dalam perspektifnya terhadap pemenuhan hak partisipasi perempuan juga tidak hanya bertanggung jawab sebagai pengawas, tetapi juga sebagai fasilitator aktif yang harus memastikan bahwa perempuan memiliki akses yang setara dalam politik. Ann Phillips (1995) menegaskan bahwa negara harus berperan dalam memastikan bahwa kebijakan affirmative action yang diterapkan benar-benar mendorong keterwakilan perempuan secara substansial. Ini artinya, negara seperti Indonesia tidak cukup hanya menetapkan kuota 30% dalam kebijakan affirmative action tanpa upaya serius dalam memastikan perempuan yang terpilih memiliki pengaruh dalam proses pembuatan keputusan. Menurut Phillips, affirmative action yang hanya menargetkan angka akan berisiko menjadikan perempuan sebagai token politik tanpa memberikan mereka otoritas substantif untuk berkontribusi dalam kebijakan publik. Dengan demikian, jika berkaca dari efektivitas pengimplementasian kebijakan afirmasi di Indonesia, maka dapat dinilai bahwa kebijakan ini belum sepenuhnya efektif dalam mendorong partispasi perempuan. 

Dari perspektif agama, pengaruh nilai-nilai patriarkis yang terkandung dalam ajaran agama sering kali menjadi penghalang bagi perempuan untuk terlibat dalam politik. Beragamnya penafsiran terhadap teks-teks agama mengakibatkan seringnya terjadi kesalapahaman dalam memahami kestaraan gender dan posisi perempuan dalam hirarki kehidupan sosial. Dalam agama Islam, misalnya, terdapat ayat-ayat yang secara eksplisit menunjukkan prinsip kesetaraan gender, seperti dalam QS. Al-Hujurat ayat 13 yang menyatakan bahwa semua manusia diciptakan untuk saling mengenal tanpa memandang gender, ras, atau status sosial. Namun, penafsiran yang patriarkis terhadap ayat-ayat lain sering kali membatasi ruang bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam politik. Ayat seperti QS. An-Nisa ayat 34 yang menyebutkan laki-laki sebagai pemimpin rumah tangga (qawwamun) sering kali dipahami sebagai alasan untuk membatasi peran perempuan dalam ruang publik.

Terlepas dari isu tersebut, penulis mengamati bahwa pada dasarnya setiap agama di Indonesia telah mengajarkan keadilan dan kesetaraan bagi setiap gender, termasuk perempuan. Dalam agama Islam, perempuan diberikan hak-hak penuh dalam berbagai aspek kehidupan, baik sosial, ekonomi, maupun politik. Sebagai contoh, Islam mengakui hak perempuan untuk memiliki properti, berpartisipasi dalam musyawarah (syura), dan menjalankan tugas keagamaan tanpa ada perbedaan dengan laki-laki. Selain itu, dalam ajaran agama Katolik, gereja telah memberikan pernyataan jelas terkait posisinya dalam isu kesetaraan gender. Hal ini tercantum dalam dokumen Gaudium Et Spes Art. 9 yang menyatakan bahwa "Semua orang mempunyai jiwa yang berbudi dan diciptakan menurut gambar Allah, dengan demikian mempunyai kodrat serta asal-mula yang sama. Mereka semua ditebus oleh Kristus, dan mengemban panggilan serta tujuan yang sama pula. Maka harus semakin diakuilah kesamaan dasariah antara semua orang." (Dokumen Gerejawi, 2017). Mengacu pada hal tersebut, maka penulis melihat bahwa dari perspektif agama kebijakan affirmative action sebenarnya telah mencoba untuk menciptakan ruang bagi kesetaraan gender melalui pemenuhan hak partisipasi politik perempuan. Namun, masih menjadi catatan penting dalam pelaksanaannya yang perlu lebih diefektifkan baik dari segi pemenuhan kuota maupun keterlibatan nyata perempuan dalam proses pembuatan kebijakan. 

 

Kesimpulan

Pemenuhan hak partisipasi politik perempuan melalui kebijakan affirmative action di Indonesia menunjukkan adanya kemajuan dalam hal peningkatan jumlah perempuan di parlemen, namun efektivitasnya masih jauh dari optimal. Isu ini menunjukan bahwa meskipun sudah diatur dalam berbagai paket undang-undang, mekanisme implementasi kebijakan tersebut belum cukup kuat untuk mendorong keterwakilan politik perempuan secara signifikan. Menurut perspektif negara, hak perempuan dalam politik menjadi sangat esensial dalam iklim demokrasi dan kebijakan affirmative action dapat menjadi sarana penting dalam mendukung keterwakilan perempuan di tubuh pemerintahan. Akan tetapi, pengimplementasiannya masih terlalu normatif. Negara dalam hal ini perlu memastikan bahwa kebijakan tersebut tidak hanya dijalankan sebagai formalitas, melainkan benar-benar membuka kesempatan yang lebih luas bagi perempuan untuk berpartisipasi aktif dalam proses politik dan pengambilan keputusan. Di sisi lain, agama memandang bahwa nilai-nilai patriarkis yang kuat dalam masyarakat menjadi penghalang utama dalam upaya meningkatkan partisipasi politik perempuan. Meski begitu, ajaran agama-agama di Indonesia sebenarnya telah mendukung prinsip kesetaraan gender. Dengan demikian, pengimplementasian kebijakan affirmative action masih memerlukan upaya konkret untuk memperbaiki dan sinergitas pemerintah untuk meningkatkan efektivitas praktiknya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun