Undang-undang sejatinya bertujuan melindungi dan memberikan rasa aman serta menjamin hak-hak masyarakat terpenuhi dengan baik. Tapi apa jadinya jika undang-undang seperti RKUHP yang baru-baru ini viral justru mengekang kehidupan masyarakat secara pribadi bahkan membatasi ruang gerak masyarakat untuk menyuarakan pendapat dan menjalankan apa yang menjadi haknya seperti dalam pasal-pasal berikut:
Pasal 432 mengatur tentang perempuan yang berkerja dan harus pulang malam, lalu terlunta-lunta di jalanan dikenai denda Rp 1 juta.
Memang, saya rasa bagus jika perempuan tidak diperkenankan untuk pulang malam dengan alasan keamanan, tapi cobalah berpikir lebih dalam. Ini sama sekali bukan ranahnya pemerintah untuk ikut mencampuri urusan pribadi masyarakat entah dia mau pulang malam atau pulang dini hari sekalipun.Â
Lagipula, tidak semua perempuan yang bekerja lalu pulang larut bertindak melawan hukum atau asusila bukan? Tidakkah kita berpikir bahwa kepulangan mereka pada saat itu dikarenakan harus menyelamatkan nyawa orang lain yang mengalami kecelakaan atau penyakit berat tiba-tiba, menjaga keamanan kantor/toko/mall/sekolah bahkan menyelesaikan sebuah pekerjaan yang jika tidak dilakukan malah membahayakan orang lain seperti pekerja konstruksi jalan dan bangunan, satpam, dokter, perawat, petugas farmasi dan lainnya apakah ini sungguh sebuah bentuk pelanggaran baru?Â
Lantas, dikarenakan ada pasal tersebut pekerja-pekerja di atas dianggap berhak melakukan eutanasia kepada pasien, membiarkan kantor/toko/mall/sekolah kemalingan atau dirusak pihak tidak bertanggung jawab, atau terjadi kecelakaan akibat konstruksi yang ditinggal begitu saja di malam hari demi tidak mengeluarkan 1 juta dari dompet mereka kepada pemerintah?
Pasal 419 mengatur setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori II.
Hidup bersama layaknya suami dan istri tanpa terikat perkawinan alias kumpul kebo sudah lazim dilakukan pasangan di negara barat. Tak heran, Australia pun menyoroti dengan tegas pasal ini bahkan juga mewanti-wanti warganya yang akan berlibur ke Indonesia.Â
Tapi, sekali lagi tapi, peraturan ini sama sekali bukan hak pemerintah sekalipun tidak sesuai dengan budaya Indonesia. Bukankah hal kumpul kebo ini menjadi ranah hukum agama dan yang berhak memutuskan hukumnya adalah sang pemuka dari setiap agama masing-masing?Â
Berilah kepada kaisar apa yang menjadi hak kaisar, berikan kepada Tuhan apa yang menjadi hak Tuhan sepertinya sangat sesuai untuk kasus ini. Untuk apa pemerintah repot-repot mengatur dalam KUHP, melakukan penggrebekan di setiap rumah/apartemen/hotel/indekos tercurigai lalu memenjarakannya bila terbukti benar adanya? Toh ini urusan mereka dengan Tuhan karena melanggar perintah Tuhan yang jelas tertulis di kitab suci, tidak ada hubungannya dengan pemerintah, bukan begitu?
Pasal 278 dan 279 ayat 1 & 2 menyebutkan bahwa setiap orang yang membiarkan unggas yang diternaknya berjalan di kebun atau tanah yang telah ditaburi benih atau tanaman milik orang lain dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori II atau Rp 10 juta dan menulis bahwa ternak sebagaimana dimaksud pada pasal 279 ayat (1) dapat dirampas untuk negara.
Didenda karena unggas berkeliaran? Saya ingin tertawa terbahak-bahak. Namanya juga makhluk hidup, ia sudah selayak hidup bebas di alam untuk mencari makan dan bertahan hidup juga biar tidak stress donk lagian kan si hewan mana tau itu lahan orang lain atau lahan majikannya, sungguh kasian si hewan ini. Ada-ada saja aturan seperti ini.